• Sab. Jul 26th, 2025

KowantaraNews

Kowantara News: Berita tajam, warteg jaya, UMKM tak terjajah!

Skandal Beras Oplosan Rp 100 Triliun: Benarkah Korupsi dan Penipuan Mutu Mengguncang Ketahanan Pangan Indonesia?

ByAdmin

Jul 25, 2025
Gambar Ilustrasi Beras Oplosan. Gambar AI Kowantaranews.com
Sharing is caring


Jakarta, Kowantaranews.com
– Dunia pangan Indonesia dikejutkan oleh skandal beras oplosan yang disebut-sebut merugikan negara hingga Rp 100 triliun per tahun. Kasus ini mencuat setelah Presiden Prabowo Subianto memerintahkan tindakan tegas terhadap praktik pengoplosan beras, yang ia sebut sebagai “subversi ekonomi” yang merugikan rakyat kecil. Dengan kerugian sebesar ini, benarkah skandal ini merupakan bentuk korupsi dan penipuan mutu yang mengguncang ketahanan pangan nasional?

Latar Belakang dan Temuan Awal
Kasus ini bermula dari laporan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, yang mengungkap adanya 212 merek beras dari 268 sampel di 10 provinsi penghasil utama yang tidak memenuhi standar mutu, harga, dan volume. Investigasi yang dilakukan Kementerian Pertanian bersama Satgas Pangan Polri menemukan bahwa beras curah berkualitas rendah dioplos, dikemas ulang, dan dijual sebagai beras premium atau medium di berbagai minimarket dan supermarket ternama. Praktik ini tidak hanya menipu konsumen, tetapi juga merugikan petani dan pelaku usaha kecil yang jujur.Temuan mengejutkan menunjukkan pelanggaran serius, seperti kadar beras pecah yang melebihi batas Standar Nasional Indonesia (SNI) hingga 20-25% (batas maksimal 15%), kadar air mencapai 20% (batas maksimal 14%), serta label menyesatkan yang mengklaim beras medium sebagai premium. Beberapa kemasan beras yang diklaim 5 kilogram ternyata hanya berisi 4,5 kilogram, dengan selisih harga Rp 2.000–3.000 per kilogram. Total kerugian konsumen diperkirakan mencapai Rp 99,35 triliun per tahun, dengan Rp 34,21 triliun dari beras premium dan Rp 65,14 triliun dari beras medium.
Apakah Ini Korupsi?
Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Prof. Hibnu Nugroho, menyebut praktik pengoplosan beras dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi di sektor pangan sekaligus pelanggaran perlindungan konsumen. Presiden Prabowo sendiri menegaskan bahwa kerugian Rp 100 triliun per tahun ini merupakan “kejahatan ekonomi luar biasa” yang mengkhianati rakyat. Ia memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk mengusut tanpa pandang bulu, bahkan mengancam penyitaan penggilingan beras jika pelaku tidak mampu mengganti kerugian negara.Satgas Pangan Polri telah menaikkan status kasus ini dari penyelidikan ke penyidikan setelah hasil laboratorium membuktikan adanya dugaan pidana. Pasal yang diduga dilanggar meliputi UU Perlindungan Konsumen (Pasal 62 jo. Pasal 8) terkait pelabelan menyesatkan dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (No. 8/2010) jika keuntungan ilegal diputar. Kejaksaan Agung (Kejagung) juga turut menyelidiki enam perusahaan besar, termasuk PT Wilmar Padi Indonesia, PT Food Station Tjipinang Jaya, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group), untuk memastikan kepatuhan terhadap harga eceran tertinggi (HET) dan standar mutu.

Dampak pada Ketahanan Pangan
Skandal ini bukan sekadar penipuan, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik terhadap rantai pasok pangan nasional. Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti bahwa praktik ini merugikan pedagang kecil yang tidak tahu menjual produk oplosan, serta memukul daya beli masyarakat di tengah ekonomi yang sulit. Anggota Komisi IV DPR Daniel Johan mendesak transparansi dalam mengungkap identitas pelaku agar konsumen tidak was-was dan pasar tetap stabil.
Praktik ini juga mengancam program swasembada pangan pemerintah, terutama karena petani lokal dirugikan oleh manipulasi pasar. Meski stok beras nasional saat ini melimpah (4,2 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah), pengawasan ketat terhadap distribusi pangan tetap diperlukan untuk mencegah kerugian lebih lanjut. Menteri Amran menekankan perlunya evaluasi berkala agar praktik curang seperti ini tidak berulang.

Langkah Hukum dan Harapan ke Depan
Hingga kini, Polri telah menyita 201 ton beras dan memeriksa 22 saksi dari enam perusahaan serta delapan pemilik merek beras kemasan. Nama-nama merek seperti Sania, Setra Ramos, dan Jelita telah disebut dalam laporan, meski belum ada tersangka yang ditetapkan. Kejagung juga berencana memanggil enam produsen pekan depan untuk mendalami apakah kasus ini masuk ranah korupsi atau pidana umum.Masyarakat diimbau lebih jeli memeriksa label dan berat kemasan beras, serta melaporkan kejanggalan untuk memperkuat perlindungan konsumen dan petani. Dengan koordinasi antara Polri, Kejagung, dan TNI, pemerintah berharap kasus ini dapat dituntaskan secara transparan, memberikan efek jera, dan memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem pangan nasional.

Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?

Skandal beras oplosan Rp 100 triliun bukan hanya soal penipuan mutu, tetapi juga mengindikasikan celah besar dalam tata kelola pangan nasional. Dengan potensi kerugian yang begitu masif, penegakan hukum yang tegas dan transparan menjadi kunci untuk melindungi konsumen, petani, dan keadilan ekonomi. Perkembangan kasus ini patut terus dipantau melalui rilis resmi Polri dan Kejagung untuk memastikan kebenaran dan keadilan tercapai. By Mukroni

  • Berita Terkait :

Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?

Benarkah Industri Padat Karya Indonesia di Ujung Tanduk? Kontraksi Tenaga Kerja Ancam Masa Depan Ekonomi !

Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?

Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!

Benarkah Rupiah Tertekan ? : BI Pangkas Suku Bunga, Trump Sulut Ketidakpastian Global!

Antrean Panjang Pencari Kerja: Indonesia di Ambang Krisis Ekonomi dan Ketenagakerjaan

 Tarif 19% AS: Ancaman atau Peluang bagi Ekspor Indonesia?

Tarif 19% Trump: Indonesia Bayar Mahal, AS Raup Untung?

Indonesia di Ambang Resesi: Keyakinan Konsumen Rontok, Ekonomi Terpuruk ?

Kredit Perbankan Anjlok, Daya Beli Ambruk: Benarkah Masyarakat Beralih ke Gym demi Kesehatan?

Optimisme Ekonomi Indonesia 2025: Masih Bertahan atau Mulai Runtuh?

Swasembada Pangan 2026: Anggaran Membengkak, Target Berantakan, Harga Pangan Masih Melambung?

Tarif AS 32% Ancam Jutaan Pekerja Indonesia: Bisakah Insentif Selamatkan Industri Padat Karya?

Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?

8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!

Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop

Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!

IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!

Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!

Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!

Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!

Indonesia-Rusia Kolplay Digital: 5G Ngegas, Warteg Go Online, Tapi Awas Jangan Kejebak Vodka Virtual!

Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!

Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!

TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!

Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!

Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!

Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?

Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!

Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!

Bank Dunia Bikin Panik: 194 Juta Orang Indonesia Jadi ‘Miskin’, Warteg Jadi Penutup atau Penutup Dompet?

Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!

Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *