Jakarta, Kowantaranews.com -Dalam liputan BBC -https://www.bbc.com/indonesia/articles/cxxlypl84kro, BBC News Indonesia yang mengulasnya seperti ini “Di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi dan harga pangan yang cenderung volatil, para pemilik warteg se-Jabodetabek berkumpul bersama dan membentuk komunitas yang dinamakan Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara) agar dapat saling membantu dalam menjalani usaha mereka.
Di pinggir jalan Otista Raya, Jakarta Timur, terletak sebuah warteg milik Tarsih Irdayanti dan suaminya.
Warteg itu menjual beraneka ragam makanan, mulai dari sayur kangkung, tempe orek, ikan bakar dan lainnya.
Seperti warteg yang merupakan singkatan dari warung Tegal, Tarsih sendiri merupakan warga asli Kota Tegal, Jawa Tengah. Ia sudah tinggal dan mengelola warteg di Jakarta selama hampir 20 tahun.
Namun, ia sendiri sudah mulai membantu orang tuanya melayani para konsumen lapar di warteg mereka di Jakarta sejak ia duduk di bangku kelas empat SD.
“Saya belajar nyentong nasi dan melayani itu dari SD kelas 4. Setiap kali liburna saya dibawa ke Jakarta. Waktu itu di daerah Budi Luhur, di daerah petukangan selatan itu,” ungkap Tarsih yang kini berusia 48 tahun.
Ia masih ingat betul pengalamannya berbelanja di pasar pagi-pagi seorang diri saat ia SMA. Para penjual langsung meneriakinya dengan penuh semangat, menawarkan berbagai barang jualan mereka, mulai dari tahu hingga unggas.
“Kalau dulu enak, bahan-bahan makanan semua murah dan alami. Sekarang sudah serba mahal dan instan,” katanya.
Tarsih mengatakan inflasi yang kini tak bisa diprediksi semakin ‘mencekik‘ para pengusaha warteg. Bahkan, BBC News Indonesia menemukan rata-rata harga lauk warteg naik hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan 10 tahun lalu.
Ia menyaksikan langsung dampaknya, ketika dulu pengusaha warteg bisa mendapatkan untung paling tidak 40% dari hasil penjualan, kini pendapatan menjadi 20%. Itu pun jika sang pemilik sedang beruntung.
“Saya kerja dengan suami saya di warung dengan jam kerja warteg dari jam 4 pagi sampai dengan jam 10 malam, itu nggak sebanding dengan tenaga yang keluar.“
Meski begitu, ia mengaku sekitar 80-90% dari keluarga besarnya yang berasal dari Tegal masih giat menekuni usaha warteg.
“Mereka pada buka warteg. Keponakan-keponakan saya, ada yang angkatan darat, ada yang angkatan laut, tapi tetap wartegnya itu enggak ditinggal,” ungkap Tarsih.
Bahkan, seorang kerabatnya yang bernama Mukroni, memutuskan untuk membentuk semacam lembaga yang berisi para pengusaha warteg di Jakarta maupun luar Jakarta.
“Warteg bisa dibilang kaum marginal di Jakarta. Banyak enggak enaknya, istilahnya kita ngeluarin tenaga banyak, capek, kadang-kadang diresek-in, kadang-kadang dijahilin itu sering. Jadi kita itu kayaknya butuh komunitas,” kata Tarsih.
Bermula dari sebuah paguyuban yang berisi keluarga dan tetangga sekampung yang berdiri pada 2004, kini Kowantara sudah bertumbuh menjadi komunitas berbadan hukum dengan 10.000 anggota yang terdaftar.
Walaupun saat ini, sebagian besar anggotanya berada di kawasan Jabodetabek, Tarsih mengatakan para pengurusnya berharap komunitas itu dapat meluas hingga mencakup para pemilik warteg se-Indonesia.
“Cita-citanya pengen ini biar se-nusantara. Jadi teman-teman sudah mulai ada yang dari Surabaya, ada yang orang Jogja, dan ada yang dari Lampung.”
Tarsih Irdayanti sudah menjalani bisnis warteg di pinggir jalan Otista Raya selama hampir 20 tahun
Keterangan gambar,
Tarsih Irdayanti sudah menjalani bisnis warteg di pinggir jalan Otista Raya selama hampir 20 tahun
Bagaimana Kowantara membantu para pengusaha warteg?
Ketua Kowantara, Mukroni, mendirikan komunitas itu sebagai paguyuban pada 2003 dan kemudian diresmikan menjadi komunitas pada 2013
Ketua Komunitas Warteg Nusantara, Mukroni, mengaku pada awal mulanya Kowantara dibentuk dengan tujuan dilahturahmi, agar para pemilik warteg dapat saling kenal dan berkumpul bersama. Namun, kini fungsinya sudah berkembang menjadi lebih luas.
“ Jadi silaturahmi istilahnya, sebagi bentuk persaudaraan antar-para pegiat warteg. Yang kedua, ya kalau bisa kita menggerakkan ekonomi, kita nanti akan mendirikan beberapa koperasi,“ kata Mukroni kepada BBC News Indonesia.
Koperasi yang dimaksud Mukroni juga diberi nama Kowantara, yakni Koperasi Warteg Nusantara. Koperasi-koperasi tersebut digunakan oleh komunitas itu untuk membeli bahan-bahan dasar makanan dalam jumlah besar dan disalurkan kepada para anggota.
“Itu ide kita, gagasan kita untuk mewadahi agar mereka [para pemilik warteg] dapat memperoleh harga bahan sembako, bahan pokok untuk kebutuhan warteg dengan harga yang cukup murah dan berkualitas,“ ujarnya.
Koperasi itu ternyata menjadi sangat berguna dalam mengatasi lonjakan harga bahan pangan, terutama minyak goreng yang sempat mengalami kelangkaan di pasar. Ada pula bahan makanan lain seperti beras dan telur yang disediakan oleh koperasi.
“Jadi kalau kita kompak, kalau kita bersama solid, kita akan bisa mendapatkan harga murah, barangnya berkualitas,“ lanjutnya.
Selain menyediakan bahan makanan dengan harga terjangkau, Kowantara juga mengadakan pelatihan-pelatihan untuk anggotanya yang ingin meningkatkan skill mereka di bidang kuliner, baik itu dari segi kesehatan ataupun modifikasi menu.
“Kita pernah kerjasama itu dengan Unilever, misalnya dengan bahan baku yang murah tapi tidak mengandung bahan kimia.
Jadi masih ada keterkaitan dengan makanan. Dari segi halal, kesehatan, kebersihan, ya terus pembiayaan, akses. Misalnya ada bank yang mau menyalurkan PUR, monggo silakan daftar.
Lebih lanjut, Mukroni mengatakan bahwa Kowantara juga membantu legalitas usaha para anggotanya dengan dalam pembuatan Nomor Induk Berusaha (NIB).
Dengan memiliki NIB, sambungnya, para pemilik warteg dapat dipermudah dalam mengakses layanan perbankan dan terdaftar untuk menerima bantuan pemerintah.
Program-program tersebut direncanakan bersama pada pertemuan para anggota yang digelar sekali setiap bulan di wilayah masing-masing. Sementara, untuk acara pertemuan para anggota secara nasional, biasanya diadakan setahun sekali.
“Itu per Kanwil biasanya. Misalnya di Bogor, terus nanti kan jaraknya lumayan, makanya kita datangi. Ayo di Bogor adakan Kopdar [Kopi Darat], nanti kita bisa sambil arisan.
“Makanannya juga enggak jauh-jauh dari warteg atau dari biasanya kupat, kupat khas Tegal atau tauco/ Ya paling nggak opor ayam, warteg ini kan makanan rumah. Jadi kan enggak susah,” ujar Mukroni sambil tertawa.
Selain itu, Tarsih, yang juga menjabat sebagai sekretaris Kowantara, mengatakan bahwa komunitas itu seringkali menjadi wadah penyaluran aspirasi para pengusaha warteg.
“Kalau ada peraturan-peraturan pemerintah yang kayaknya merugikan. Kemarin waktu Warteg mau dikenakan pajak, berat banget karena yang makan [di warteg] bukan orang-orang yang banyak duit,” kata Tarsih.
Evolusi warteg: usaha orang Tegal yang kemudian menjadi milik bersama
Seorang konsumen datang memesan hidangan di warteg milik Tarsih Irdayanti
Keterangan gambar,
Seorang konsumen datang memesan hidangan di warteg milik Tarsih Irdayanti
Pemilik warteg Otista, Tarsih Irdayanti mengatakan bahwa saat ia kecil, para warga Tegal yang bermigrasi ke Jakarta untuk membuka usaha warteg terbatas menjadi dua kampung, yakni Desa Sidakaton dan Desa Sidapurna.
Ia sendiri berasal dari daerah Cabawan, yang letaknya tak jauh dari kedua kampung tersebut.
“Karena Tegal itu kota bisnis, bahkan saat zaman dulu, Gusdur bilang [Tegal itu] Jepangnya Indonesia. Kenapa? Karena di sana banyak [manufaktur] besi, terus industri lah. Dan banyak juga yang mulai pergi ke Jakarta buat buka usaha,“ ujar Tarsih
Ayah Tarsih pertama kali membuka toko minuman kopi dan rokok di era 70-an di bawah Jembatan Besi, Jakarta Barat. Usaha tersebut kemudian berkembang menjadi warung yang dikelola oleh istrinya.
“Ibu saya dibantu oleh kakak saya, jadi ITC Roksimas itu saya dari masih bedeng sampai jadi tuh saya dagang di sana. Berapa puluh tahun itu kakak saya punya warung disitu, 30 tahunan,“ ujar Tarsih.
Namun kini, sambungnya, bukan hanya orang Tegal yang menjalani bisnis warteg. Ia mengatakan siapapun yang memiliki modal bisa membuka warteg sendiri atau mengelola cabang warteg atau yang disebut dengan warteg franchise
Sejarawan Makanan Universitas Padjajaran, Fadly Rahman, mengatakan bahwa awal mula warteg tidak bisa dipisahkan dari migrasi orang-orang Tegal ke Jakarta. Hal itu ia sebut dengan fenomena urbanisasi yang mulai terjadi pada dekade tahun 60-an.
“Saat itu Jakarta memang tengah gencar melakukan pembangunan dan banyak sekali membutuhkan tenaga-tenaga kerja dan yang banyak datang untuk bekerja di Jakarta ini diantaranya adalah orang-orang Tegal.
Jadi mereka datang dan kemudian dari perjalanan awal sejarah Tegal, awal sejarah warung nasi Tegal ini, istri-istrinya juga ikut.
Ia mengatakan pada awalnya, para warga Tegal hanya membuka warung-warung kecil agar bisa memenuhi kebutuhan makan para kuli bangunan dan menu yang disajikannya pun sangat sederhana.
“Para pekerja yang memang melihat Warteg ini adalah tempat makan yang murah meriah tapi porsinya banyak dan pilihan lauk sayur, pilihan sayur lauk pauknya juga sangat beragam.
“Itu yang membuat kenapa warteg berkembang bukan hanya sebagai makanan para kuli bangunan seperti di awal-awal dekade tahun 1960-an,” ujarnya.
Fadly mengatakan bahwa rahasia di balik keberhasilan warteg dalam bertahan sejak dulu hingga sekarang – meski saingan di bidang kuliner semakin beragam dan kompetitif – berada pada menu ‘rumahan’ warteg yang dapat dinikmati masyarakat kelas manapun.
“Ini yang membuat kenapa dia enggak bisa tergeser, walaupun industri kuliner sekarang kan memungkinkan siapapun punya preferensi makan apapun, selama kita masih makan nasi dari pagi sampai malam maka warteg itu akan tetap hidup sampai kapanpun.” ***
Sumber Berita : BBC News Indonesia
Foto : Dok. Kowantaranews