Jakarta, Harga beras di Indonesia kembali menjadi sorotan. Di berbagai daerah seperti Jakarta, Kalimantan Timur, Lampung, dan Jawa Tengah, harga beras melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Di Jakarta, beras medium dijual Rp 13.000–Rp 13.500/kg, melebihi HET Rp 12.500/kg. Di Kalimantan Timur, beras premium bahkan mencapai Rp 19.000/kg, jauh di atas HET Rp 15.400/kg. Jawa Tengah, lumbung padi nasional, juga tak luput, dengan harga beras medium rata-rata Rp 13.494/kg. Fenomena ini memicu pertanyaan: apakah kenaikan harga ini benar-benar menyejahterakan petani, atau justru membebani rakyat?
Penyebab utama kenaikan harga beras adalah lonjakan harga gabah di tingkat petani. Di Jawa Tengah, misalnya, harga gabah naik dari Rp 5.500/kg menjadi Rp 6.500/kg. Kenaikan ini dipicu oleh kebijakan Badan Urusan Logistik (Bulog) yang meningkatkan penyerapan gabah untuk mendukung kesejahteraan petani. Di satu sisi, kebijakan ini patut diapresiasi karena petani, yang selama ini sering terpuruk akibat harga gabah rendah, kini mendapat harga lebih baik. Namun, di sisi lain, penyerapan gabah secara masif menyebabkan stok beras di pasar menipis, memicu kenaikan harga yang dirasakan konsumen.
Pemerintah bergerak cepat mengatasi situasi ini melalui dua langkah utama. Pertama, Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dengan mendistribusikan 250.000 ton beras murah pada Juni-Juli 2025. Harga beras dalam program ini sesuai HET: Rp 12.500/kg di Zona 1 (Jawa, Bali, dan sebagian Sumatra), Rp 13.100/kg di Zona 2 (Kalimantan, NTT), dan Rp 13.500/kg di Zona 3 (Papua, Maluku). Penyaluran dilakukan melalui pasar tradisional, koperasi, dan Gerakan Pangan Murah (GPM), dengan prioritas pada daerah rawan seperti Papua dan Indonesia Timur. Kedua, pemerintah melanjutkan program Bantuan Pangan Beras untuk 18,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM), masing-masing mendapat 10 kg beras per bulan, total 20 kg untuk Juni-Juli 2025.
Namun, intervensi ini tak luput dari tantangan. Penyerapan gabah oleh Bulog, meski menguntungkan petani, menciptakan efek samping berupa kelangkaan stok di pasar, yang justru mendorong harga beras naik. Praktik penjualan di atas HET juga masih marak, memaksa pemerintah meningkatkan pengawasan dan mengancam sanksi bagi pelaku pasar yang nakal. Distribusi beras SPHP dan bantuan pangan juga menghadapi kendala logistik, terutama di wilayah terpencil seperti Papua dan Maluku, di mana infrastruktur dan koordinasi sering menjadi hambatan.
Kondisi ini menimbulkan dilema. Di satu sisi, kenaikan harga gabah memberi harapan bagi petani untuk hidup lebih sejahtera. Di sisi lain, kenaikan harga beras memukul daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah yang bergantung pada beras sebagai makanan pokok. Pertanyaannya, apakah kebijakan ini benar-benar menyeimbangkan kepentingan petani dan konsumen? Atau, akankah rakyat terus merana sementara petani mulai tersenyum?
Untuk mengatasi dilema ini, pemerintah perlu menyeimbangkan penyerapan gabah dengan ketersediaan stok pasar agar harga tetap terkendali. Pengawasan ketat terhadap pelanggaran HET harus diperkuat dengan mekanisme pelaporan yang transparan dan sanksi tegas. Selain itu, distribusi SPHP dan bantuan pangan perlu dioptimalkan, terutama di daerah dengan harga tinggi, untuk menekan inflasi pangan. Koordinasi antarlembaga dan pemerintah daerah juga harus diperbaiki untuk memastikan bantuan tepat sasaran.Kenaikan harga beras ini mencerminkan tantangan klasik dalam kebijakan pangan: bagaimana memenuhi kebutuhan petani tanpa mengorbankan konsumen. Tanpa langkah strategis, narasi “petani sejahtera, rakyat merana” bisa terus bergema, mengguncang stabilitas sosial dan ekonomi. By Mukroni
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!