“Warteg Ambruk, Dompet Kuncup: Kowantara Minta Pemerintah Buka Dompet!”
Di Wartegville, kampungnya sambal terasi dan tempe mendoan, suasana lagi muram. Bayangin, 25.000 warteg di Jabodetabek tutup total, kayak piring nasi rames yang ludes diserbu lalat! PPKM bikin omzet warteg anjlok lebih cepat dari harga bawang pas musim hujan. Pak Joko, pemilik “Warteg Bahagia”, cuma bisa geleng-geleng sambil ngelap wajan kesayangannya. “Dulu pelanggan antri kayak mau masuk konser dangdut, sekarang? Sepi kayak kuburan!” keluhnya.
Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara), dipimpin Pak Mukroni, nggak tinggal diam. Mereka teriak ke pemerintah, “Beri insentif, dong! Jangan cuma janji manis kayak gula di kopi warteg!” Pak Mukroni, dengan gaya orator ala penutup warteg, bilang, “Warteg itu tulang punggung rakyat, loh! Kalau tutup semua, mau makan apa buruh dan mahasiswa? Mie apa mie njem duit?” Dia minta bantuan lanjutan, bukan cuma bansos Rp1,2 juta yang katanya cuma cukup buat beli cabe sebulan.
Warteg-warteg di Jabodetabek, yang jumlahnya tadinya 50.000, sekarang tinggal separuh. Pak Joko cerita, omzetnya yang dulu bisa Rp10 juta sebulan, kini cuma Rp1 juta, itupun kalau lalat nggak ikut ngutang. “Sewa tempat aja Rp43 juta setahun, ini wajan apa emas?” candanya, sambil nyanyi-nyanyi kecil lagu dangdut Haji Jenderal Wiranto biar nggak stres. Banyak warteg, kayak punya Tasori di Sawah Besar, tutup karena pelanggan kantoran pada WFH, tinggal lalat yang setia nongkrong.
Kowantara minta pemerintah kasih solusi nyata: subsidi listrik, air, sembako, sampai akses modal murah. “KUR itu bagus, tapi syaratnya jangan kayak ngajak nikah: ribet dan bikin pusing!” kata Pak Mukroni. Dia juga minta pemutihan bunga utang, biar warteg nggak cuma gali lubang tutup lubang. Pak Joko setuju, “Kalau ada modal, aku buka warteg online, kirim rendang lewat drone, biar kekinian!” Tapi, drone cuma mimpi, karena tabungannya udah ludes buat bayar sewa.
Pemerintah, lewat Kemenkop UKM, bilang siap bantu, tapi minta data pasti dulu. “20.000 warteg tutup? Beneran nggak?” tanya mereka, takut angka itu cuma taksiran ala ramalan cuaca. Pak Joko cuma nyengir, “Data? Liat aja wartegku, pelanggan cuma lalat sama aku sendiri!” Meski begitu, Kowantara tetap semangat. Mereka dorong warteg go digital, masuk GoFood, GrabFood, biar nggak cuma ngandelin pelanggan tetangga.
Di tengah krisis, Pak Joko coba trik: jual nasi rames dengan promo “Beli Satu, Gratis Doa Anti-Bankrut”. Pelanggan ketawa, tapi tetep datang. “Warteg tutup, hati nggak boleh tutup!” katanya, sambil goyang koplo. Kowantara berharap pemerintah dengar jeritan mereka, biar warteg nggak cuma jadi kenangan. “Insentif datang, warteg bangkit, sambal tetep pedes!” seru Pak Joko, optimis meski dompetnya cuma nyanyi lagu sedih.
termasuk dalam memilih pemimpin negara.