Jakarta, Kowantaranews.com -Di tengah kerumunan siswa yang bersemangat di Columbia University, ada seorang mahasiswa Yahudi yang bernama David. Dia adalah orang yang cerdas, bersemangat, dan penuh dengan semangat untuk menjelajahi dunia akademis. Namun, di balik senyumnya yang ramah, David sering merasa tegang dan khawatir karena beberapa pengalaman yang membuatnya bertanya-tanya tentang pandangan orang lain terhadapnya sebagai seorang Yahudi di kampus.
Dalam perjalanan panjangnya sebagai mahasiswa, David telah mengalami berbagai situasi yang membuatnya merasa tidak nyaman. Kadang-kadang, dia merasa ada sentimen antisemitisme yang tersirat dalam percakapan atau tindakan di sekitarnya. Namun, dia juga menyadari bahwa tidak semua situasi seperti itu dapat dianggap sebagai antisemitisme yang jelas dan terbuka.
David mencoba untuk tidak membiarkan ketakutan menguasai pikirannya. Dia tahu pentingnya untuk tetap terbuka dan berdialog dengan orang-orang di sekitarnya. Dia ingin memahami perspektif mereka dan, pada gilirannya, berbagi pengalaman dan kehidupan Yahudi dengannya.
Salah satu momen yang paling berkesan bagi David adalah ketika dia berpartisipasi dalam sebuah diskusi tentang konflik Timur Tengah di salah satu kelasnya. Diskusi itu memanas dan menjadi sangat emosional, dengan pandangan yang beragam dari berbagai siswa. Beberapa dari mereka mempertahankan posisi pro-Israel, sementara yang lain mengkritik kebijakan pemerintah Israel dengan keras.
David merasa tertantang untuk menyuarakan pendapatnya, tetapi dia juga khawatir tentang bagaimana pandangan dan pengalaman pribadinya sebagai seorang Yahudi dapat dipahami oleh rekan-rekannya yang mungkin memiliki pandangan berbeda. Namun, dia memilih untuk berbicara dari hatinya, berbagi cerita tentang warisan dan kebanggaannya sebagai seorang Yahudi, sambil mengakui kompleksitas konflik tersebut.
Setelah diskusi itu selesai, David merasa lega. Meskipun ada ketegangan di udara, dia merasa bahwa itu adalah langkah kecil menuju pemahaman yang lebih baik di antara siswa-siswa tersebut. Dia sadar bahwa dialog terbuka dan jujur adalah kunci untuk mengatasi perbedaan dan membangun komunitas yang inklusif di kampus.
Namun, tidak semua pengalaman David di kampus begitu memuaskan. Ada saat-saat ketika dia merasa diabaikan atau dianggap tidak relevan oleh beberapa rekan dan dosen. Hal ini membuatnya bertanya-tanya apakah ada prasangka tersembunyi yang mempengaruhi cara orang lain memandangnya.
Namun, David memilih untuk tidak terjebak dalam sikap defensif atau paranoid. Sebaliknya, dia menggunakan pengalaman tersebut sebagai motivasi untuk terus berusaha membangun jembatan antara komunitas-komunitas yang berbeda di kampus. Dia aktif terlibat dalam organisasi mahasiswa yang mempromosikan dialog antaragama dan antarbudaya, serta berpartisipasi dalam acara dan kegiatan yang memperkuat kesatuan di tengah keragaman.
Meskipun perjalanan David sebagai mahasiswa Yahudi di Columbia tidak selalu mudah, dia menyadari bahwa itu adalah bagian dari proses belajar dan tumbuh. Dia belajar untuk tidak hanya menilai orang dari penampilan atau keyakinan mereka, tetapi untuk memperluas perspektifnya dan memperlakukan semua orang dengan hormat dan pengertian.
Saat David menyelesaikan tahun terakhirnya di Columbia, dia merasa bersyukur atas pengalaman yang telah dia dapatkan. Meskipun tantangan dan kesulitan masih ada di depan, dia merasa lebih siap untuk menghadapinya dengan keyakinan dan keberanian. Dia tahu bahwa dia bukan hanya seorang mahasiswa Yahudi di Columbia, tetapi juga seorang yang memiliki potensi besar untuk membuat perbedaan dalam dunia yang lebih besar.
Seiring berjalannya waktu, David semakin mendalami pemahamannya tentang identitasnya sebagai seorang Yahudi dan bagaimana hal itu memengaruhi interaksi dan pengalaman hidupnya. Dia mulai mengambil bagian dalam diskusi-diskusi tentang antisemitisme, bukan hanya di kampus tetapi juga di komunitas di sekitarnya.
Salah satu momen penting dalam perjalanan David adalah ketika dia terlibat dalam acara pembaruan Holocaust di kampus. Acara tersebut menjadi kesempatan bagi David untuk mendengarkan cerita para korban Holocaust dan untuk merenungkan pentingnya untuk tidak pernah melupakan tragedi tersebut. Dia merasa terinspirasi oleh keberanian mereka yang bertahan hidup dan berkomitmen untuk memastikan bahwa dunia tidak akan pernah melupakan kejahatan yang dilakukan terhadap bangsa Yahudi.
Namun, di tengah refleksi yang dalam tentang sejarah bangsanya, David juga menyadari bahwa antisemitisme masih ada di dunia modern ini. Meskipun mungkin tidak sebanyak atau sebrutal masa lalu, ia menyadari bahwa penting untuk tetap waspada dan proaktif dalam melawan segala bentuk kebencian dan diskriminasi.
David terus mencari cara untuk menyebarkan kesadaran tentang antisemitisme dan mempromosikan toleransi dan pengertian di antara rekan-rekannya. Dia menjadi anggota aktif dalam organisasi mahasiswa yang berkomitmen untuk mengatasi prasangka dan kebencian, serta berpartisipasi dalam kampanye-kampanye advokasi yang memperjuangkan hak asasi manusia untuk semua orang, tanpa memandang agama atau asal-usul mereka.
Saat hari kelulusan mendekat, David merasa bangga dengan perjalanan yang telah dia lalui selama empat tahun terakhir. Meskipun ada rintangan dan tantangan di sepanjang jalan, dia merasa bahwa setiap pengalaman itu telah membantunya tumbuh sebagai individu yang lebih kuat dan lebih bijaksana.
Pada hari kelulusannya, David merasa terharu saat dia menerima gelar sarjana dalam bidang yang dia tekuni. Namun, yang lebih penting baginya adalah rasa persaudaraan dan kesatuan yang dia rasakan di antara rekan-rekannya. Meskipun masing-masing dari mereka memiliki latar belakang dan keyakinan yang berbeda, mereka telah belajar untuk menghargai perbedaan tersebut dan bekerja sama dalam menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua orang. *Roni
(Pro-Palestinian protests on Columbia’s campus stretched into their second week on Monday. Photo by Columbia University Apartheid Divest coalition).