Jakarta, Kowantaranews.com – Pemerintah Indonesia kembali menegaskan komitmennya untuk mencapai swasembada pangan pada 2026, namun program ambisius ini dihadapkan pada tantangan besar: anggaran yang membengkak, target produksi yang tak selaras, dan harga pangan yang terus merangkak naik. Dengan kenaikan anggaran yang signifikan untuk Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pangan Nasional (Bapanas), pemerintah berupaya memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun, sejumlah kelemahan struktural dan ketidaksesuaian perencanaan mengundang pertanyaan: akankah swasembada pangan hanya menjadi janji manis?
Kementan mengusulkan kenaikan anggaran dari Rp 13,76 triliun menjadi Rp 44,4 triliun untuk 2026. Dana tambahan ini akan digunakan untuk memperluas lahan sawah dari 225.000 hektare menjadi 275.000 hektare, dengan alokasi Rp 10,07 triliun, serta meningkatkan budidaya jagung dari 300.000 hektare menjadi 1 juta hektare. Selain itu, komoditas seperti tebu, kelapa, kopi, kakao, dan kedelai juga menjadi fokus untuk mendukung diversifikasi pangan. Kementan juga mengalokasikan Rp 5,2 triliun untuk kenaikan gaji penyuluh pertanian lapangan (PPL) setelah pengalihan status mereka dari pemerintah daerah ke pusat. Target produksi pun tak kalah ambisius: 33,8 juta ton beras, 22,7 juta ton jagung, dan 343.000 ton kedelai, di samping komoditas lain seperti bawang merah dan daging.
Sementara itu, Bapanas mengajukan kenaikan anggaran drastis dari Rp 79,4 miliar menjadi Rp 16,1 triliun. Dana ini akan mendukung stabilisasi pasokan dan harga pangan, dengan alokasi Rp 13,71 triliun untuk bantuan pangan, Rp 13,14 triliun untuk cadangan bencana, dan Rp 2,05 triliun untuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Program SP–
Namun, di balik ambisi ini, sejumlah masalah mencuat. Salah satu isu krusial adalah ketidaksesuaian target produksi beras antara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang mematok 54,85 juta ton dan Kementan yang hanya menargetkan 33,8 juta ton. Ketidakselarasan ini menimbulkan kekhawatiran tentang efektivitas perencanaan dan alokasi dana. Lebih lanjut, anggaran irigasi yang hanya Rp 60 miliar untuk seluruh Indonesia dianggap jauh dari cukup untuk mendukung produktivitas pertanian, terutama di tengah tantangan perubahan iklim dan degradasi infrastruktur irigasi.
Program SPHP, yang menjadi andalan untuk menjaga stabilitas harga, menunjukkan hasil beragam. Hingga Juli 2025, Bapanas telah mendistribusikan 1,3 juta ton beras SPHP dengan harga tetap untuk meredam fluktuasi pasar. Namun, harga beras nasional rata-rata mencapai Rp 14.272 per kilogram, melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp 12.500 per kilogram hingga 14,18%. Penegakan HET, meski ketat di Jawa, masih lemah di beberapa daerah, menyebabkan disparitas harga yang membebani masyarakat berpenghasilan rendah.
Tarif AS 32% Ancam Jutaan Pekerja Indonesia: Bisakah Insentif Selamatkan Industri Padat Karya?
Dukungan politik tampak solid dengan persetujuan DPR terhadap usulan anggaran tambahan ini. Namun, tanpa perbaikan koordinasi antar-lembaga dan investasi yang memadai pada infrastruktur seperti irigasi, swasembada pangan berisiko menjadi target yang sulit tercapai. Harga pangan yang terus naik juga menjadi pengingat bahwa stabilitas ekonomi rumah tangga tetap menjadi prioritas. Akankah 2026 menjadi tahun terobosan bagi ketahanan pangan Indonesia, atau justru menambah daftar janji yang tak terpenuhi? Publik menanti langkah konkret pemerintah untuk menjawab tantangan ini. By Mukroni
- Berita Terkait :
Tarif AS 32% Ancam Jutaan Pekerja Indonesia: Bisakah Insentif Selamatkan Industri Padat Karya?
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!