Jakarta, Kowantaranews.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyiapkan gebrakan baru yang bakal bikin para pemilik warteg (warung tegal) dan masyarakat kecil di seluruh Indonesia tersenyum lebar. Kebijakan “Satu Harga” untuk elpiji 3 kg bersubsidi sedang digodok untuk memastikan harga tabung gas yang selama ini jadi andalan rakyat kecil ini seragam di seluruh penjuru negeri. Bayangkan, dari Sabang sampai Merauke, harga elpiji 3 kg bakal sama, tanpa drama harga melambung atau kelangkaan yang bikin dompet menangis. Warteg tetap ngegas, masakan tetap nendang, dan ibu-ibu nggak perlu pusing mikirin harga tabung yang tiba-tiba “nakal” di pasaran!
Kebijakan ini bukan cuma soal harga, tapi juga soal keadilan. Selama ini, elpiji 3 kg yang seharusnya jadi penyelamat dapur keluarga miskin malah sering “nyasar” ke tangan yang salah. Banyak masyarakat mampu, bahkan restoran besar, kedapatan asyik memakai tabung bersubsidi ini, padahal subsidi itu dirancang untuk rakyat kecil, nelayan, petani, dan tentu saja, warteg-warteg yang jadi penyangga perut jutaan pekerja. Menurut data Kementerian ESDM, belanja subsidi energi, termasuk elpiji dan BBM, sudah mencapai Rp 66,9 triliun pada semester pertama 2025. Angka yang fantastis! Sayangnya, banyak dari dana itu tidak tepat sasaran gara-gara kebocoran distribusi. Nah, kebijakan satu harga ini diharapkan bisa menutup celah-celah kebocoran itu.
Rencananya, kebijakan ini akan mulai berlaku pada 2026, dengan kuota elpiji bersubsidi ditetapkan sebesar 8,31 juta metrik ton, naik tipis dari 8,17 juta metrik ton di 2025. Dasar hukumnya? Revisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 104/2007 tentang penyediaan LPG 3 kg dan Perpres No. 38/2019 yang mengatur penggunaan elpiji untuk nelayan dan petani. Dengan aturan baru ini, pemerintah ingin memastikan harga eceran tertinggi (HET) elpiji 3 kg yang kini berkisar antara Rp 14.000 hingga Rp 19.000 per tabung benar-benar terjaga. Bukan rahasia lagi, di beberapa daerah terpencil, harga tabung bisa melonjak sampai Rp 50.000 karena rantai distribusi yang panjang dan ulah oknum nakal. Bayangkan betapa pusingnya pemilik warteg di pelosok kalau harus bayar harga segitu hanya untuk masak nasi goreng atau oseng-oseng!
Namun, kebijakan ini bukan tanpa tantangan. Biaya logistik jadi momok besar, terutama untuk daerah-daerah terpencil seperti Papua atau pulau-pulau kecil di Indonesia Timur. Pertamina, sebagai penyalur utama, bakal menghadapi beban berat untuk menyeragamkan harga tanpa mengorbankan keuntungan. Belum lagi soal pengawasan. Tanpa sistem distribusi yang transparan, risiko kebocoran subsidi tetap mengintai. Beberapa pakar energi malah menyarankan solusi alternatif, seperti mempercepat pembangunan jaringan gas kota (jargas) atau memanfaatkan teknologi digital untuk memantau penyaluran elpiji. Bayangkan kalau tiap tabung gas punya “ID card” digital yang bisa dilacak, pasti bakal sulit buat oknum main curang!
Kebijakan ini juga mengingatkan kita pada program BBM Satu Harga yang sudah berjalan sejak 2017 untuk Pertalite dan Solar. Meski berhasil di beberapa wilayah, program itu juga punya PR besar soal infrastruktur dan pengawasan. Nah, untuk elpiji satu harga, pemerintah perlu belajar dari pengalaman BBM agar implementasinya lebih mulus. Salah satu kunci suksesnya adalah pendataan penerima subsidi yang akurat. Kalau bisa, hanya warteg, keluarga miskin, nelayan, dan petani yang dapat akses tabung hijau ini. Jangan sampai restoran fancy atau rumah tangga mewah ikut-ikutan “nyanyi” di dapur dengan elpiji bersubsidi.
Bagi pemilik warteg, kebijakan ini bagaikan angin segar. Bayangkan, mereka nggak perlu lagi deg-degan tiap isi ulang tabung, takut harga tiba-tiba naik atau stok kosong. Dengan harga seragam, warteg bisa tetap ngegas menyajikan menu andalan seperti ayam kecap, tempe orek, atau sambal terasi tanpa khawatir biaya produksi membengkak. Ini juga kabar baik buat pelanggan setia warteg, yang bisa menikmati makanan enak dengan harga terjangkau tanpa takut kena “efek domino” dari lonjakan harga gas.
Warteg Gabung SAL: Makanan Rakyat, Anggaran Selamat, Defisit APBN 2025 Aman!
Agar kebijakan ini benar-benar sukses, pemerintah perlu memastikan tiga hal: pertama, sistem distribusi yang ketat dengan pendataan penerima subsidi yang jelas. Kedua, investasi pada infrastruktur gas alternatif seperti jargas untuk mengurangi ketergantungan pada tabung elpiji. Ketiga, pengawasan harga di lapangan agar tidak ada penimbunan atau spekulasi yang bikin warteg dan rakyat kecil gigit jari. Kalau semua ini terwujud, bukan cuma warteg yang tetap ngegas, tapi juga harapan rakyat kecil untuk hidup lebih mudah tanpa beban harga gas yang bikin mewek. Jadi, mari kita tunggu gebrakan ini di 2026—semoga dapur-dapur Indonesia tetap berasap dengan harga yang ramah di kantong! By Mukroni
- Berita Terkait :
Warteg Gabung SAL: Makanan Rakyat, Anggaran Selamat, Defisit APBN 2025 Aman!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!