Aturan Makan 20 Menit di Warteg Dikritik Komunitas Warteg Nusantara: Kebijakan Ngawur dan Sulit DiterapkanJakarta, 2 Juli 2025 – Pemberlakuan aturan makan di tempat selama maksimal 20 menit yang diterapkan selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 pada Juli 2021 silam kembali menjadi perbincangan. Aturan ini menuai kritik tajam dari Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara), yang menyebut kebijakan tersebut sebagai “ngawur” dan tidak realistis. Ketua Kowantara, Mukroni, secara terbuka mempertanyakan logika di balik aturan tersebut, terutama karena dianggap tidak mempertimbangkan realitas operasional warteg dan kebutuhan pelanggan dari berbagai kalangan.Pada masa perpanjangan PPKM Level 4 yang berlaku hingga 2 Agustus 2021, pemerintah mengizinkan warung makan, pedagang kaki lima, dan lapak jajanan untuk kembali melayani pelanggan secara langsung dengan syarat ketat. Salah satu syarat yang paling mencuri perhatian adalah batasan waktu makan di tempat selama 20 menit, dengan maksimal tiga pengunjung per meja dan penerapan protokol kesehatan yang ketat hingga pukul 20.00. Namun, aturan ini dianggap sulit diterapkan oleh pelaku usaha warteg, yang sebagian besar melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dengan pola makan yang beragam.Mukroni menyoroti bahwa warteg bukanlah tempat makan cepat saji seperti restoran waralaba yang memiliki sistem pelayanan instan. “Itu kebijakan ngawur, mereka (pemerintah) tidak pernah makan di warteg. Di warteg, ada anak muda yang mungkin bisa makan dalam 20 menit, tapi bagaimana dengan orang tua? Kalau mereka dipaksa makan cepat, bisa tersedak. Siapa yang bertanggung jawab kalau sampai ada yang meninggal karena tersedak, bukan karena Covid-19?” ujar Mukroni dalam wawancara dengan Suara.com pada 26 Juli 2021.
Selain itu, Mukroni juga mengeluhkan kurangnya kejelasan teknis dalam aturan tersebut. Misalnya, apakah waktu 20 menit dihitung sejak pelanggan memesan makanan, makanan disajikan, atau saat pelanggan mulai makan. Proses penyajian makanan di warteg, seperti menggoreng pecel lele atau menyiapkan ayam bakar, membutuhkan waktu yang tidak sebentar. “Makan pecel lele di pinggir jalan saja butuh waktu lebih dari 20 menit, apalagi kalau makan kepiting,” tambah Mukroni, menegaskan bahwa kebijakan ini tidak memahami dinamika operasional warteg.
Komunitas Warteg Nusantara juga menyoroti dampak ekonomi dari aturan ini. Mukroni menyebutkan bahwa sejak pandemi Covid-19 melanda, sekitar 50 persen atau 20.000 unit warteg di wilayah Jabodetabek terpaksa gulung tikar karena tidak mampu membayar sewa tempat. Omzet harian warteg turun drastis dari Rp3-4 juta menjadi hanya Rp300 ribu per hari. Aturan makan 20 menit ini, menurut Mukroni, tidak hanya gagal mengembalikan pendapatan pedagang, tetapi justru menambah beban operasional karena pedagang harus mengawasi waktu makan pelanggan. “Kami ini kalau tidak jualan juga tidak apa-apa, tapi kalau dikerangkeng begini ya susah. Maju kena, mundur kena,” ungkapnya.
Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membela kebijakan ini dengan alasan ilmiah, menyebut bahwa 20 menit dianggap cukup untuk makan di tempat tanpa banyak berinteraksi, sehingga mengurangi risiko penularan Covid-19. Tito menambahkan bahwa aturan serupa telah diterapkan di beberapa negara lain. “Mungkin terdengar lucu, tapi di luar negeri sudah lama diterapkan. Makan tanpa banyak bicara, 20 menit cukup, lalu giliran orang lain,” ujar Tito dalam konferensi pers pada 26 Juli 2021.
Namun, pandangan pemerintah ini tidak sepenuhnya diterima. Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis, menilai aturan ini kurang efektif karena risiko penularan virus bisa terjadi dalam hitungan detik, bukan menit. Ia menyarankan solusi lain seperti pemasangan sekat pemisah antara pengunjung dan penjual untuk mencegah penularan. Mukroni juga mengusulkan agar pemerintah memberikan subsidi kepada pedagang, seperti yang dilakukan di Jepang, di mana pedagang menerima kompensasi hingga Rp40 juta selama penutupan usaha akibat pandemi.
Meski demikian, ada pula pelaku usaha warteg yang menyambut baik aturan ini. Yudhika Bahari, pemilik Warteg Kharisma Bahari, menyatakan bahwa meskipun tidak ideal, kebijakan ini membantu meningkatkan omzet harian. “Walaupun belum maksimal, paling tidak sedikit membantu penambahan omzet,” ujar Yudhika. Ia menambahkan bahwa waktu 20 menit cukup untuk makan tanpa banyak mengobrol, yang sering kali memperpanjang durasi pelanggan di warteg.
Aturan makan 20 menit ini juga memicu gelombang meme dan candaan di media sosial, yang menunjukkan reaksi masyarakat yang beragam, mulai dari humor hingga kritik. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menanggapi polemik ini dengan nada ringan, mengatakan bahwa makan 20 menit bukanlah masalah besar jika masyarakat fokus makan tanpa banyak mengobrol. “Intinya makan secukupnya, jangan nongkrong, lalu pulang,” ujar Anies.
Polemik aturan makan 20 menit ini mencerminkan tantangan dalam menyeimbangkan kebutuhan kesehatan masyarakat dengan kelangsungan ekonomi pelaku usaha kecil seperti warteg. Meski bertujuan mencegah penularan Covid-19, kebijakan ini dinilai kurang mempertimbangkan realitas lapangan dan memerlukan evaluasi lebih lanjut agar dapat diterapkan secara efektif tanpa merugikan pedagang maupun pelanggan.
Efek PPKM: Omzet Anjlok, Ribuan Warteg di Jakarta Gulung Tikar
Pandemi COVID-19 dan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) telah menghantam sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk warung tegal (warteg) di Jakarta. Ribuan warteg terpaksa gulung tikar akibat omzet yang anjlok drastis, biaya operasional yang membengkak, dan tekanan ekonomi yang tak tertahankan. Dampak ini tidak hanya mengguncang para pemilik warteg, tetapi juga pekerja dan rantai pasok yang bergantung pada keberlangsungan usaha kuliner tradisional ini.
Menurut laporan Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara), sekitar 25.000 warteg di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) diperkirakan tutup selama pandemi, terutama pada puncak pembatasan PPKM di tahun 2020 hingga 2021. Di Jakarta sendiri, meskipun angka pastinya lebih kecil, dampaknya tetap signifikan. Sekitar 10.000 warteg di wilayah Jabodetabek dilaporkan terdampak parah, dengan banyak yang terpaksa tutup atau pindah ke daerah dengan biaya sewa lebih rendah seperti Bogor dan Depok. Pada 2024, laporan menyebutkan sekitar 200 warteg di Jakarta Timur saja telah bangkrut, mencerminkan tantangan yang masih berlangsung.
Penurunan omzet menjadi penyebab utama. Kebijakan PPKM, termasuk pembatasan jam operasional dan kapasitas pelanggan, membuat warteg kehilangan pelanggan utama, seperti pekerja kantoran dan buruh yang terdampak PHK atau bekerja dari rumah. Banyak warteg melaporkan penurunan pendapatan hingga 90%, dari rata-rata Rp3 juta per hari menjadi hanya Rp300.000. “Pelanggan sepi, banyak yang beralih ke makanan daring atau masak sendiri,” ujar seorang pemilik warteg di Jakarta Barat.
Selain itu, biaya sewa tempat usaha di Jakarta yang tinggi menjadi beban berat. Banyak pemilik warteg tidak mampu memperpanjang kontrak sewa, terutama di lokasi strategis. Kenaikan harga bahan baku, seperti minyak goreng, ayam, dan sayuran, juga memperparah situasi. Misalnya, harga minyak goreng yang melonjak hingga Rp20.000 per liter pada puncak pandemi membuat margin keuntungan semakin tipis. “Kami terpaksa menaikkan harga makanan, tapi pelanggan malah makin kabur,” keluh seorang pengusaha warteg.
Beberapa pihak, termasuk Kementerian Koperasi dan UKM serta CEO Wahyoo Peter Shearer, mempertanyakan akurasi angka 25.000 penutupan, menyebutnya sebagai estimasi yang perlu verifikasi. Namun, mereka sepakat bahwa dampak pandemi terhadap warteg sangat nyata. Untuk bertahan, sejumlah warteg beralih ke penjualan daring melalui platform seperti GoFood atau GrabFood. Ada pula yang bergabung dalam program sosial, seperti menyalurkan makanan gratis bagi pekerja terdampak, bekerja sama dengan organisasi seperti Aksi Cepat Tanggap (ACT). Meski begitu, tidak semua mampu beradaptasi. Banyak pemilik warteg memilih pulang kampung atau beralih profesi.
Pemerintah telah mencoba membantu melalui bantuan sosial dan kredit UMKM, tetapi distribusinya sering kali tidak merata. Para pelaku usaha berharap kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk membantu warteg bangkit. Meski pandemi telah mereda, pemulihan sektor ini masih terhambat oleh daya beli masyarakat yang lemah dan persaingan ketat dengan kuliner modern. Warteg, sebagai ikon kuliner rakyat, kini berada di persimpangan: bertahan dengan inovasi atau tergerus zama
Foto Kowantara
- Vidio Lainnya
Kowantara Bantah Harga Bahan Pangan Turun | NEWS SCREEN 19/08/2022
Warteg Terancam Gulung Tikar di Tengah Pandemi – iNews Siang 26/01
25 Ribu Warteg di Jakarta Tutup Akibat Terdampak Pandemi COVID-19 – SIS 26/10
KORAN TEMPO MENULIS ACARA GEBYAR DANGDUT WARTEG PPWJ DI KARAWANG di TAHUN 2003
WARTEG DAN PILIHAN POLITIK DI PILPRES TAHUN 2009, PASANGAN JUSUF KALLA – WIRANTO
PEMBENTUKAN KOPERASI WARTEG NUSANTARA DISINGKAT KOWANTARA TAHUN 2011
25.000 WARTEG TUTUP, KOPERASI WARTEG NUSANTARA MINTA PEMERINTAH BERI INSENTIF
Kouta 75 Sertifikat Halal Gratis dari BSI untuk anggota Kowantara #warteg #kowantara
SUARA HAJI JENDERAL P. TNI WIRANTO DI GEBYAR DANGDUT WARTEG 3 DI BREBES TAHUN 2004
Efek PPKM, Omset Anjlok & Ribuan Warteg Gulung Tikar
IKN belum menerima warteg, kenapa yaah ? warteg kumuh, jorok ? #trending #warteg
Ucapan HUT Kowantara DKI JAKARTA ke 3 dari Bapak Wakil Gubernur DKI JAKARTA Bapak Reza Patria