Jakarta, Kowantaranews.com – Di rezeem pemerintah sekarang ini badai ekonomi masih belum reda dimana daya beli ekonomi masyarakat rapuh, sekarang nilai tukar Rupiah kembali berada di bawah tekanan, ditutup pada level Rp 16.301 per dolar AS pada Jumat (18/7/2025), melemah 0,49% secara mingguan meskipun menguat tipis 28 poin secara harian. Tekanan ini dipicu oleh kombinasi faktor domestik dan global, dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) dan dinamika politik ekonomi Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump menjadi sorotan utama. Namun, di tengah tantangan, peluang penguatan Rupiah mulai terlihat, terutama melalui potensi ekspor ke AS.
Penyebab salah satu faktor utama pelemahan Rupiah adalah kebijakan moneter BI yang terus memangkas suku bunga acuan. Sejak awal 2025, BI telah menurunkan suku bunga sebanyak 75 basis poin (bps), dengan pemotongan terbaru sebesar 25 bps membawa suku bunga acuan ke level 5,25%. Langkah ini dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik, namun berdampak pada menipisnya selisih imbal hasil (yield) antara Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia dan obligasi AS. Akibatnya, daya tarik investasi asing ke Indonesia menurun. Data menunjukkan aliran modal asing ke SBN melambat signifikan, hanya mencapai USD 0,9 miliar pada awal kuartal III-2025, jauh di bawah USD 1,6 miliar pada kuartal II-2025. Penurunan ini memperlemah permintaan terhadap Rupiah di pasar keuangan.
Di tingkat global, kondisi ekonomi dalam ketidakpastian karena dipicu oleh kebijakan AS di bawah Presiden Donald Trump yang terus membuat situasi tidak menentu bahkan dapat dikatakan memperburuk situasi ekonomi global. Salah satu gejolak pasar keuangan yaitu akibat ketegangan antara Trump dan Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, terkait arah kebijakan moneter AS. The Fed mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25–4,5%, sementara Presiden Trump kurang setuju, sementara sangat kontras dengan langkah BI yang terus memangkas suku bunga. Selisih suku bunga yang semakin kecil antara Indonesia dan AS mengurangi aliran modal masuk, yang selama ini menjadi penopang Rupiah. Selain itu, kebijakan tarif impor AS yang diusung Trump, termasuk tarif resiprokal terhadap produk Indonesia yang turun dari 32% menjadi 19%, menciptakan ketidakpastian di pasar. Meski penurunan tarif ini membuka peluang ekspor, investor tetap waspada terhadap fluktuasi yang mungkin timbul dari kebijakan proteksionis Trump.
Namun, di tengah tekanan, terdapat peluang untuk penguatan Rupiah. Penurunan tarif impor AS ke 19% memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan surplus perdagangan, terutama jika mampu menggeser pesaing seperti Vietnam dan China di pasar AS. Sektor ekspor, seperti tekstil, elektronik, dan komoditas, dapat menjadi katalis untuk meningkatkan permintaan Rupiah. Jika Indonesia memanfaatkan peluang ini dengan strategi ekspansif, neraca perdagangan yang lebih kuat dapat mendukung penguatan nilai tukar. BI juga tidak tinggal diam. Untuk menstabilkan Rupiah, bank sentral berencana melakukan intervensi di pasar valas, baik melalui pasar off-shore (Non-Deliverable Forward/NDF) maupun domestik (spot/DNDF). Selain itu, BI akan terus membeli SBN di pasar sekunder untuk menjaga likuiditas dan mendukung nilai tukar. Langkah-langkah ini diharapkan dapat meredam volatilitas Rupiah dalam jangka pendek.
Antrean Panjang Pencari Kerja: Indonesia di Ambang Krisis Ekonomi dan Ketenagakerjaan
Para ekonom memperingatkan bahwa kebijakan pemotongan suku bunga yang agresif oleh BI berpotensi memperpanjang tekanan pada Rupiah jika tidak diimbangi dengan langkah stabilisasi yang efektif. Di sisi lain, peluang ekspor yang meningkat dan intervensi BI dapat menjadi pendorong penguatan Rupiah. Kebijakan Trump, meski menciptakan ketidakpastian, juga membuka ruang bagi Indonesia untuk memperluas pasar ekspornya.
Rupiah menghadapi tekanan ganda dari kebijakan suku bunga domestik dan ketidakpastian global akibat dinamika AS. Namun, dengan strategi ekspor yang agresif dan intervensi BI yang tepat, Rupiah berpotensi pulih. Perkembangan kebijakan AS dan respons pasar akan menjadi kunci arah nilai tukar ke depan. Indonesia perlu bergerak cepat untuk memanfaatkan peluang ekspor guna memperkuat posisi Rupiah di tengah gejolak global. By Mukroni
- Berita Terkait :
Antrean Panjang Pencari Kerja: Indonesia di Ambang Krisis Ekonomi dan Ketenagakerjaan
Tarif 19% AS: Ancaman atau Peluang bagi Ekspor Indonesia?
Tarif 19% Trump: Indonesia Bayar Mahal, AS Raup Untung?
Indonesia di Ambang Resesi: Keyakinan Konsumen Rontok, Ekonomi Terpuruk ?
Kredit Perbankan Anjlok, Daya Beli Ambruk: Benarkah Masyarakat Beralih ke Gym demi Kesehatan?
Optimisme Ekonomi Indonesia 2025: Masih Bertahan atau Mulai Runtuh?
Swasembada Pangan 2026: Anggaran Membengkak, Target Berantakan, Harga Pangan Masih Melambung?
Tarif AS 32% Ancam Jutaan Pekerja Indonesia: Bisakah Insentif Selamatkan Industri Padat Karya?
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!