Di sebuah kampung bernama Wartegville, hiduplah seorang pemilik warteg legendaris bernama Pak Joko, yang terkenal dengan sambal terasinya yang bikin pelanggan menangis haru sambil kipas-kipas mulut. Wartegnya, “Warteg Bahagia”, adalah pusat keramaian. Dari buruh bangunan sampai pejabat kelurahan, semua ngantri demi sepiring nasi rames dengan ayam goreng yang kriuknya bisa nyanyi. Tapi, datanglah musibah bernama PPKM, yang seperti villain dalam film laga, mengacaukannya tanpa ampun.
Hari itu, Pak Joko membuka wartegnya dengan semangat, meski aturan PPKM bikin dia harus tutup jam 8 malam—jam di mana biasanya pelanggan masih rebutan tempe mendoan. “Tenang, Jo,” katanya pada dirinya sendiri, “orang tetap butuh makan, kan?” Tapi, begitu jam makan siang tiba, wartegnya sepi seperti kuburan. Hanya lalat yang setia mampir, itupun cuma nyanyi-nyanyi di dekat toples kerupuk. Omzetnya? Anjlok lebih cepat dari harga saham perusahaan fiktif di sinetron.
Pak Joko tak menyerah. Dia coba ikut tren: jualan online! Dengan penuh harap, dia daftar di aplikasi ojek online, fotoin menu andalannya: rendang yang dulu pernah bikin pelanggan bilang, “Ini rendang apa puisi?” Tapi, eh, PPKM bikin jalanan sepi. Driver ojol cuma lelet muterin kompleks, kayak lagi piknik. Pesanan cuma satu-dua, itupun dari tetangga yang kasihan, minta dikirimin sambal doang. “Ini sambal gratisan apa premium, sih?” keluh pelanggan itu, sambil tetep lahap.
Keadaan makin pelik. Di Wartegville, warteg-warteg lain mulai gulung tikar. Warteg “Sedap Malam” milik Bu Marni tutup karena pelanggan takut keluar rumah. Warteg “Maknyus” milik Mas Budi juga tak kuat bayar sewa. Pak Joko cuma bisa geleng-geleng, sambil ngelus wajan kesayangannya, “Kita harus bertahan, Bro!” katanya, seolah wajan itu sahabatnya.
Untuk bertahan, Pak Joko mulai kreatif. Dia buka kelas masak online, ngajarin bikin sambal terasi via Zoom. “Aduk sambelnya kayak ngaduk drama rumah tangga, pelan tapi penuh perasaan!” candanya. Tapi, pesertanya cuma tante-tante yang salah masuk, kira-kira itu kelas zumba. Dia juga coba jualan frozen food, tapi freezer-nya mati, jadinya rendang berubah jadi “rendang rasa petualangan” yang baunya bikin kucing tetangga kabur.
Suatu hari, datang ide gila. Pak Joko bikin promo “Beli Nasi Rames, Gratis Doa Anti-PPKM”. Pelanggan boleh take away, asal bawa tupperware sendiri. Hasilnya? Antrian kecil muncul! Orang-orang datang, bukan cuma buat makan, tapi buat curhat. “Pak, PPKM ini kapan kelar, ya?” tanya seorang pelanggan. Pak Joko, dengan gaya bijak ala penutup warteg, bilang, “Sabar, Mas. Virus aja akhirnya nyerah, apalagi kita yang biasa antri toilet di pasar!”
Meski omzet belum pulih, semangat Pak Joko tak padam. Wartegnya tetap buka, meski cuma buat ngelupain sepi. “PPKM boleh bikin dompetku kering,” katanya sambil nyanyi-nyanyi kecil, “tapi sambalku tetep pedes, dan harapanku tetep meledak-ledak!” Dan begitulah, di tengah PPKM, Warteg Bahagia tetap jadi oase kecil, tempat orang-orang datang bukan cuma buat makan, tapi buat ketawa bareng lalat-lalat setia.