Jakarta, Kowantaranews.com – Sebuah kapal kontainer raksasa berkapasitas 50.000 ton bersandar pagi ini. Tepat 24 jam kemudian, semua muatannya sudah lenyap. Bukan karena ribuan buruh pelabuhan berlarian, melainkan karena tak ada satu pun manusia di dermaga. Crane raksasa bergerak sendiri, truk tanpa sopir (AGV) meluncur teratur, sinyal 5G dan BeiDou mengarahkan segalanya. Hasilnya: 240 kontainer dibongkar per jam. Durian segar asal Thailand yang turun dari kapal sampai ke pasar Guangzhou hanya dalam dua jam.
Sementara itu, 4.700 km di selatan, Tanjung Priok masih setia dengan kemacetan legendarisnya. Truk antre hingga 8 km di luar gerbang, dwelling time rata-rata 3-5 hari, dan produktivitas bongkar muat tertinggi hanya 30-40 kontainer per jam per crane. Biaya logistik Indonesia masih berkubang di angka 14-16% dari PDB, tiga kali lipat lebih mahal dari China yang kini mendekati 5%.
Konsekuensinya mulai terasa. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengeluarkan peringatan keras untuk 2026: pertumbuhan ekonomi diproyeksi 5-5,4%, tapi kualitasnya rapuh. Investasi Rp1 triliun yang dulu (2013) mampu menyerap 4.500 pekerja, kini hanya 1.364 orang. Industri semakin padat modal, otomasi menggantikan tangan manusia, sementara 60% tenaga kerja Indonesia masih bertahan di sektor informal.
Yang lebih mengkhawatirkan, China kini punya “senjata” baru: biaya logistik mendekati nol. Ketika Amerika menaikkan tarif terhadap produk China, excess capacity mereka akan dialihkan ke pasar terdekat yang paling mudah dibanjiri, Indonesia. “Spillover market” yang selama ini hanya jadi istilah ekonom kini jadi ancaman nyata. Tekstil, elektronik, besi baja, sepatu, keramik, semuanya bisa masuk lebih murah 15-30% ketimbang produk lokal yang masih tercekik biaya logistik.
Banjir & Longsor Tiga Provinsi Butuh Rp51,82 T: Dari Huntara 6 Bulan hingga Relokasi Permanen
Indonesia terjebak dalam dilema pahit. Jika kita tetap bertahan dengan cara lama, industri dalam negeri akan mati berdiri karena tak mampu bersaing harga. Jika kita buru-buru otomasi seperti Nansha, lapangan kerja manual akan lenyap lebih cepat lagi, sementara 17% pemuda lulusan SMA/SMK sudah menganggur.
Apindo sudah berteriak: upah naik rata-rata 7% per tahun, tapi produktivitas hanya naik 1,5-2%. Daya saing terus tergerus. Tanpa revolusi logistik segera, tanpa perubahan total kurikulum vokasi menuju skill digital dan OT (Operational Technology), tanpa perlindungan pasar yang lebih tegas, 2030 Indonesia berpotensi jadi kombinasi mengerikan: pasar buangan terbesar China sekaligus gudang pengangguran terdidik terbesar di ASEAN.
Pelabuhan Nansha sudah hidup di tahun 2035.
Tanjung Priok masih terjebak di 2015.
Waktu yang tersisa tinggal lima tahun, atau kurang. By Mukroni
- Berita Terkait :
Banjir & Longsor Tiga Provinsi Butuh Rp51,82 T: Dari Huntara 6 Bulan hingga Relokasi Permanen
Pasca-Banjir Sumatra, 750 Ribu Hektar Izin Hutan Terancam Dicabut
Mulai Hari Ini! Kereta Petani & Pedagang Rp3.000 Bisa Bawa 2 Koli Sayur-Buah
UMKM Masih Sulit Masuk Stasiun & Bandara, Sewa Mahal Jadi Biang Kerok
Resmi: Bentuk Koperasi Merah Putih Jadi Syarat Wajib Cairkan Dana Desa Tahap II
“Malu Makan Tempe Impor!” Titiek Soeharto Sentil Ketergantungan 90% Kedelai dari AS
Indonesia Terancam Impor 2,9 Juta Ton Kedelai di 2026 gara-gara Makan Bergizi Gratis
Libur Natal & Tahun Baru Makin Hemat: Tiket Pesawat, Kereta, Kapal & Penyeberangan Didiskon Besar
UMKM Dapat Kepastian Pajak 0,5% Selamanya, Tapi Usaha Besar Tak Bisa Lagi “Ngumpet”
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!

