• Sel. Jul 1st, 2025

KowantaraNews

Halal Gratis, Warteg Nge-Hits: Tanpa Drama, Cuma Solusi!

Timur Tengah Menggila, IHSG dan Rupiah Makan Hati di Warteg!

ByMukroni

Jun 23, 2025
Ilustrasi Gambar Seolah Warteg Bhineka Tunggal Ika Ikut Mendoromg Perdamaian Dunia. Gambar Dibuat Kowantaranews.com dibantu Gemini
Sharing is caring

Jakarta, Kowantaranews.com – Ketegangan geopolitik di Timur Tengah, khususnya pasca-serangan AS ke fasilitas nuklir Iran, kembali mengguncang pasar keuangan global, termasuk Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar Rupiah seolah-olah “makan hati” di warteg ekonomi, tertekan oleh sentimen negatif yang memicu kepanikan investor. Eskalasi konflik ini, yang mencuat di tengah ancaman penutupan Selat Hormuz, telah menciptakan gelombang ketidakpastian, mendorong investor beralih ke aset safe haven seperti dolar AS dan emas, sementara IHSG dan Rupiah terpuruk. Berikut analisis mendalam dampaknya, dengan memadukan data historis, laporan media seperti Reuters dan Bloomberg, serta sentimen pasar dari platform X.

IHSG Goyang di Tengah Badai Geopolitik
Ketegangan di Timur Tengah, sebagaimana disoroti oleh postingan @nusabalicom (16 Juni 2025) dan @tatisamhadi (23 Juni 2025), telah memicu tekanan jual signifikan di pasar saham Indonesia. IHSG, yang sempat menyentuh level 6.918 akibat memanasnya konflik Iran-Israel, diperkirakan akan melanjutkan tren penurunan ke kisaran 6.800–6.900 pada pekan ini (23–26 Juni 2025). Pola teknikal double top di level psikologis 7.000 mengindikasikan pelemahan momentum bullish, sebagaimana dianalisis oleh para pelaku pasar. Laporan Reuters (8 April 2025) mencatat bahwa IHSG pernah anjlok 9,2% ke level terendah sejak Juni 2021 akibat tarif AS, dan kini ketegangan baru ini memperburuk sentimen. Investor ritel, yang sering terpengaruh berita media, turut mempercepat koreksi harga saham, terutama di sektor non-komoditas, dengan penurunan diperkirakan mencapai 2–5% dalam jangka pendek.

Selain itu, capital outflow menjadi momok bagi pasar. Investor asing, yang menguasai sekitar 40% aktivitas perdagangan di Bursa Efek Indonesia, melakukan penjualan bersih senilai Rp 4,6 triliun, terutama di saham perbankan seperti BBCA dan BMRI. Data Reuters (19 Maret 2025) menunjukkan tren serupa dengan outflow Rp 2,49 triliun pada Maret 2025, dan ketegangan geopolitik kini memperparah kecenderungan ini. Pasar emerging markets seperti Indonesia menjadi kurang menarik di tengah ketidakpastian global, mendorong investor asing mengurangi eksposur mereka.

Gebrakan Baru GAKOPTINDO, Terkait Program Ketahanan Pangan Dicetuskan Dalam RAT XV di Bali

Rupiah Loyo, Tertekan ke Rp 16.500/USD
Nilai tukar Rupiah juga tak luput dari tekanan. Konflik Timur Tengah mendorong penguatan dolar AS sebagai aset safe haven, sebagaimana dicatat dalam postingan @BloombergTZ (16 Juni 2025), yang menyebutkan pelemahan Rupiah sejalan dengan mata uang Asia lainnya. Dari level Rp 16.395, Rupiah diperkirakan terdepresiasi ke kisaran Rp 16.500–16.600 per USD. Data historis menunjukkan Rupiah sempat mencapai 16.957 per USD pada April 2025 akibat tarif AS, mendekati rekor terendah sejak krisis 1998 (16.800). Dengan eskalasi konflik baru, ada risiko Rupiah melampaui level ini, terutama jika Iran menutup Selat Hormuz, yang mengalirkan 20% pasokan minyak dunia.

Bank Indonesia (BI) berupaya menahan laju pelemahan ini melalui intervensi ganda di pasar valas, obligasi, dan spot, sebagaimana dilakukan pada Maret dan April 2025. Fitra Jusdiman, Direktur Manajemen Moneter dan Aset Sekuritas BI, menegaskan komitmen BI untuk intervensi “berani dan terukur”. Namun, cadangan devisa BI yang tercatat $140,4 miliar pada Maret 2025 bisa terkuras jika intervensi berlangsung intensif, terutama jika harga minyak melonjak di atas $80 per barel. Postingan

@cukhurukuque (14 Juni 2025) mencatat kenaikan harga minyak 8% dalam semalam akibat konflik sebelumnya, dan ancaman penutupan Selat Hormuz dapat memperburuk defisit perdagangan Indonesia, yang bergantung pada impor minyak, serta memicu inflasi impor.

Dampak Ekonomi yang Lebih Luas
Kenaikan harga minyak akibat konflik Timur Tengah berpotensi mendorong inflasi global, memaksa BI menunda pelonggaran suku bunga dari level 5,5%. Laporan Reuters (April 2025) menyebutkan BI sempat mempertimbangkan kenaikan suku bunga untuk menahan depresiasi Rupiah, sementara suku bunga The Fed (4,25–4,5%) terus menekan mata uang emerging markets. Meski inflasi domestik rendah (1,03% pada Maret 2025), risiko inflasi impor akibat kenaikan harga BBM membatasi ruang kebijakan BI. Sektor transportasi, seperti penerbangan dan logistik, akan terpukul keras karena biaya operasional yang meningkat, sementara saham perbankan dengan eksposur global juga rentan terhadap capital outflow.

Namun, ada peluang di tengah krisis. Saham komoditas seperti MEDC dan ADRO (minyak) serta ANTM dan BRPT (emas) diperkirakan menguat seiring lonjakan harga komoditas. Saham defensif seperti TLKM (telekomunikasi) dan sektor konsumer juga menjadi pilihan aman karena tahan terhadap volatilitas pasar. Postingan di X menyoroti peluang “cuan” dari saham-saham ini, terutama di tengah kenaikan harga emas dan minyak.

Skenario Jangka Panjang
Jika konflik berlarut-larut, defisit fiskal AS bisa membengkak akibat pengeluaran militer, berpotensi melemahkan USD dalam jangka panjang. Namun, dalam jangka pendek, USD tetap dominan, menekan IHSG di bawah 6.800 dan Rupiah mendekati 16.800 per USD. Sebaliknya, jika ketegangan mereda, BI dapat menstabilkan Rupiah, dan IHSG berpotensi pulih ke 7.000, didukung oleh saham komoditas dan defensif. Laporan Al Jazeera (8 April 2025) menegaskan bahwa depresiasi Rupiah sejak Oktober 2024 dipicu oleh ketidakpastian global, dan komunikasi kebijakan yang jelas dari pemerintah akan krusial untuk pemulihan.

Rekomendasi Investor
Investor disarankan melakukan hedging dengan emas (melalui ANTM atau emas fisik) atau USD untuk melindungi aset. Hindari saham transportasi dan perbankan dengan eksposur global, serta pantau perkembangan kebijakan BI dan berita geopolitik. Seperti layaknya pelanggan warteg yang memilih menu terbaik di tengah krisis, investor harus cerdas memilih saham komoditas dan defensif untuk bertahan dari badai pasar.

Ketegangan Timur Tengah telah membuat IHSG dan Rupiah “makan hati” di warteg ekonomi, dengan proyeksi penurunan IHSG ke 6.800–6.900 dan Rupiah ke Rp 16.500–16.600 per USD. Intervensi BI dapat meredam dampak, tetapi risiko penutupan Selat Hormuz dan inflasi impor mengancam stabilitas. Investor harus fokus pada saham komoditas dan defensif, sambil waspada terhadap perkembangan geopolitik. Di tengah gejolak, warteg pasar keuangan Indonesia tetap buka, tapi menu pilihannya kini penuh tantangan!

Foto Kowantaranews.com

  • Berita Terkait :

Gebrakan Baru GAKOPTINDO, Terkait Program Ketahanan Pangan Dicetuskan Dalam RAT XV di Bali

Indonesia-Rusia Kolplay Digital: 5G Ngegas, Warteg Go Online, Tapi Awas Jangan Kejebak Vodka Virtual!

Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!

Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!

TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!

Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!

Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!

Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?

Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!

Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!

Bank Dunia Bikin Panik: 194 Juta Orang Indonesia Jadi ‘Miskin’, Warteg Jadi Penutup atau Penutup Dompet?

Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!

Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!

By Mukroni

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *