Jakarta, Kowantaranews.com – Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) resmi menetapkan harga acuan gula untuk tahun 2025 tetap sama seperti tahun sebelumnya. Harga acuan pembelian gula di tingkat petani bertahan di Rp14.500 per kilogram (kg), sementara harga acuan penjualan (HAP) di tingkat konsumen juga tidak berubah, yakni Rp17.500–Rp18.500 per kg, tergantung wilayah. Keputusan ini disambut gembira oleh pelaku usaha kecil seperti warteg (warung tegal), yang mengandalkan gula sebagai bahan baku utama untuk minuman dan makanan manis. Namun, bayang-bayang gula impor ilegal masih menghantui stabilitas pasar, membuat warteg dan petani was-was.
Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, menjelaskan bahwa keputusan ini diambil setelah rapat koordinasi tingkat Kementerian Koordinator Bidang Pangan. Menurutnya, biaya produksi tebu tahun ini tidak mengalami kenaikan signifikan, sehingga petani masih bisa meraup keuntungan dengan harga acuan Rp14.500/kg. Di sisi lain, pedagang dan pelaku usaha seperti warteg juga dinilai tetap untung dengan HAP yang berlaku. “Kebijakan ini memastikan petani terlindungi, warteg dan pedagang bisa menjaga harga jual, dan konsumen tetap menikmati gula dengan harga terjangkau,” ujar Arief dengan optimisme.
Bagi warteg, keputusan ini seperti angin segar. Warteg, yang menjadi tumpuan masyarakat menengah ke bawah untuk makanan dan minuman murah meriah, sangat bergantung pada stabilitas harga bahan baku seperti gula. Dengan harga acuan konsumen yang tetap, warteg bisa mempertahankan harga segelas teh manis atau pisang goreng tanpa harus menaikkan harga menu. “Kalau gula naik, otomatis teh manis atau kolplay di warteg ikut naik. Sekarang kami bisa napas lega, pelanggan juga senang,” ujar Siti, pemilik warteg di Jakarta Barat. Namun, tantangan tetap ada. Berdasarkan Panel Harga Pangan Bapanas per 18 Juni 2025, harga gula di pasaran rata-rata mencapai Rp18.450/kg, bahkan lebih tinggi di Indonesia Timur (Rp20.374/kg), dengan puncaknya di Papua Selatan (Rp21.067/kg) dan Maluku (Rp20.173/kg). Ini berarti warteg di wilayah tertentu harus merogoh kocek lebih dalam, yang bisa menekan margin keuntungan mereka.
Di sisi produksi, pemerintah menargetkan peningkatan rendemen tebu nasional di atas 8%, dengan beberapa pabrik bahkan mampu mencapai lebih dari 10%. Rendemen yang lebih tinggi berarti lebih banyak gula dihasilkan dari setiap ton tebu, yang diharapkan mendorong produksi gula nasional mencapai 2,9 juta ton pada 2025. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan 2,46 juta ton pada 2024 dan 2,27 juta ton pada 2023. Peningkatan produksi ini diharapkan menjaga pasokan gula untuk warteg dan pelaku usaha lainnya, mengurangi risiko kelangkaan bahan baku yang kerap menghantui.
Namun, tidak semua pihak sepenuhnya puas. Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen, mengungkapkan bahwa petani sempat mengusulkan kenaikan harga acuan menjadi Rp15.000/kg. Meski usulan ini tidak diterima, ia berharap pemerintah bisa menjamin harga lelang gula petani tidak jatuh di bawah Rp14.500/kg sepanjang musim giling 2025. Lebih jauh, Soemitro menyoroti rendahnya partisipasi pedagang dalam lelang gula petani, yang diduga akibat masuknya gula rafinasi dan gula impor ilegal ke pasar. “Gula ilegal ini bikin harga pasar kacau. Warteg dan pedagang kecil juga rugi kalau gula murah ilegal membanjiri pasar,” katanya.
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Gula impor ilegal, terutama di Kalimantan dan Sumatera, menjadi ancaman serius. Keberadaannya tidak hanya mengganggu harga lelang petani, tetapi juga membuat warteg kesulitan mendapatkan gula berkualitas dengan harga sesuai HAP. “Kalau gula ilegal masuk, warteg di daerah terpaksa beli gula yang entah kualitasnya bagaimana. Kami butuh gula yang jelas asal-usulnya,” keluh Budi, pemilik warteg di Medan. Pemerintah pun diminta segera menertibkan peredaran gula ilegal untuk menjaga stabilitas pasar dan melindungi pelaku usaha kecil seperti warteg.
Baca Juga Chanel Berita Kowantara
Meski tantangan masih ada, kebijakan harga acuan gula yang stabil di 2025 memberikan kepastian bagi warteg untuk menjaga harga menu tetap terjangkau. Dengan produksi gula nasional yang diproyeksikan meningkat, pasokan gula diharapkan aman. Namun, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada langkah tegas pemerintah dalam mengatasi gula ilegal dan memastikan harga lelang petani tetap kompetitif. Bagi warteg, gula mungkin tetap manis, tapi kewaspadaan terhadap fluktuasi pasar harus terus dijaga. By Mukroni
Foto kowantaranews.com
- Berita Terkait :
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Stimulus Rp24,4 T: Bansos Ngegas, Listrik Diskon Batal, Warteg Tetap Jualan Orek Tempe!
Stimulus Rp24,4 T: Bansos Ngegas, Listrik Diskon Batal, Warteg Tetap Jualan Orek Tempe!
Stimulus Rp24,4 T: Bansos Ngegas, Listrik Diskon Batal, Warteg Tetap Jualan Orek Tempe!