Jakarta, Kowantaranews.com – Harga ubi dan pisang di Nusa Tenggara Timur (NTT) melonjak drastis, membuat masyarakat menengah ke bawah semakin tertekan. Di Pasar Kasih, Kota Kupang, harga ubi jalar—baik ungu, putih, maupun kuning—meroket dari Rp 10.000 per kantong plastik menjadi Rp 20.000. Begitu pula dengan pisang, yang kini dijual Rp 20.000 per sisir, dua kali lipat dari harga sebelumnya Rp 10.000. Kenaikan ini dipicu oleh musim kemarau panjang yang mengganggu produksi dan pasokan pangan lokal, memperparah tekanan ekonomi di wilayah ini.
Musim kemarau yang berkepanjangan menjadi biang keladi utama. Wilayah penghasil utama seperti Malaka, Timor Tengah Utara, dan Timor Tengah Selatan mengalami penurunan hasil panen yang signifikan. Ubi dan pisang, yang biasanya melimpah, kini langka di pasar. “Hasil kebun semakin sedikit. Kalau kemarau terus begini, harga bisa naik lagi,” keluh seorang pedagang di Pasar Kasih. Ketergantungan NTT pada pasokan lokal memperburuk situasi, karena gangguan produksi langsung berdampak pada ketersediaan dan harga.
Kenaikan harga ini tak hanya terbatas pada ubi dan pisang. Harga beras medium di NTT juga melonjak, mencapai Rp 13.000–Rp 14.000 per kg, dengan kualitas yang mengecewakan—banyak kutu dan kerikil. Akibatnya, banyak warga beralih ke ubi dan pisang sebagai alternatif hemat untuk mengurangi konsumsi beras. “Pagi kami makan ubi atau pisang, siang dan malam baru beras,” ujar Maria, ibu rumah tangga di Kupang. Pola konsumsi ini mencerminkan upaya masyarakat bertahan di tengah kenaikan harga pangan yang kian membebani.
Dampak ekonomi dari krisis ini terasa berat, terutama bagi kalangan menengah ke bawah. Ubi dan pisang, yang selama ini menjadi pangan alternatif terjangkau, kini tak lagi murah. Ketidakpastian pasokan membuat pedagang dan konsumen khawatir harga akan terus naik jika musim kemarau berlarut-larut. Di sisi lain, ketergantungan pada pasokan dari luar NTT, seperti dari pulau lain, menambah biaya distribusi yang turut mendorong kenaikan harga.
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Pemerintah setempat berupaya meredam krisis ini. Di Kabupaten Timor Tengah Utara, masyarakat didorong memanfaatkan lahan kosong untuk bercocok tanam guna meningkatkan produksi lokal. Selain itu, diversifikasi pangan menjadi solusi yang digalakkan, dengan imbauan untuk mengonsumsi jagung, kacang-kacangan, dan ubi sebagai alternatif beras. Bulog NTT juga turun tangan, menyalurkan bantuan beras sebanyak 20 kg per orang untuk 605.291 penerima guna meredam dampak kenaikan harga. Namun, upaya ini belum sepenuhnya mampu menstabilkan harga pangan di pasar.
Untuk jangka panjang, pemerintah perlu memperkuat produksi lokal dan mengawasi distribusi pangan agar tidak terjadi spekulasi harga. Masyarakat juga diharapkan lebih kreatif memanfaatkan sumber daya lokal untuk ketahanan pangan. Tanpa langkah konkret, kenaikan harga ubi dan pisang di NTT bisa terus menjadi momok bagi ekonomi masyarakat. Musim kemarau mungkin tak bisa dicegah, tetapi dengan strategi yang tepat, dampaknya bisa diminimalkan. By Mukroni
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?