Jakarta, Kowantaranews.com -Industri padat karya Indonesia, yang selama ini menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja, kini berada di persimpangan kritis. Data terbaru dari Bank Indonesia (PMI-BI Triwulan II-2025) menunjukkan indeks tenaga kerja turun ke zona kontraksi (48,75%) dari posisi ekspansif (50,49%) pada Triwulan I-2025. Proyeksi Triwulan III-2025 yang tetap stagnan di 48,75% memperlihatkan bahwa sektor ini belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Apakah ini pertanda industri padat karya Indonesia benar-benar di ujung tanduk, dan bagaimana kontraksi ini mengancam masa depan ekonomi?
Sektor-sektor seperti mebel, tekstil, dan tembakau menjadi yang paling terpukul. Industri mebel dan furnitur, misalnya, terhambat oleh tarif ekspor AS sebesar 19%, yang mengurangi pesanan dan memaksa perusahaan menunda rekrutmen. Di Jepara, anggota HIMKI hanya merekrut 30 pekerja pada pertengahan 2025, jauh dari 120 pekerja per tahun pada 2022. Sementara itu, sektor tekstil dan garmen mengalami perlambatan pertumbuhan dari 7,17% (Q4-2024) menjadi 4,64% (Q1-2025), akibat persaingan ketat dengan negara-negara berbiaya rendah seperti Vietnam. Industri tembakau bahkan mencatat kontraksi -3,77% pada Q1-2025, tertekan oleh kenaikan cukai dan penurunan permintaan domestik serta ekspor.
Kondisi ini mencerminkan tekanan berat yang dihadapi sektor padat karya.Penyebab kontraksi ini berasal dari faktor eksternal dan internal. Secara eksternal, kebijakan tarif AS dan pelemahan permintaan dari pasar tradisional seperti AS dan Eropa memperburuk situasi. Ketidakpastian ekonomi global juga membuat perusahaan lebih berhati-hati dalam ekspansi. Di sisi internal, kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) tanpa peningkatan produktivitas menggerus daya saing. Biaya produksi yang melonjak, termasuk harga bahan baku dan energi, ditambah regulasi ketat seperti cukai tembakau, memaksa perusahaan melakukan efisiensi, sering kali melalui pengurangan tenaga kerja. Lebih lanjut, adopsi teknologi dan otomatisasi menjadi ancaman baru. Banyak perusahaan beralih ke mesin untuk memangkas biaya, mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manusia, terutama di sektor tekstil dan furnitur.
Dampaknya sangat nyata. Selain penurunan drastis dalam rekrutmen—seperti di Cirebon, Klaten, dan Pasuruan yang bahkan tidak membuka lowongan pada semester I-2025—banyak pekerja terpaksa beralih ke sektor informal. Data menunjukkan 59,4% pekerja Indonesia (145,77 juta orang) berada di sektor informal dengan upah rendah dan minim jaminan sosial. Pergeseran ini tidak hanya menurunkan kesejahteraan pekerja, tetapi juga memperlebar ketimpangan ekonomi.
Pemerintah dan industri berupaya merespons. Pemerintah memberikan insentif PPh 21 untuk meringankan beban pajak pekerja dan kredit subsidi 5% untuk revitalisasi mesin. Industri, di sisi lain, mulai mendiversifikasi pasar ekspor ke Asia Tenggara dan Timur Tengah serta berfokus pada sektor bernilai tambah tinggi seperti digital dan agroindustri. Namun, proyeksi PMI-BI menunjukkan bahwa meskipun ekonomi secara keseluruhan tetap ekspansif (50,85% pada Q3-2025), komponen tenaga kerja masih terpuruk. Tanpa terobosan kebijakan seperti pelatihan keterampilan atau insentif fiskal yang lebih agresif, risiko pengangguran akan meningkat.
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Kesimpulannya, industri padat karya Indonesia memang berada di posisi rentan. Tekanan global, biaya produksi tinggi, dan otomatisasi menciptakan badai sempurna yang mengancam penyerapan tenaga kerja. Jika tidak segera diatasi melalui pelatihan keterampilan, diversifikasi ekonomi, dan kebijakan pro-pertumbuhan, kontraksi ini dapat menghambat pemulihan ekonomi nasional dan memperburuk ketimpangan sosial. Masa depan industri ini bergantung pada langkah cepat dan terkoordinasi antara pemerintah dan pelaku industri. By Mukroni
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!