• Kam. Sep 11th, 2025

KowantaraNews

Kowantara News: Berita tajam, warteg jaya, UMKM tak terjajah!

Distribusi Beras Murah di Jawa Barat: Wajah Ganda antara Komitmen Pemerintah dan Keluhan Masyarakat

ByAdmin

Sep 1, 2025
Gambar Ilustrasi Beras Oplosan. Gambar AI Kowantaranews.com
Sharing is caring

Jakarta, Kowantaranews.com -Di tengah kenaikan harga beras yang mencengkeram Jawa Barat, program Gerakan Pangan Murah (GPM) digadang-gadang sebagai solusi pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan dan meredam tekanan ekonomi pada masyarakat menengah ke bawah. Harga beras di pasar, terutama di Bandung, melonjak hingga Rp 15.000–18.000 per kilogram, jauh melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) pemerintah sebesar Rp 12.500 per kilogram untuk beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Kondisi ini mendorong pemerintah provinsi meluncurkan GPM sejak 30 Agustus 2025, dengan klaim ambisius menjangkau 559 dari 627 kecamatan di Jawa Barat. Namun, di balik janji manis pemerintah, realita di lapangan justru memunculkan kekecewaan warga akibat distribusi yang tidak merata dan akses yang terbatas.

Implementasi Program: Ambisi Besar, Eksekusi Timpang
GPM dirancang untuk mendistribusikan beras SPHP dengan harga terjangkau, yakni Rp 11.600–12.000 per kilogram (Rp 58.000–60.000 per karung 5 kg), menawarkan diskon signifikan 25–40% dibandingkan harga pasar. Hingga 31 Agustus 2025, pemerintah mengklaim telah mendistribusikan 1.658 ton beras, dengan alokasi harian 7 ton per kecamatan. Program ini melibatkan koordinasi lintas lembaga, dipimpin oleh Asisten Daerah Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Jabar bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Namun, meskipun cakupan program terlihat luas di atas kertas, 68 kecamatan—terutama di wilayah terpencil—belum tersentuh distribusi, mengungkap kelemahan infrastruktur logistik dan koordinasi.

Harga Murah di Tengah Fluktuasi Pasar
Pemerintah berupaya menstabilkan harga melalui HET dan penjualan beras SPHP di bawah harga pasar. Namun, realita di lapangan menunjukkan harga beras di pasar tradisional tetap tinggi, bahkan mencapai Rp 18.000 per kilogram di Bandung. Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung, Gin Gin Ginanjar, menyebut kenaikan harga masih “terkendali” di bawah 15%, tetapi pernyataan ini terasa hampa bagi warga yang kesulitan menemukan beras terjangkau. Hambatan rantai pasok, seperti yang terlihat di Jawa Timur—di mana hanya 4,5% dari target 173.000 ton beras terdistribusi—mengindikasikan masalah serupa di Jawa Barat, termasuk distribusi yang tidak merata dan stok yang sulit diakses di pasar tradisional.

Tanggapan Masyarakat: Antara Harapan dan Frustrasi
Respons warga terhadap GPM bercampur. Bagi mereka yang berhasil mengakses beras SPHP, seperti Ayu Lintang dari Gegerkalong Hilir, Bandung, program ini adalah angin segar. “Harganya Rp 60.000 per 5 kg, jauh lebih murah dibandingkan di warung yang Rp 15.000 per kg,” ujarnya. Namun, banyak warga seperti Sintha dan Sari mengeluhkan sulitnya menemukan beras murah meski pengumuman program gencar digaungkan. Kesenjangan ini mencerminkan diskrepansi antara klaim pemerintah dan realita di lapangan, memicu ketidakpercayaan publik. Di daerah lain seperti Manado, kenaikan harga beras bahkan mendorong keluarga beralih ke singkong atau jagung, menandakan ancaman terhadap ketahanan pangan dan gizi rumah tangga.

Rekomendasi: Menjembatani Kesenjangan
Untuk jangka pendek, pemerintah perlu menerapkan sistem pelacakan distribusi real-time, meningkatkan transparansi informasi tentang lokasi dan jadwal distribusi, serta menambah titik distribusi di daerah terpencil. Dalam jangka panjang, modernisasi rantai pasok, diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras, dan dukungan nyata bagi petani padi harus menjadi prioritas. Tanpa langkah-langkah ini, GPM berisiko tetap menjadi janji manis yang sulit diwujudkan.

Kesimpulan
GPM di Jawa Barat menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengatasi krisis harga beras, tetapi implementasi yang timpang menciptakan jurang antara harapan dan realita. Menutup kesenjangan ini memerlukan perbaikan teknis sekaligus investasi struktural untuk menciptakan sistem pangan yang lebih adil dan resilien, memastikan janji pemerintah tidak hanya manis di bibir, tetapi nyata di tangan masyarakat. By Mukroni

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *