Jakarta, Kowantaranews.com – Pasar beras Indonesia sedang berada di ambang krisis. Harga beras melambung tinggi, stok menipis, dan ketidakpastian kebijakan pemerintah memperburuk situasi. Dengan mayoritas wilayah penghasil padi seperti Jawa Barat masih menunggu panen Musim Tanam II (MT II) hingga akhir September, pasokan Gabah Kering Panen (GKP) kian terbatas. Harga GKP kini mencapai Rp7.400–Rp7.600 per kilogram, dengan prediksi menyentuh Rp8.000 sebelum panen tiba. Jika dikonversi, harga beras medium bisa mencapai Rp16.000 per kilogram, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) pemerintah yang berkisar Rp12.500–Rp13.500 per kilogram. Sementara itu, beras premium bahkan dijual hingga Rp20.700 per kilogram, melampaui HET maksimal Rp15.800. Krisis ini mengancam ketahanan pangan nasional dan daya beli masyarakat.
Kelangkaan pasokan dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, dominasi Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam menyerap gabah MT I menyisakan sedikit pasokan untuk penggilingan swasta. Akibatnya, penggilingan besar yang bermodal kuat mampu membeli gabah dengan harga tinggi, sementara 161.000 dari 169.000 penggilingan kecil terpaksa menghentikan operasi karena kalah bersaing. Penghentian ini memperparah kekurangan pasokan beras di pasar, terutama di ritel modern di daerah seperti Bandar Lampung, Malang, dan Samarinda, yang melaporkan stok menipis.
Ketidakpastian kebijakan pemerintah turut memperkeruh suasana. Rencana penghapusan klasifikasi beras medium dan premium, digantikan dengan beras reguler dan khusus, belum memiliki standar mutu dan harga batas atas yang jelas. Finalisasi kebijakan berbasis zonasi yang tertunda memicu spekulasi di kalangan pedagang dan produsen. Banyak di antara mereka memilih menahan stok, menunggu kepastian regulasi, yang justru memperburuk kelangkaan dan mendorong harga lebih tinggi. Operasi penegakan hukum terhadap beras oplosan juga berdampak ganda: meski bertujuan menjaga kualitas, banyak produsen besar menarik produk mereka dari pasar, dan penggilingan kecil menghentikan produksi untuk menghindari risiko hukum.
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Pemerintah berupaya merespons melalui operasi pasar dan pengawasan ketat. Badan Pangan Nasional (Bapanas) meminta produsen dan ritel tetap menjual beras, termasuk yang “terindikasi oplosan,” asal harganya disesuaikan. Namun, kebijakan ini kontradiktif dan membingungkan pelaku pasar. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah sebesar Rp6.500 per kilogram juga tidak kompetitif dibandingkan harga pasar, membuat Bulog kesulitan menambah stok. Dengan stok Bulog saat ini hanya 3,9 juta ton, target swasembada beras 32,83 juta ton pada 2025 terancam gagal. Impor beras menjadi opsi, tetapi berisiko melemahkan petani lokal yang sudah tertekan oleh alih fungsi lahan seluas 80.000 hektar per tahun.
Untuk menangani krisis, solusi jangka pendek seperti operasi pasar besar-besaran oleh Bulog dan subsidi bagi penggilingan kecil perlu segera diterapkan. Dalam jangka menengah, pemerintah harus mempercepat pengumuman standar beras baru dan merevisi HET serta HPP agar sesuai dengan realitas pasar. Investasi dalam irigasi dan teknologi pertanian juga krusial untuk meningkatkan produktivitas. Jika panen MT II lancar, stok akhir 2025 diperkirakan mencapai 9,97 juta ton. Namun, tanpa langkah tegas, harga beras diprediksi tetap tinggi hingga akhir tahun, memicu risiko inflasi pangan dan ketidakstabilan sosial. Indonesia kini berada di persimpangan: akankah krisis ini menjadi pelajaran untuk memperkuat ketahanan pangan, atau justru membawa negeri ini ke jurang krisis yang lebih dalam?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?