Jakarta, Kowantaranews.com – Pertumbuhan kredit perbankan Indonesia mengalami perlambatan signifikan, mencatat angka 8,43% (yoy) per Mei 2025, turun dari 10,27% pada Januari 2025. Berdasarkan data terbaru, pertumbuhan kredit sepanjang Januari–Mei 2025 hanya mencapai 2,12%, jauh di bawah capaian periode sama tahun lalu sebesar 4,03%. Penurunan ini mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat dan tantangan likuiditas yang dihadapi perbankan, memicu kekhawatiran akan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Segmen kredit menunjukkan performa yang beragam. Kredit investasi masih menjadi yang terkuat dengan pertumbuhan 13,74% (yoy), diikuti kredit konsumsi sebesar 8,82%. Namun, kredit modal kerja hanya tumbuh 4,94%, menandakan aktivitas usaha yang lesu. Sektor UMKM terdampak paling parah, dengan pertumbuhan kredit hanya 2,17%, jauh tertinggal dibandingkan kredit korporasi yang mencapai 11,92%. Kredit pemilikan rumah (KPR) juga melambat, turun menjadi 8,9% pada Maret 2025 dari 10,7% di Februari, sementara kredit kendaraan bermotor (KKB) hanya tumbuh 5,9%, mencerminkan menurunnya minat belanja masyarakat.
Penyebab utama perlambatan ini adalah melemahnya daya beli. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia turun drastis ke 117,8 pada Juni 2025, terendah sejak September 2022, dari 133,8 pada Juni 2024. Penyusutan kelas menengah menjadi faktor kunci, mengurangi permintaan KPR dan KKB. Selain itu, likuiditas perbankan semakin ketat, dengan rasio loan to deposit ratio (LDR) naik ke 88,16% pada Mei 2025 dari 87,64% di Januari. Hal ini mendorong bank untuk lebih selektif dalam menyalurkan kredit demi menjaga stabilitas keuangan.
Risiko kredit macet juga meningkat. Non-performing loan (NPL) sektor rumah tangga mencapai 2,33% pada April 2025, dengan KPR mencatat NPL tertinggi sebesar 3,07%. Akibatnya, bank memperketat syarat kredit dan meningkatkan cadangan risiko (CKPN), yang turut memperlambat penyaluran kredit baru.
Menghadapi tantangan ini, perbankan merespons dengan berbagai strategi. Suku bunga kredit tetap tinggi untuk menjaga likuiditas, sementara transformasi digital menjadi andalan. Contohnya, BRI memanfaatkan platform BRImo yang kini memiliki 40,28 juta pengguna, mendukung rasio CASA (pendanaan murah) sebesar 65,77%. Banyak bank juga merevisi Rencana Bisnis Bank (RBB) bersama OJK untuk menyesuaikan target di tengah ketidakpastian ekonomi. Meski OJK mempertahankan target pertumbuhan kredit 9–11% untuk 2025, tren saat ini menunjukkan target tersebut sulit tercapai.
Di tengah pelemahan ekonomi, muncul fenomena menarik: belanja kesehatan meningkat. Industri kebugaran tumbuh 6,1% pada 2024, didorong oleh perubahan pola konsumsi masyarakat. Contohnya, Winarso Nugroho, seorang warga Jakarta, mengalokasikan Rp3,8 juta per tahun untuk gym dan pola hidup sehat. Tren ini menunjukkan masyarakat mulai memprioritaskan kesehatan di tengah tekanan ekonomi, kontras dengan penurunan permintaan kredit konsumsi.
Optimisme Ekonomi Indonesia 2025: Masih Bertahan atau Mulai Runtuh?
Pelemahan daya beli dan ketatnya likuiditas menjadi tantangan besar bagi perbankan. Respons strategis seperti efisiensi digital dan pengelolaan risiko kredit akan krusial untuk menjaga stabilitas. Namun, tanpa perbaikan daya beli, pertumbuhan ekonomi berpotensi tertekan. Sementara itu, tren investasi kesehatan mengindikasikan pergeseran prioritas masyarakat, yang mungkin menjadi sinyal baru dalam dinamika konsumsi nasional. By Mukroni
- Berita Terkait :
Optimisme Ekonomi Indonesia 2025: Masih Bertahan atau Mulai Runtuh?
Swasembada Pangan 2026: Anggaran Membengkak, Target Berantakan, Harga Pangan Masih Melambung?
Tarif AS 32% Ancam Jutaan Pekerja Indonesia: Bisakah Insentif Selamatkan Industri Padat Karya?
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!