Jakarta, Kowantaranews.com – Harga minyak goreng merek Minyakita yang terus melambung di atas harga eceran tertinggi (HET) Rp15.700 per liter menjadi mimpi buruk bagi pelaku usaha warung tegal (warteg). Berdasarkan data per 20 Juni 2025, rata-rata harga nasional Minyakita mencapai Rp16.706 per liter, atau 6,37% di atas HET. Kondisi ini memukul keras warteg, tulang punggung kuliner masyarakat kelas menengah ke bawah, yang kini terjepit antara biaya operasional membengkak dan tekanan menjaga harga menu tetap terjangkau. “Goreng telor aja sekarang bikin kantong bolong!” keluh Siti, pemilik warteg di Pasar Minggu, Jakarta.
Kondisi Harga yang Mengkhawatirkan
Sebanyak 440 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia menjual Minyakita di atas HET. Situasi terparah terjadi di wilayah Indonesia Timur, dengan harga tertinggi mencapai Rp50.000 per liter di Papua dan Rp45.000 per liter di Puncak Jaya. Sembilan provinsi, termasuk NTT, Papua Selatan, Gorontalo, dan Bali, bahkan mencatat harga lebih dari 10% di atas HET. Kenaikan ini membuat warteg, yang mengandalkan minyak goreng untuk menggoreng ayam, ikan, tempe, hingga telur, harus berpikir ulang soal strategi bertahan.
Penyebab: Distribusi dan Pasokan Terhambat
Penyebab utama harga tinggi adalah distribusi yang tidak merata dan pasokan yang menipis. Realisasi Domestic Market Obligation (DMO) turun drastis dari 149.181 ton pada April menjadi 98.269 ton pada Juni 2025. Pasokan dari Bulog juga anjlok, dari 8,6 juta liter pada Mei menjadi hanya 3,3 juta liter pada pertengahan Juni. “Di Papua, kami cuma dapat satu kontainer Minyakita. Itu pun habis dalam hitungan hari,” ujar seorang pedagang di Jayapura. Biaya logistik yang tinggi juga membuat produsen enggan memasok daerah terpencil seperti Papua dan Maluku, memperparah kelangkaan.
Dampak pada Warteg: Harga Naik atau Porsi Dikurangi
Bagi warteg, minyak goreng adalah bahan krusial yang menyumbang porsi besar biaya operasional. Dengan harga Minyakita yang melonjak, banyak pemilik warteg terpaksa menaikkan harga menu. Misalnya, seporsi nasi, ayam goreng, dan sayur yang biasanya Rp10.000 kini menjadi Rp12.000-13.000. “Pelanggan mulai berkurang, terutama driver ojek dan buruh harian,” kata Anton, pemilik warteg di Surabaya. Alternatif lain adalah mengurangi porsi atau menggunakan minyak lebih sedikit, yang berdampak pada kualitas makanan. Beberapa warteg di daerah terpencil bahkan terpaksa beralih ke minyak curah yang lebih murah, meski berisiko bagi kesehatan.
Tantangan Ekonomi dan Sosial
Warteg bukan sekadar tempat makan, tetapi juga penopang ekonomi lokal dan akses pangan murah. Kenaikan harga menu berpotensi mengurangi daya beli pelanggan setia, seperti pekerja informal, yang mungkin beralih ke makanan instan—pilihan yang kurang sehat. Di Indonesia Timur, kelangkaan Minyakita bahkan memaksa beberapa warteg tutup sementara. “Kalau begini terus, kami bisa gulung tikar,” ujar Made, pemilik warteg di Kupang, NTT.
Upaya Pemerintah dan Solusi yang Dibutuhkan
Bulog telah mendistribusikan 44,08 juta liter Minyakita ke 27 provinsi, tetapi cakupan ini belum menyeluruh. Kementerian Perdagangan berupaya memetakan daerah kekurangan distributor dan melibatkan BUMN serta BUMD untuk memperluas pasokan. Namun, solusi jangka pendek ini belum cukup. Para pelaku warteg mendesak penegakan DMO yang lebih ketat, perluasan jaringan distribusi Bulog hingga 38 provinsi, serta insentif logistik bagi produsen yang mau memasok daerah terpencil. “Pemerintah harus turun tangan, jangan cuma janji. Kami butuh minyak murah sekarang,” tegas Siti.
Timur Tengah Menggila, IHSG dan Rupiah Makan Hati di Warteg!
Tantangan Jangka Panjang
Ironisnya, masalah ini berlangsung tiga tahun tanpa solusi permanen, padahal Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar dunia. Program biodiesel (B30) turut mengurangi stok minyak goreng domestik, memperburuk situasi. Tanpa kebijakan mendasar, seperti subsidi transportasi atau pengawasan ketat terhadap penimbunan, harga Minyakita akan terus memberatkan warteg dan masyarakat.
Harapan ke depan
Warteg berharap pemerintah segera menstabilkan harga Minyakita agar mereka bisa tetap menyajikan makanan murah dan berkualitas. Seperti canda Anton, “Kalau Minyakita masih mahal, mungkin warteg cuma bisa jual nasi sama sambel doang!” Namun, di balik kelakar itu, ada kekhawatiran nyata: tanpa solusi segera, warteg dan pelanggan setianya akan terus merasakan dampak pahit dari harga minyak yang “menggoreng” kantong.
Foto Kowantaranews.com
- Berita Terkait :
Timur Tengah Menggila, IHSG dan Rupiah Makan Hati di Warteg!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!