Jakarta, Kowantaranews.com – Ekonomi gig, seperti warteg di sudut gang yang selalu ramai, telah menjadi penyelamat bagi jutaan pekerja di Indonesia. Dengan 46 juta orang atau 32% angkatan kerja berstatus freelance pada awal 2023, pekerja gig seperti pengemudi ojek online, kurir, hingga pekerja lepas digital adalah tulang punggung ekonomi digital. Namun, seperti warteg tanpa lauk yang hanya menyisakan nasi kosong, pekerja gig kerap “kehilangan” perlindungan dasar seperti upah minimum, asuransi kesehatan, atau jaminan pensiun. Krisis perlindungan ini menjadi sorotan global, dengan pasar gig diprediksi melonjak dari 556,7 miliar dolar AS pada 2024 menjadi 1,847 triliun dolar AS pada 2032.
Bayangkan warteg favoritmu: fleksibel, murah, dan selalu ada saat lapar melanda. Itulah daya tarik ekonomi gig—kebebasan menentukan jam kerja dan peluang penghasilan tanpa ikatan formal. Tapi, seperti warteg yang kadang lalai menjaga standar kebersihan atau pendapatan stabil bagi pengelolanya, pekerja gig menghadapi tantangan serius: ketimpangan kekuatan dengan platform digital, algoritma yang tak transparan, dan kekosongan regulasi. Di Indonesia, setidaknya 20 celah regulasi—mulai dari status hukum pekerja, hak berserikat, hingga transparansi algoritma—membuat pekerja gig rentan, seperti pelayan warteg yang bekerja tanpa jaminan sosial.
Dunia menawarkan pelajaran berharga. Uni Eropa, melalui Platform Work Directive, menerapkan prinsip “presumption of employment”: jika algoritma platform mengontrol pekerja, mereka dianggap karyawan dengan hak penuh. Spanyol bahkan mewajibkan perusahaan seperti Glovo membuka “resep” algoritma mereka, mirip warteg yang menunjukkan dapur bersih untuk meyakinkan pelanggan. Di Amerika Serikat, California menggunakan tes ABC untuk memastikan pekerja gig yang bergantung pada platform mendapat upah minimum dan tunjangan, seperti warteg yang diwajibkan menyediakan lauk dasar. Australia memilih pendekatan ringan, menetapkan standar minimum upah dan istirahat tanpa mengubah status pekerja, serupa warteg yang tetap sederhana tapi memenuhi standar kesehatan. Singapura, dengan Platform Workers Act, menawarkan “menu” pensiun dan asuransi kecelakaan kerja, sementara Nigeria menunjukkan solidaritas pekerja melalui serikat, seperti komunitas warteg yang bahu-membahu menghadapi kenaikan harga bahan pokok.
Di Indonesia, tantangan pelik menghadang. Platform digital, seperti “bos warteg” yang menentukan harga seenaknya, mengendalikan tarif dan distribusi pekerjaan melalui algoritma tanpa transparansi. Status “mitra” membuat pekerja menanggung risiko tanpa jaminan, sementara klasifikasi sebagai karyawan bisa menambah biaya platform hingga 30% dan mengurangi fleksibilitas. Kementerian Ketenagakerjaan telah melangkah, mengakui pengemudi ojek dan kurir daring sebagai pekerja dengan hak istirahat dan jaminan sosial. Namun, penolakan platform, status ganda pekerja (bekerja di banyak “warteg” digital), dan regulasi sektoral yang terfragmentasi, seperti Permenhub No. 12/2019, menghambat kemajuan.
Beras Melimpah, Harga Nakal: Petualangan Mutu dan Spekulasi di Warteg dan Pasar Indonesia
Apa solusinya? Indonesia perlu regulasi khusus pekerja platform, seperti “standar warteg” yang adaptif: wajibkan platform berkontribusi pada BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, tetapkan tarif minimum yang mencakup biaya operasional, dan pastikan asuransi kecelakaan kerja. Prinsip “primacy of facts” harus diterapkan untuk mengakui hubungan kerja berdasarkan kontrol platform, bukan label kontrak. Transparansi algoritma, seperti dapur warteg yang terbuka, juga krusial. Selain itu, mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat dan hak berserikat akan memberi pekerja “suara”, seperti pelaku warteg yang berjejaring untuk bertahan. Pendekatan bertahap—mulai dari perlindungan dasar hingga hak penuh—dan dialog trilateral antara pemerintah, platform, dan pekerja akan memastikan keadilan.
Seperti warteg yang tak lengkap tanpa lauk, ekonomi gig tanpa perlindungan hanya menyisakan kerentanan. Menaker Yassierli di konvensi ILO menegaskan: teknologi tak boleh mengorbankan hak pekerja. Dengan regulasi inklusif dan semangat gotong royong ala warteg, Indonesia bisa membangun ekonomi digital yang tak hanya efisien, tapi juga manusiawi. Jadi, mari pastikan pekerja gig tak lagi “makan nasi kosong” tanpa perlindungan! By Mukroni
- Berita Terkait :
Beras Melimpah, Harga Nakal: Petualangan Mutu dan Spekulasi di Warteg dan Pasar Indonesia
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!