Jakarta, Kowantaranews.com – Indonesia menutup tahun 2025 dengan sebuah ironi besar dalam neraca pangan nasional. Di atas kertas, pemerintah berhasil mencatatkan prestasi historis dengan mengamankan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 3,39 juta ton per Desember 2025, angka tertinggi sepanjang sejarah kemerdekaan Republik Indonesia tanpa ketergantungan impor masif di akhir tahun. Namun, kelimpahan stok di gudang pusat ini seolah tak menyentuh realitas pahit di pedalaman Papua Tengah, di mana harga beras meroket hingga level yang tak masuk akal.
Di Kabupaten Intan Jaya, harga beras premium dilaporkan menembus angka Rp50.000 per kilogram, sebuah lonjakan ekstrem yang melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) Zona 3 sebesar Rp15.800 hingga lebih dari 300 persen. Anggota DPR Papua Tengah, Henes Sondegau, menyoroti bahwa disparitas harga yang “gila” ini bukan disebabkan oleh ketiadaan barang secara nasional, melainkan akibat ketergantungan mutlak wilayah tersebut pada transportasi udara.
Ketika cuaca buruk melanda pegunungan pada akhir tahun, pesawat perintis yang menjadi satu-satunya nadi logistik gagal mendarat, memicu kelangkaan instan dan praktik spekulasi harga. Masalah ini diperparah oleh fakta struktural yang diungkap Satgas Pangan Polri: sebanyak 28 kabupaten/kota di wilayah Papua ternyata belum memiliki fasilitas gudang Bulog. Tanpa gudang penyangga, daerah-daerah ini tidak memiliki “bantalan” stok untuk menghadapi gangguan distribusi, menjadikan ketahanan pangan mereka sangat rapuh terhadap perubahan cuaca.
Merespons krisis ini, pemerintah terpaksa menerapkan langkah darurat dengan pendekatan keamanan. Satgas Pangan Polri di bawah komando Brigjen Ade Safri mengaktifkan strategi “Gudang Filial”, yakni memfungsikan kantor-kantor polisi dan aset pemerintah daerah sebagai pusat distribusi beras darurat. Sepanjang operasi jelang Natal, strategi ini berhasil menyalurkan 827,5 ton beras SPHP ke wilayah-wilayah isolasi tersebut.
Geliat Ekonomi di Wilayah Ekstrem: Sukses Hortikultura NTT dan Adaptasi Wisata Merapi
Tak hanya di timur, ujian logistik juga menghantam wilayah barat. Banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera Utara pada Desember 2025 memutus jalur darat vital menuju Pulau Nias. Menghadapi kelumpuhan akses sipil, distribusi pangan akhirnya diambil alih oleh kekuatan militer. TNI Angkatan Laut mengerahkan KRI Banda Aceh untuk mengangkut 320 ton beras dari Medan melintasi laut, memastikan pasokan tetap sampai ke Nias meski jalan darat hancur.
Fenomena akhir tahun 2025 ini menjadi peringatan keras bagi ambisi pemerintah yang menargetkan kebijakan “Beras Satu Harga” pada 2026. Rekor stok nasional terbukti tidak bermakna banyak jika infrastruktur logistik “mile terakhir” di daerah tertinggal belum terbangun. Kedaulatan pangan Indonesia ke depan tampaknya tidak lagi hanya soal mencetak sawah baru di Merauke, tetapi bagaimana memenangkan perang logistik melawan tantangan geografis negara kepulauan. By Mukroni
- Berita Terkait :
Geliat Ekonomi di Wilayah Ekstrem: Sukses Hortikultura NTT dan Adaptasi Wisata Merapi
Tinjauan Akhir Tahun 2025: Antara Kilau Komoditas, Belanja Cerdas AI, dan Tekanan Daya Beli
Perbankan Pastikan Ketersediaan Uang Tunai dan Layanan Digital Selama Nataru 2025
Alarm Ekonomi: Rupiah Tembus Rp 16.700, Sinyal Bahaya Berlanjut hingga 2026
Butuh Setahun untuk Pulihkan Mata Pencarian Petani Padi di Sumatra
Ironi Negeri Kelapa: Ekspor Melambung 143%, Rakyat Tercekik Kenaikan Harga dan Kelangkaan Pasokan
Pemerintah dan Swasta Bersinergi, Targetkan 1,1 Juta UMKM Naik Kelas Pasca-Kunjungan UNSGSA
Mulai Hari Ini! Kereta Petani & Pedagang Rp3.000 Bisa Bawa 2 Koli Sayur-Buah
UMKM Masih Sulit Masuk Stasiun & Bandara, Sewa Mahal Jadi Biang Kerok
Resmi: Bentuk Koperasi Merah Putih Jadi Syarat Wajib Cairkan Dana Desa Tahap II
“Malu Makan Tempe Impor!” Titiek Soeharto Sentil Ketergantungan 90% Kedelai dari AS
Indonesia Terancam Impor 2,9 Juta Ton Kedelai di 2026 gara-gara Makan Bergizi Gratis
Libur Natal & Tahun Baru Makin Hemat: Tiket Pesawat, Kereta, Kapal & Penyeberangan Didiskon Besar
UMKM Dapat Kepastian Pajak 0,5% Selamanya, Tapi Usaha Besar Tak Bisa Lagi “Ngumpet”
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!

