Jakarta, Kowantaranews.com – Nilai tukar rupiah kembali bergoyang di tengah badai konflik geopolitik yang mengguncang pasar global. Ketegangan antara Israel dan Iran, ditambah ekspektasi kebijakan moneter ketat dari The Federal Reserve (The Fed), membuat rupiah melemah hingga kisaran Rp 16.200–Rp 16.600 per dolar AS. Skenario terburuk bahkan memproyeksikan rupiah menyentuh Rp 16.600 jika konflik Timur Tengah meluas. Namun, di balik gejolak ekonomi makro ini, dampaknya terasa nyata di level mikro, khususnya di warteg (warung tegal), pilar kuliner rakyat yang kini terjepit antara kenaikan harga bahan baku dan daya beli pelanggan yang menipis.
Konflik geopolitik di Timur Tengah menjadi pemicu utama. Serangan Israel ke Iran mendorong harga minyak mentah dunia (WTI) melonjak 11,11% dalam sepekan, mencapai $74,05 per barel. Sebagai importir minyak neto, Indonesia menghadapi risiko defisit neraca perdagangan yang kian lebar. Kenaikan harga minyak ini tak hanya memukul anggaran negara, tapi juga menekan sektor usaha mikro seperti warteg. Minyak goreng, bahan pokok utama warteg, kini harganya melambung. “Dulu beli minyak goreng curah Rp 14.000 per liter, sekarang sudah Rp 18.000. Belum lagi beras sama cabai naik,” keluh Ibu Siti, pemilik warteg di kawasan Tanah Abang, Jakarta.
Pelemahan rupiah memperparah situasi. Dengan nilai tukar yang merosot, harga barang impor, termasuk bahan baku seperti bumbu instan atau tepung, ikut terkerek. “Kami terpaksa naikin harga menu dari Rp 15.000 jadi Rp 18.000 per porsi. Kalau enggak gitu, ya porsinya dikurangin sedikit biar untungnya nggak habis,” ungkap Ibu Siti. Namun, kenaikan harga ini beresiko mengusir pelanggan setia warteg, yang mayoritas adalah pekerja informal seperti driver ojek online, karyawan swasta, dan buruh. Daya beli mereka, yang sudah tergerus inflasi, makin terpukul. Beberapa pelanggan kini memilih membawa bekal atau beralih ke pedagang kaki lima dengan harga lebih murah, membuat omset warteg terancam turun.
Selain konflik Timur Tengah, penguatan dolar AS juga menjadi biang keladi. Indeks DXY naik 1,05% akibat ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed (5,25–5,5%), yang membuat selisih suku bunga dengan BI rate (5,5%) semakin tipis. Akibatnya, investor asing ramai-ramai menarik dana dari aset berdenominasi rupiah, termasuk pasar saham Indonesia, memicu anjloknya IHSG 3% ke kisaran 7,000. “Investor asing jual saham, rupiah jatuh, harga bahan baku naik. Warteg yang nggak ada hubungannya sama geopolitik ikut kena getahnya,” ujar Andi, pelanggan warteg yang juga pedagang pasar.
Bank Indonesia (BI) tak tinggal diam. Gubernur BI menegaskan komitmen menjaga rupiah melalui intervensi di pasar valas (spot, DNDF, dan obligasi) serta koordinasi dengan pemerintah untuk mengendalikan impor. Namun, tantangan tak ringan. Inflasi impor akibat harga minyak berpotensi melonjak, menambah tekanan pada biaya hidup masyarakat dan operasional warteg. Pemerintah diharapkan turun tangan dengan solusi konkret, seperti subsidi bahan pokok untuk UMKM atau kredit berbunga rendah. “Kalau harga beras sama minyak goreng bisa ditekan, kami masih bisa tahan harga menu,” harap Ibu Siti.
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
Di tengah krisis, peran masyarakat menjadi krusial. Mengonsumsi produk lokal dapat mengurangi ketergantungan pada impor, sekaligus membantu warteg yang menggunakan bahan baku domestik. Investasi pada instrumen seperti emas atau Surat Utang Negara (SUN) juga dapat mendukung stabilitas rupiah. “Beli sayur kolplay lokal aja, lebih murah. Tapi kalau cabai impor mah tetep bikin dompet menjerit,” candai Andi.
Meski porsi di warteg menciut, semangat pelaku usaha mikro ini tak pudar. Dengan sinergi antara kebijakan BI, langkah pemerintah, dan dukungan publik, rupiah diharapkan pulih, dan warteg bisa kembali menyajikan porsi penuh tanpa bikin pelanggan gigit jari. Namun, untuk saat ini, volatilitas tetap mengintai, dan dompet rakyat—serta piring di warteg—harus bersiap menghadapi badai ekonomi global. By Mukroni
Foto Kowantaranews.com
- Berita Terkait :
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!