Jakarta, Kowantaranews.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu janji kampanye utama Presiden Prabowo Subianto mulai menampakkan “efek samping” yang tidak kecil di sektor pangan nasional. Di balik senyum anak sekolah yang mendapat tempe dan tahu gratis tiga sampai lima kali seminggu, tersembunyi ancaman lonjakan impor kedelai yang bisa mencapai rekor baru 2,9 juta ton pada 2026—naik hampir 10 persen dari proyeksi impor 2025 yang sudah berada di level 2,65–2,75 juta ton.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Oktober 2025 menunjukkan Indonesia telah mengimpor 2,1 juta ton kedelai dalam sepuluh bulan pertama tahun ini. Jika tren bulanan November–Desember tetap sama (250.000–280.000 ton per bulan), maka total impor 2025 berpotensi menembus 2,8 juta ton—tertinggi sepanjang sejarah. Sementara itu, produksi kedelai domestik justru terus menyusut. Panen 2025 diperkirakan hanya 290.000–310.000 ton, turun dari 350.000 ton pada 2024 dan jauh di bawah angka 500.000–600.000 ton pada era 2015–2017.
Laporan terbaru United States Department of Agriculture (USDA) yang dirilis November 2025 bahkan lebih pesimistis. Dengan asumsi MBG berjalan penuh mulai tahun ajaran 2026/2027 untuk 82,9 juta penerima (siswa SD–SMP, santri, dan balita PAUD), konsumsi kedelai nasional akan melonjak dari 3,05 juta ton (2025) menjadi 3,35–3,4 juta ton (2026). Karena produksi dalam negeri paling optimistis hanya naik menjadi 450.000 ton, maka kesenjangan yang harus ditutup lewat impor mencapai 2,9 juta ton—hampir 87 persen dari total kebutuhan.
Angka ini bukan sekadar statistik. Dengan harga kedelai dunia saat ini sekitar US$420–440 per ton (C&F Indonesia), tagihan devisa untuk impor 2,9 juta ton pada 2026 diperkirakan mencapai US$1,25–1,28 miliar atau setara Rp20–21 triliun (kurs Rp16.300). Jika harga dunia naik lagi akibat gangguan cuaca di Amerika Serikat atau Brazil (seperti yang terjadi pada 2022), angkanya bisa membengkak hingga Rp27–30 triliun.
Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Kementerian Pertanian menggeber dua strategi besar: ekspansi lahan 1 juta hektar menggunakan lahan sawit sitaan yang belum ditanami dan kolaborasi dengan TNI Angkatan Laut untuk food estate kedelai seluas 10.000 hektar di Natuna dan sekitarnya. Varietas unggul “Kedelai Garuda Merah Putih” yang diklaim bisa menghasilkan 3–4 ton per hektar juga terus dipromosikan.
Namun, realitas di lapangan jauh dari harapan. Dari target 1 juta hektar, baru 47.000 hektar yang benar-benar “siap tanam” per November 2025. Sebagian besar lahan sitaan berada di lahan gambut yang terbakar atau tererosi berat, dengan biaya rehabilitasi Rp35–60 juta per hektar—dua sampai tiga kali lebih mahal daripada membuka lahan baru di Papua. Sementara proyek TNI AL di Natuna, meski simbolis kuat, hanya mampu menyumbang maksimal 35.000–40.000 ton per tahun jika berhasil—kurang dari 1,5 persen dari total kebutuhan 2026.
Libur Natal & Tahun Baru Makin Hemat: Tiket Pesawat, Kereta, Kapal & Penyeberangan Didiskon Besar
Yang paling krusial adalah masalah harga. Harga kedelai impor saat ini Rp9.200–9.500 per kg, sedangkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) kedelai lokal hanya Rp10.000 per kg. Setelah ditambah biaya angkut dan sortasi, industri tempe-tahu tetap memilih impor yang lebih murah, lebih seragam, dan lebih bersih. Selama margin ini tidak dibalik, petani tidak akan berminat menanam kedelai dalam jumlah besar, apapun subsidi pupuk atau benih yang diberikan.
Beberapa pengamat pangan menyarankan pendekatan yang lebih realistis: terima ketergantungan impor 80–85 persen hingga akhir dekade ini, sambil mempercepat diversifikasi sumber impor (Brazil, Paraguay, Argentina) dan mengembangkan protein alternatif untuk menu MBG seperti tempe jamur, kacang hijau, atau ikan patin bubuk. Tanpa itu, janji swasembada kedelai dalam 3–4 tahun yang sering digaungkan di berbagai kesempatan hanya akan menjadi slogan kosong, sementara tagihan impor terus membengkak dan anak-anak sekolah tetap makan tempe dari kedelai Amerika. By Mukroni
- Berita Terkait :
Libur Natal & Tahun Baru Makin Hemat: Tiket Pesawat, Kereta, Kapal & Penyeberangan Didiskon Besar
UMKM Dapat Kepastian Pajak 0,5% Selamanya, Tapi Usaha Besar Tak Bisa Lagi “Ngumpet”
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!

