Jakarta, Kowantaranews.com – Kesepakatan tarif ekspor 19% ke Amerika Serikat (AS) yang diraih Presiden Prabowo Subianto dalam negosiasi dengan Presiden Donald Trump menjadi sorotan pelaku usaha dan pengamat ekonomi. Turun dari usulan awal 32%, tarif ini dipandang sebagai kemenangan diplomatik yang memperkuat posisi Indonesia di pasar AS, khususnya untuk sektor tekstil, kopi, dan kakao. Namun, di balik euforia, muncul pertanyaan: apakah ini benar-benar langkah maju, atau justru jebakan ekonomi yang dapat melemahkan daya saing Indonesia?
Tarif 19% menempatkan Indonesia di posisi lebih kompetitif dibandingkan negara ASEAN seperti Vietnam (20%), Malaysia (25%), dan Thailand (36-40%). Untuk tekstil, tarif ini lebih rendah dari Bangladesh (35%) dan India (27%), memberikan peluang besar bagi eksportir Indonesia untuk merebut pangsa pasar AS. Sektor kopi, dengan ekspor senilai $299,2 juta pada 2024, dan kakao juga diuntungkan, terutama dengan potensi tarif 0% untuk produk olahan kakao jika negosiasi lanjutan berhasil. Selain itu, kebijakan resiprokal memungkinkan 60% produk AS masuk Indonesia dengan tarif rendah, mendukung pasokan komoditas strategis seperti gandum dan kedelai.
Namun, tantangan besar mengintai. Ketidakpastian teknis menjadi duri dalam daging: apakah tarif 19% menggantikan atau menambah tarif Most Favored Nation (MFN) yang saat ini berkisar 5-15% untuk tekstil? Ketidakjelasan ini membuat pelaku usaha ragu merencanakan strategi Bongmengikuti ekspansi. Selain itu, ancaman transshipment barang China yang “dicap ulang” sebagai produk Indonesia menimbulkan risiko sanksi AS, seperti yang dialami tiga perusahaan Indonesia yang kini dilarang ekspor. Jika pengawasan lemah, tarif lebih tinggi atau pembatasan pasar bisa diberlakukan AS.
Biaya produksi domestik yang tinggi, terutama di sektor tekstil, juga menjadi hambatan. Dibandingkan Vietnam, biaya listrik dan logistik Indonesia masih kalah bersaing, meski selisih tarif hanya 1%. Serbuan produk murah China di pasar domestik turut melemahkan industri lokal. Untuk kopi, persaingan dengan Peru dan Guatemala yang memiliki tarif 10% dan keunggulan logistik tetap ketat. Sementara itu, sektor kakao membutuhkan investasi pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah ekspor.
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Pelaku usaha khawatir manfaat tarif 19% akan tergerus tanpa reformasi domestik, seperti deregulasi untuk menekan biaya produksi dan peningkatan infrastruktur logistik. Diversifikasi pasar ke BRICS dan Mercosur juga diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Pemerintah diminta segera memperjelas skema tarif, memperketat pengawasan transshipment melalui teknologi seperti blockchain, dan berkolaborasi dengan Bea Cukai AS.
Kesepakatan ini memang menjanjikan peluang ekspor yang lebih besar, tetapi keberhasilannya bergantung pada implementasi teknis yang akurat. Tanpa langkah strategis, seperti menurunkan biaya produksi dan memperkuat pengawasan, tarif 19% bisa menjadi jebakan ekonomi yang justru memperlebar ketimpangan daya saing. Kejelasan aturan, reformasi domestik, dan diversifikasi pasar menjadi kunci untuk menjadikan kesepakatan ini sebagai kemenangan sejati bagi Indonesia. By Mukroni
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!