Jakarta, Kowantaranews.com – Pemerintah menetapkan angka fantastis Rp51,82 triliun sebagai estimasi sementara biaya pemulihan pasca-banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025. Angka ini diumumkan dalam rapat terbatas yang dipimpin langsung Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Senin pagi, dan menjadi salah satu paket pemulihan bencana terbesar dalam sejarah Indonesia modern.
Rinciannya: Aceh membutuhkan Rp25,41 triliun, Sumatera Utara Rp12,88 triliun, dan Sumatera Barat Rp13,52 triliun. “Angka ini masih bisa naik karena verifikasi lapangan belum 100 persen selesai,” kata Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto. Hingga hari ini, korban jiwa tercatat 753 orang meninggal dunia, 650 dinyatakan hilang, lebih dari 2.600 luka berat dan ringan, serta 2,1 juta jiwa mengungsi.
Pemulihan dilakukan dalam dua fase besar: hunian sementara (Huntara) dan hunian tetap (Huntap) disertai relokasi wajib bagi warga yang rumahnya berada di zona merah bencana.
Fase pertama, pembangunan Huntara, langsung dipercayakan kepada TNI dan Polri. Setiap unit berukuran 36 m², tipe 36 sederhana dengan rangka baja ringan, dinding panel beton pracetak, dan atap seng. Biaya per unit sekitar Rp30 juta. “Target kami enam bulan semua Huntara sudah bisa ditempati,” ujar Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto. Ribuan prajurit Korps Zeni dan Brimob sudah diterjunkan ke lokasi terdampak, mulai dari Karo, Tapanuli Tengah, hingga Aceh Tenggara.
Setelah Huntara selesai, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akan memulai pembangunan Huntap dengan standar tahan gempa dan banjir. Satu unit Huntap diperkirakan menelan biaya Rp60 juta, dua kali lipat Huntara, karena dilengkapi pondasi bore pile, sanitasi memadai, dan akses jalan lingkungan. “Warga tidak boleh kembali ke lokasi lama yang rawan longsor dan banjir bandang,” tegas Menteri PUPR Dody Hanggodo.
Kendala terbesar saat ini adalah akses. Lebih dari 43 jembatan putus dan 31 ruas jalan nasional serta provinsi terisolasi. Di Aceh Tamiang dan Pidie Jaya-Bireuen, truk bantuan tidak bisa masuk. TNI AU mengerahkan 42 armada helikopter dan pesawat kargo Hercules untuk mengirim logistik setiap hari. Kapal-kapal TNI AL juga mengangkut beras, tenda, dan obat-obatan melalui jalur laut ke pelabuhan kecil yang masih bisa dijangkau.
Di balik kerusakan masif ini, para ahli menyoroti akar masalah ekologis. Tim peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) yang turun ke Bukit Barisan menyimpulkan bahwa deforestasi dan alih fungsi lahan hutan lindung menjadi perkebunan sawit serta pertambangan menjadi penyebab utama banjir dan longsor semakin parah. “Daya serap air di lereng Bukit Barisan sudah tinggal 30-40 persen dari kondisi normal,” kata Prof. Budi Faisal, pakar hidrologi ITB. Partai Gelora bahkan secara terbuka menuntut perusahaan-perusahaan yang melakukan pembalakan liar dan konversi hutan diwajibkan membayar dana reparasi ekologis.
Pasca-Banjir Sumatra, 750 Ribu Hektar Izin Hutan Terancam Dicabut
Sementara itu, Kementerian Sosial telah menggelontorkan bantuan Rp21,48 miliar untuk tahap tanggap darurat, termasuk mendirikan 28 dapur umum yang menghasilkan rata-rata 100 ribu bungkus nasi per hari. Ahli waris korban meninggal dunia mendapat santunan Rp15 juta per jiwa, sedangkan korban luka berat Rp5 juta.
Presiden Prabowo sendiri telah tiga kali meninjau langsung lokasi bencana, terakhir di Tapanuli Tengah dan Padang Pariaman. “Kita tidak boleh hanya menyalahkan alam. Manusia juga harus bertanggung jawab. Reboisasi besar-besaran dan penegakan hukum terhadap perusak hutan akan menjadi prioritas saya di sisa masa jabatan ini,” tegasnya.
Hari ini, langit Sumatera masih mendung. Ribuan warga bertahan di pengungsian, menanti rumah sementara yang dijanjikan selesai sebelum Lebaran 2026. Di balik angka triliunan rupiah dan rencana megah, ada harapan sederhana: bisa tidur nyenyak lagi tanpa takut tanah longsor atau air bah datang di tengah malam. By Mukroni
- Berita Terkait :
Pasca-Banjir Sumatra, 750 Ribu Hektar Izin Hutan Terancam Dicabut
Mulai Hari Ini! Kereta Petani & Pedagang Rp3.000 Bisa Bawa 2 Koli Sayur-Buah
UMKM Masih Sulit Masuk Stasiun & Bandara, Sewa Mahal Jadi Biang Kerok
Resmi: Bentuk Koperasi Merah Putih Jadi Syarat Wajib Cairkan Dana Desa Tahap II
“Malu Makan Tempe Impor!” Titiek Soeharto Sentil Ketergantungan 90% Kedelai dari AS
Indonesia Terancam Impor 2,9 Juta Ton Kedelai di 2026 gara-gara Makan Bergizi Gratis
Libur Natal & Tahun Baru Makin Hemat: Tiket Pesawat, Kereta, Kapal & Penyeberangan Didiskon Besar
UMKM Dapat Kepastian Pajak 0,5% Selamanya, Tapi Usaha Besar Tak Bisa Lagi “Ngumpet”
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!

