Jakarta, Kowantaranews.com — Menjelang penandatanganan perjanjian dagang bersejarah antara Indonesia dan Amerika Serikat pada Januari 2026, atmosfer di kalangan pelaku usaha nasional diwarnai kelegaan yang bercampur kewaspadaan. Kesepakatan untuk menurunkan tarif resiprokal dari ancaman awal 32 persen menjadi 19 persen memang meredam potensi guncangan ekonomi mendadak. Namun, analisis mendalam menunjukkan bahwa angka 19 persen ini bukanlah “diskon” cuma-cuma, melainkan biaya masuk baru yang mengubah struktur kompetisi industri manufaktur tanah air secara permanen.
Di permukaan, sektor komoditas strategis muncul sebagai pemenang. Diplomasi ekonomi Indonesia berhasil mengamankan pengecualian tarif nol persen untuk minyak kelapa sawit, kopi, kakao, dan karet. Logika Washington pragmatis: mereka membutuhkan input ini untuk industri domestik mereka dan tidak memiliki substitusi lokal. Hal ini memberikan bantalan vital bagi jutaan petani dan menjaga stabilitas devisa sektor agro.
Lebih mengkhawatirkan lagi adalah nasib industri furnitur. Selain tarif dasar 19 persen, sektor ini dibayangi ancaman tarif keamanan nasional (Section 232) yang bisa melambungkan bea masuk hingga 50 persen untuk kategori tertentu seperti lemari dapur (kitchen cabinets). Ini adalah pukulan ganda di saat industri furnitur juga harus berjuang mematuhi regulasi anti-deforestasi global yang menelan biaya tinggi.
Perbankan Pastikan Ketersediaan Uang Tunai dan Layanan Digital Selama Nataru 2025
Secara strategis, ancaman terbesar justru datang dari tetangga sendiri, Malaysia. Meskipun sama-sama menghadapi tarif dasar 19 persen, Malaysia berhasil menegosiasikan masuknya ribuan pos tarif produk manufaktur bernilai tinggi—seperti elektronik dan komponen pesawat—ke dalam daftar “Annex III” yang menikmati tarif nol persen. Jika Indonesia gagal mengamankan kesepakatan serupa untuk produk manufakturnya dalam negosiasi final, investor global memiliki alasan kuat untuk memindahkan pabrik elektronik dan perakitan mereka ke Kuala Lumpur, bukan Jawa Barat.
Kesepakatan 2026 ini adalah ujian bagi transformasi ekonomi Indonesia. Komitmen Jakarta untuk memborong pesawat Boeing dan energi AS senilai miliaran dolar harus dikonversi lebih dari sekadar tarif rendah untuk bahan mentah. Misi utama tim negosiator kini adalah memastikan produk bernilai tambah Indonesia juga mendapatkan “jalur hijau” di Annex III. Tanpa itu, tarif 19 persen berisiko mengerdilkan mimpi hilirisasi, menjebak Indonesia kembali hanya sebagai eksportir komoditas, sementara tetangga melesat dengan industri teknologi tinggi yang bebas tarif. By Mukroni
- Berita Terkait :
Perbankan Pastikan Ketersediaan Uang Tunai dan Layanan Digital Selama Nataru 2025
Alarm Ekonomi: Rupiah Tembus Rp 16.700, Sinyal Bahaya Berlanjut hingga 2026
Butuh Setahun untuk Pulihkan Mata Pencarian Petani Padi di Sumatra
Ironi Negeri Kelapa: Ekspor Melambung 143%, Rakyat Tercekik Kenaikan Harga dan Kelangkaan Pasokan
Pemerintah dan Swasta Bersinergi, Targetkan 1,1 Juta UMKM Naik Kelas Pasca-Kunjungan UNSGSA
Mulai Hari Ini! Kereta Petani & Pedagang Rp3.000 Bisa Bawa 2 Koli Sayur-Buah
UMKM Masih Sulit Masuk Stasiun & Bandara, Sewa Mahal Jadi Biang Kerok
Resmi: Bentuk Koperasi Merah Putih Jadi Syarat Wajib Cairkan Dana Desa Tahap II
“Malu Makan Tempe Impor!” Titiek Soeharto Sentil Ketergantungan 90% Kedelai dari AS
Indonesia Terancam Impor 2,9 Juta Ton Kedelai di 2026 gara-gara Makan Bergizi Gratis
Libur Natal & Tahun Baru Makin Hemat: Tiket Pesawat, Kereta, Kapal & Penyeberangan Didiskon Besar
UMKM Dapat Kepastian Pajak 0,5% Selamanya, Tapi Usaha Besar Tak Bisa Lagi “Ngumpet”
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!

