Jakarta, Kowantaranews.com – Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan ancaman resesi, industri kemasan makanan dan minuman di Indonesia justru menunjukkan ketahanan luar biasa. Sektor ini tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga mencatatkan pertumbuhan signifikan, menegaskan posisinya sebagai salah satu penggerak utama perekonomian nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, nilai produksi industri kemasan terus meningkat: Rp87,6 triliun pada 2022, Rp93,2 triliun pada 2023, dan mencapai Rp100 triliun pada 2024. Proyeksi ke depan bahkan lebih optimistis, dengan perkiraan nilai produksi mencapai Rp105 triliun pada akhir 2025.
Pertumbuhan sektor ini pada 2024 tercatat sebesar 6%, melampaui target pertumbuhan ekonomi nasional yang dipatok pada angka 5%. Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) memprediksi pasar kemasan di Asia Tenggara akan tumbuh hingga 24% dalam lima tahun ke depan, menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain kunci di kawasan. Faktor utama di balik ketangguhan sektor ini adalah sifat esensialnya sebagai penunjang kebutuhan pokok manusia. “Selama manusia masih makan dan minum, kebutuhan akan kemasan tidak akan pernah surut,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa industri ini benar-benar “recession-proof.”
Salah satu terobosan terbesar dalam industri ini adalah peresmian pabrik kemasan aseptik pertama di Indonesia oleh PT Lami Packaging Indonesia (Lamipak) di Karawang, Jawa Barat. Dengan investasi Rp3 triliun, pabrik ini memiliki kapasitas produksi 21 miliar kemasan per tahun dan menggunakan teknologi mutakhir dari Jerman berstandar Industri 4.0. Keunggulan lainnya termasuk sistem produksi end-to-end yang steril, pemanfaatan energi surya sebesar 5,3 MW, dan daur ulang seluruh limbah produksi, menjadikannya ramah lingkungan. Kehadiran pabrik ini mengakhiri ketergantungan 100% pada impor kemasan aseptik, memungkinkan pelaku industri memesan kemasan sesuai kebutuhan tanpa terikat jumlah besar seperti saat impor.
Dampaknya terhadap perekonomian nasional sangat signifikan. Industri kemasan menyumbang 19,6% terhadap PDB nasional, sementara sektor makanan dan minuman secara keseluruhan berkontribusi 39,91% terhadap PDB industri non-migas atau 6,47% dari total PDB nasional. Selain itu, pabrik Lamipak telah membuka 450 lapangan kerja, dengan 45% di antaranya diisi oleh warga lokal, memperkuat perekonomian daerah. Pengurangan impor kemasan juga membantu menghemat devisa dan mendukung program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Tren keberlanjutan menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan sektor ini. Permintaan akan kemasan ramah lingkungan dan aseptik terus meningkat, seiring kesadaran konsumen terhadap lingkungan. Selain itu, adopsi teknologi digital seperti smart packaging dan permintaan kemasan premium turut memperkuat daya saing industri. Dengan investasi teknologi tinggi, ketahanan terhadap resesi, dan prospek pasar yang cerah, industri kemasan makanan dan minuman Indonesia siap menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional di masa depan.
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?