Jakarta, Kowantaranews.com – Harga beras di pasar terus melambung tinggi, membuat masyarakat semakin terbebani di tengah tekanan ekonomi. Berdasarkan data per 29 Juli 2025, harga beras medium di tingkat konsumen mencapai rata-rata Rp14.333 per kilogram, melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp12.500 per kilogram hingga 14,66%. Kenaikan harga ini terjadi di 219 kabupaten/kota pada pekan keempat Juli 2025, meningkat signifikan dari 178 daerah pada pekan kedua dan 205 daerah pada pekan ketiga. Fenomena ini menunjukkan tren inflasi pangan yang kian meluas, memicu keresahan di kalangan konsumen dan pedagang kecil.
Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), yang digadang-gadang sebagai solusi untuk menekan harga beras, ternyata jauh dari harapan. Pemerintah menargetkan penyaluran 1,3 juta ton beras melalui program ini dari Juli hingga Desember 2025, atau sekitar 200.000 ton per bulan. Namun, realisasi penyaluran pada 14-29 Juli 2025 hanya mencapai 4.496,62 ton, atau 0,34% dari target. Angka ini menunjukkan bahwa program SPHP nyaris tidak berjalan, meninggalkan masyarakat tanpa bantalan harga yang dijanjikan.
Apa yang salah dengan SPHP? Salah satu kendala utama adalah lambatnya proses verifikasi toko penyalur oleh dinas terkait. Banyak toko yang seharusnya menjadi saluran distribusi beras SPHP masih menunggu validasi, sehingga pasokan beras murah tidak sampai ke tangan konsumen. Selain itu, pola distribusi baru yang diterapkan masih dalam tahap penyesuaian, menyebabkan kebingungan di lapangan. Lebih memprihatinkan lagi, penyaluran ke Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, yang diharapkan menjadi saluran distribusi alternatif, belum terealisasi sama sekali. Di daerah seperti Papua, distribusi terhambat oleh infrastruktur yang buruk, memperparah kesenjangan akses beras murah.
Pemerintah, melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kantor Staf Presiden (KSP), telah meminta Perum Bulog untuk bergerak cepat. Bulog diminta mempercepat distribusi beras SPHP, terutama di daerah-daerah dengan harga tinggi, serta meningkatkan volume operasi pasar untuk menekan inflasi. Ironisnya, Bulog sebenarnya memiliki stok beras yang sangat besar, mencapai 4,2 juta ton. Namun, stok melimpah ini tidak berdampak signifikan karena distribusi yang amburadul. Harga gabah di tingkat petani yang tetap tinggi juga menjadi faktor yang membuat HET sulit tercapai, menambah kompleksitas masalah.
Untuk mengatasi krisis ini, sejumlah solusi diusulkan. Pertama, koordinasi intensif antara Bulog dan pemerintah daerah (pemda) harus segera dilakukan untuk mempercepat verifikasi toko penyalur. Kedua, operasi pasar perlu diperluas secara masif di daerah-daerah dengan inflasi tinggi untuk memberikan efek langsung pada harga. Ketiga, pemanfaatan Koperasi Desa sebagai saluran distribusi baru harus segera direalisasikan untuk menjangkau masyarakat di tingkat lokal. Jika langkah-langkah ini berhasil, Bulog optimistis harga beras dapat turun dalam 1-2 minggu ke depan.
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Namun, waktu terus berjalan, dan masyarakat menanti aksi nyata. Dengan stok beras yang melimpah, seharusnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk gagal menstabilkan harga. Keberhasilan SPHP kini bergantung pada kemampuan Bulog dan pemda untuk memperbaiki pola distribusi dan memastikan beras sampai ke tangan masyarakat dengan harga terjangkau. Jika tidak, kenaikan harga beras yang tak terkendali akan terus menjadi momok bagi perekonomian nasional.
Program SPHP yang diharapkan menjadi penyelamat harga beras ternyata gagal total akibat distribusi yang tersendat. Dengan stok 4,2 juta ton, Bulog memiliki potensi besar untuk menekan harga, tetapi tanpa koordinasi dan eksekusi yang cepat, krisis harga beras akan terus berlanjut. Pemerintah harus bertindak tegas untuk memastikan beras murah sampai ke masyarakat, sebelum kepercayaan publik semakin terkikis. By Mukroni
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?