Jakarta, Kowantaranews.com -Ribuan wajah penuh harap namun lelah terlihat di antrean panjang pencari kerja di berbagai daerah, dari Cianjur hingga Jakarta. Fenomena ini bukan sekadar pemandangan sehari-hari, melainkan cermin krisis ketenagakerjaan dan ekonomi yang kian mengkhawatirkan di Indonesia. Dengan tingkat pengangguran terbuka melonjak ke 7,45% pada 2024 dari 5,28% pada 2020, dan Jawa Barat mencatat 1,81 juta pengangguran pada Februari 2025, krisis ini mengguncang sendi-sendi perekonomian masyarakat.
Di Cianjur, lebih dari 1.000 orang berebut 50 lowongan di toko ritel Khaira Store. Di Bandung, 3.000 pelamar memadati job fair untuk 2.600 lowongan, mencerminkan persaingan ketat yang nyaris tanpa harapan. Bahkan di Jakarta, bursa kerja informal dipenuhi pekerja yang rela menerima upah di bawah UMR demi bertahan hidup. Data ini menggambarkan realitas pahit: lapangan kerja tak sebanding dengan jumlah pencari kerja.
Perlambatan ekonomi menjadi biang keladi. Pertumbuhan ekonomi nasional merosot ke 4,87% pada triwulan I-2025, turun dari 5,11% pada 2024. Sektor manufaktur, konstruksi, dan akomodasi-makanan terpuruk, dengan penurunan masing-masing sebesar -0,22%, -1,96%, dan -4,24% di Jawa Barat. Gelombang PHK memperparah situasi. Awal 2024, 101.536 pekerja di sektor manufaktur, khususnya tekstil, kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi dan impor ilegal. Industri perhotelan tak luput, dengan okupansi hotel di Jawa Barat hanya 40%, memicu PHK 150 pekerja di Bogor dan pemotongan jam kerja 3.000 karyawan.
Hambatan struktural turut memperumit masalah. Ketidaksesuaian keterampilan (skill mismatch) membuat 70% pengangguran di Jakarta, yang mayoritas lulusan SMA/SMK, sulit bersaing di era digital. Perusahaan lebih memprioritaskan pekerja dengan keahlian teknis atau pengalaman. Selain itu, iklim investasi yang buruk, ditambah biaya usaha tinggi dan regulasi tak menentu, menghambat penciptaan lapangan kerja. Kini, investasi Rp 1 triliun hanya mampu menciptakan 1.277 lapangan kerja, jauh menurun dari 4.500 pada 2013.Tantangan global juga menekan. Hambatan ekspor ke negara BRICS, seperti sertifikasi ketat Brasil untuk produk pertanian dan regulasi tekstil India, melemahkan daya saing Indonesia. Ancaman tarif 10% dari Presiden AS Donald Trump untuk negara BRICS, meski Indonesia mendapat pengecualian, tetap menimbulkan ketidakpastian.
Tarif 19% AS: Ancaman atau Peluang bagi Ekspor Indonesia?
Pemerintah berupaya merespons. Satgas PHK meluncurkan program pelatihan ulang dan penyaluran tenaga kerja lintas sektor. Insentif pajak untuk UMKM yang mempekerjakan lulusan SMA/SMK mulai digulirkan. Di daerah, inisiatif seperti Koperasi Merah Putih di Solok memberikan akses modal dan alat pertanian untuk petani muda, sementara Jakarta memperluas job fair dan pelatihan vokasi. Namun, upaya ini dinilai belum optimal akibat koordinasi lemah dan anggaran terbatas.
Krisis ini menuntut solusi mendesak. Pelatihan vokasi berbasis industri, reformasi regulasi untuk investasi, dan penguatan UMKM harus diprioritaskan. Tanpa transformasi struktural, antrean panjang pencari kerja akan terus menjadi bayang-bayang kelam masa depan ekonomi Indonesia. By Mukroni
- Berita Terkait :
Tarif 19% AS: Ancaman atau Peluang bagi Ekspor Indonesia?
Tarif 19% Trump: Indonesia Bayar Mahal, AS Raup Untung?
Indonesia di Ambang Resesi: Keyakinan Konsumen Rontok, Ekonomi Terpuruk ?
Kredit Perbankan Anjlok, Daya Beli Ambruk: Benarkah Masyarakat Beralih ke Gym demi Kesehatan?
Optimisme Ekonomi Indonesia 2025: Masih Bertahan atau Mulai Runtuh?
Swasembada Pangan 2026: Anggaran Membengkak, Target Berantakan, Harga Pangan Masih Melambung?
Tarif AS 32% Ancam Jutaan Pekerja Indonesia: Bisakah Insentif Selamatkan Industri Padat Karya?
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!