Jakarta, Kowantaranews.com -Di tengah gelombang ketidakpastian ekonomi, cerita tentang pekerja formal yang beralih ke dunia informal digital kian ramai dibicarakan. Dari karyawan kantoran yang kena PHK, kini banyak yang “ngegas” di jalan sebagai pengemudi ojek online (ojol), “ngevlog” di layar sebagai kreator konten TikTok, sambil menikmati makan hemat di warteg. Fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan cerminan perjuangan bertahan hidup di era modern yang penuh tantangan.
Awal Mula Pergeseran: PHK dan Tekanan Ekonomi
Pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu pemicu utama. Perlambatan ekonomi, ditambah dengan otomatisasi di sektor manufaktur dan jasa, membuat ribuan pekerja kehilangan pekerjaan tetap. Data menunjukkan bahwa banyak dari mereka beralih ke pekerjaan gig, seperti pengemudi ojol, kurir, penjual online, hingga kreator konten. Platform digital seperti Gojek, Grab, ShopeeFood, dan TikTok Shop menjadi penyelamat bagi mereka yang mencari solusi cepat. Fleksibilitas waktu kerja dan kemudahan akses membuat platform ini magnet bagi pekerja, terutama di perkotaan. GoTo, misalnya, mengklaim telah menyerap 3 juta mitra pengemudi dan 5,3 juta UMKM, menyumbang Rp 259–392 triliun bagi PDB Indonesia. Grab juga melaporkan bahwa 50% mitra pengemudinya adalah korban PHK atau sebelumnya menganggur.
Hidup di Dunia Gig: Antara Harapan dan Tantangan
Namun, di balik kemudahan itu, kehidupan sebagai pekerja gig tidak selalu mulus. Pendapatan yang fluktuatif menjadi keluhan utama. Hari ini bisa untung besar, esok bisa sepi orderan. Belum lagi jam kerja yang panjang—28,4% pekerja gig bekerja 13–14 jam per hari, sering kali hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Makan siang di warteg pun jadi pilihan wajib karena murah dan mengenyangkan, meski kadang harus berbagi meja dengan pelanggan lain di tengah hiruk-pikuk.
Perlindungan sosial juga nyaris absen. Mayoritas pekerja gig tidak tercakup BPJS Ketenagakerjaan atau jaminan sosial lainnya. Jika sakit atau kecelakaan, mereka harus menanggung biaya sendiri. Hubungan dengan platform digital pun sering tidak seimbang. Algoritma pesanan yang tak transparan, tarif yang dipotong sepihak, hingga ancaman pemblokiran akun membuat pekerja gig merasa rentan. “Kadang rasanya kayak kerja rodi modern,” keluh seorang mitra ojol di Jakarta.
Dampak dan Risiko Jangka Panjang
Ekonomi gig memang menjadi penyangga sementara bagi korban PHK, tetapi juga menciptakan “zona abu-abu” antara pengangguran dan pekerjaan layak. Banyak pekerja terjebak dalam siklus pendapatan rendah, yang berisiko menjadi “jebakan kemiskinan”. Tanpa pelatihan ulang atau akses ke pekerjaan formal, sulit bagi mereka untuk keluar dari lingkaran ini. Di sisi lain, platform seperti YouTube menawarkan harapan baru. Dengan kenaikan pendapatan kreator konten sebesar 20% pada 2024, banyak yang beralih menjadi vlogger atau penjual online, meski persaingan di dunia digital juga kian ketat.
Solusi: Kolaborasi untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Pemerintah, platform digital, dan serikat pekerja perlu bersinergi untuk mengatasi tantangan ini. Pertama, perluasan perlindungan sosial, seperti BPJS Ketenagakerjaan dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), harus menjangkau pekerja gig. Kedua, program reskilling dan pendampingan karier diperlukan agar pekerja bisa beralih ke sektor yang lebih stabil. Ketiga, regulasi yang melindungi pekerja digital harus ditegakkan, memastikan upah layak, hak cuti, dan perlindungan hukum.
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Platform digital juga harus bertanggung jawab. Selain menyerap tenaga kerja, mereka perlu menciptakan ekosistem yang lebih adil, seperti transparansi algoritma dan kebijakan yang tidak merugikan mitra. Warteg, sebagai simbol ketahanan pekerja gig, mungkin bisa jadi inspirasi—sederhana, tapi selalu ada untuk semua.
Dari karyawan kena PHK ke ojol TikTok, perjalanan pekerja informal digital adalah kisah tentang adaptasi dan perjuangan. Mereka ngegas di jalan, ngevlog di layar, dan makan di warteg untuk bertahan hidup. Namun, tanpa intervensi kebijakan yang kuat, mereka akan terus berputar di zona abu-abu. Dengan kolaborasi yang tepat, mimpi untuk pekerjaan yang adil dan berkelanjutan bukan lagi sekadar vlog, tapi kenyataan. By Mukroni
Foto Kowantaranews.com
- Berita Terkait :
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
BSU 2025: Rp600 Ribu Buat Nongkrong di Warteg Sultan atau Bayar Utang Lauk Pauk?
Job Fair Bekasi: QR Code Direbut, Warteg Jadi Penutup!
Stimulus Rp24,4 T: Bansos Ngegas, Listrik Diskon Batal, Warteg Tetap Jualan Orek Tempe!