Jakarta, Kowantaranews.com – Skandal beras oplosan kembali mengguncang Indonesia setelah Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan Polri mengungkap 212 merek beras yang melanggar standar mutu, takaran, dan Harga Eceran Tertinggi (HET). Praktik ini bukan sekadar pelanggaran, melainkan tindakan subversi ekonomi yang melemahkan ketahanan pangan nasional, merugikan konsumen hingga Rp99 triliun per tahun dan mengancam kepercayaan publik terhadap tata niaga pangan. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut kasus ini sebagai “kejahatan ekonomi luar biasa” yang bahkan melibatkan jaringan mafia pangan.
Beras oplosan, yang mencakup pencampuran beras subsidi (SPHP) dengan beras nonsubsidi untuk dijual sebagai premium, telah merugikan negara hingga Rp2 triliun setiap tahun. Investigasi Kementan pada 6-23 Juni 2025 terhadap 268 sampel beras dari 10 provinsi penghasil utama menunjukkan fakta mencengangkan: 85,56% beras premium dan 88,24% beras medium tidak memenuhi standar mutu SNI. Selain itu, 59,78% beras premium dijual di atas HET, dan 21,66% memiliki berat lebih rendah dari yang tertera di kemasan. Praktik ini tidak hanya menipu konsumen, tetapi juga menciderai petani yang berjuang menjaga kualitas gabah.
Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Prof. Hibnu Nugroho, menegaskan bahwa pengoplosan beras dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi di sektor pangan sekaligus pelanggaran perlindungan konsumen. “Ini menyangkut hidup orang banyak. Pengusutan harus tuntas, baik pelaku perorangan maupun korporasi,” ujarnya. Satgas Pangan Polri telah memeriksa 22 saksi dari enam perusahaan dan delapan pemilik merek, termasuk raksasa industri seperti Wilmar Group (merek Sovia, Fortune), PT Food Station Tjipinang Jaya (merek Setra Ramos, Beras Pulen Wangi), PT Belitang Panen Raya (Raja Platinum, Raja Ultima), dan PT Sentosa Utama Lestari (Ayana).
Praktik ini juga mengancam kesehatan konsumen. Beras oplosan berisiko terkontaminasi logam berat atau jamur, terutama jika beras rusak dipoles untuk tampak segar. Ketua DPR Puan Maharani menegaskan perlunya penindakan tegas terhadap pelaku, sembari mendorong pelibatan masyarakat dan akademisi untuk memperkuat pengawasan. Sementara itu, Ketua Komisi IV DPR Titiek Soeharto menyebut praktik ini merusak semangat swasembada pangan, merugikan petani yang menjaga kualitas produksi.Pemerintah telah mengambil langkah tegas. Satgas Pangan Polri terus menyelidiki 25 pemilik merek lainnya, dan Kementan mendorong pengawasan berbasis teknologi, seperti barcode untuk pelacakan asal-usul beras. Amran menegaskan bahwa dengan stok beras nasional mencapai 4,2 juta ton—tertinggi dalam 57 tahun—ini adalah momentum untuk membenahi tata niaga pangan.
Benarkah Rupiah Tertekan ? : BI Pangkas Suku Bunga, Trump Sulut Ketidakpastian Global!
Kasus ini menjadi alarm serius bagi sistem pangan nasional. Pengawasan lemah dan rendahnya integritas pelaku usaha memperparah situasi. Masyarakat diimbau waspada, memeriksa label kemasan, dan melaporkan kecurigaan ke otoritas. Kolaborasi pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen menjadi kunci untuk memastikan keadilan, kualitas, dan ketahanan pangan yang berkelanjutan. By Mukroni
- Berita Terkait :
Benarkah Rupiah Tertekan ? : BI Pangkas Suku Bunga, Trump Sulut Ketidakpastian Global!
Antrean Panjang Pencari Kerja: Indonesia di Ambang Krisis Ekonomi dan Ketenagakerjaan
Tarif 19% AS: Ancaman atau Peluang bagi Ekspor Indonesia?
Tarif 19% Trump: Indonesia Bayar Mahal, AS Raup Untung?
Indonesia di Ambang Resesi: Keyakinan Konsumen Rontok, Ekonomi Terpuruk ?
Kredit Perbankan Anjlok, Daya Beli Ambruk: Benarkah Masyarakat Beralih ke Gym demi Kesehatan?
Optimisme Ekonomi Indonesia 2025: Masih Bertahan atau Mulai Runtuh?
Swasembada Pangan 2026: Anggaran Membengkak, Target Berantakan, Harga Pangan Masih Melambung?
Tarif AS 32% Ancam Jutaan Pekerja Indonesia: Bisakah Insentif Selamatkan Industri Padat Karya?
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!