Jakarta, Kowantaranews.com – Menutup tahun 2025, lanskap ekonomi global dan domestik menyajikan paradoks tajam. Di satu sisi, pasar komoditas mencatatkan rekor sejarah baru dengan harga emas yang melambung tinggi, sementara di sisi lain, daya beli masyarakat menengah ke bawah menghadapi ujian berat yang tercermin dari negosiasi upah yang alot serta lonjakan utang konsumtif digital.
Di pasar komoditas, harga emas dunia secara fenomenal menembus level psikologis US$ 4.500 per troy ons pada perdagangan akhir Desember, sebuah rekor tertinggi sepanjang masa. Sentimen ini langsung merambat ke pasar domestik, di mana harga emas batangan Antam melonjak hingga menyentuh Rp 2.590.000 per gram pada 24 Desember 2025. Merespons dinamika ini, pemerintah bergerak cepat dengan memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 80 Tahun 2025 mulai 23 Desember, yang menerapkan bea keluar progresif hingga 15% untuk ekspor emas guna mendorong hilirisasi dalam negeri.
Kontras dengan kilau emas, daya beli masyarakat di sektor riil menunjukkan tekanan yang signifikan. Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat tahun 2026 menjadi sorotan tajam. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menetapkan UMP 2026 sebesar Rp 2.317.601, yang merepresentasikan kenaikan nominal sekitar 5,77% dengan menggunakan formula indeks alfa 0,7. Angka ini memicu perdebatan mengenai kelayakan hidup, terutama ketika disandingkan dengan disparitas upah yang ekstrem di wilayah yang sama. Kota Bekasi, misalnya, mencatatkan Upah Minimum Kota (UMK) tertinggi di provinsi tersebut, mencapai angka Rp 5.999.443, jauh melampaui daerah lainnya.
Di tengah tekanan pendapatan tersebut, perilaku belanja konsumen mengalami evolusi drastis yang didorong oleh teknologi. Laporan Adobe Analytics memproyeksikan belanja liburan online global menembus US$ 253,4 miliar, didorong oleh lonjakan trafik belanja berbasis kecerdasan buatan (AI) yang meningkat hingga 770% dibandingkan tahun sebelumnya. Konsumen kini mengandalkan chatbot untuk membandingkan harga demi menyiasati inflasi. Namun, di pasar Eropa seperti Jerman, sentimen “optimisme yang berhati-hati” mendominasi, di mana konsumen cenderung menahan belanja kado fisik dan beralih ke pengalaman sosial yang lebih hemat biaya.
Perbankan Pastikan Ketersediaan Uang Tunai dan Layanan Digital Selama Nataru 2025
Sayangnya, hasrat konsumsi di Indonesia yang tinggi sering kali tidak ditopang oleh pendapatan tunai, melainkan utang. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan ledakan penggunaan layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater. Hingga akhir 2025, jumlah rekening pengguna paylater di perbankan telah menembus angka 30 juta pengguna dengan total outstanding pembiayaan di perbankan mencapai Rp 24,33 triliun. Fenomena ini menjadi lampu kuning bagi stabilitas keuangan rumah tangga, mengingat tren gagal bayar (NPF) yang meningkat pasca-momentum perayaan hari besar, mengindikasikan bahwa sebagian pertumbuhan ekonomi konsumsi saat ini dibiayai oleh “bom waktu” utang digital.
Tahun 2026 diprediksi akan menjadi periode penyesuaian yang krusial, di mana masyarakat harus menyeimbangkan aspirasi gaya hidup yang dipicu teknologi dengan realitas pendapatan yang tumbuh moderat di tengah volatilitas harga aset global.
- Berita Terkait :
Perbankan Pastikan Ketersediaan Uang Tunai dan Layanan Digital Selama Nataru 2025
Alarm Ekonomi: Rupiah Tembus Rp 16.700, Sinyal Bahaya Berlanjut hingga 2026
Butuh Setahun untuk Pulihkan Mata Pencarian Petani Padi di Sumatra
Ironi Negeri Kelapa: Ekspor Melambung 143%, Rakyat Tercekik Kenaikan Harga dan Kelangkaan Pasokan
Pemerintah dan Swasta Bersinergi, Targetkan 1,1 Juta UMKM Naik Kelas Pasca-Kunjungan UNSGSA
Mulai Hari Ini! Kereta Petani & Pedagang Rp3.000 Bisa Bawa 2 Koli Sayur-Buah
UMKM Masih Sulit Masuk Stasiun & Bandara, Sewa Mahal Jadi Biang Kerok
Resmi: Bentuk Koperasi Merah Putih Jadi Syarat Wajib Cairkan Dana Desa Tahap II
“Malu Makan Tempe Impor!” Titiek Soeharto Sentil Ketergantungan 90% Kedelai dari AS
Indonesia Terancam Impor 2,9 Juta Ton Kedelai di 2026 gara-gara Makan Bergizi Gratis
Libur Natal & Tahun Baru Makin Hemat: Tiket Pesawat, Kereta, Kapal & Penyeberangan Didiskon Besar
UMKM Dapat Kepastian Pajak 0,5% Selamanya, Tapi Usaha Besar Tak Bisa Lagi “Ngumpet”
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!

