Jakarta, Kowantaranews.com – Pemerintah Indonesia, bersama pelaku usaha penggilingan padi dan beras, telah menyepakati kebijakan harga batas atas dan bawah untuk gabah dan beras. Kebijakan ini, yang digagas untuk menjaga stabilitas harga pangan dan mencegah persaingan usaha tidak sehat, memicu diskusi hangat di kalangan petani, pedagang, dan konsumen. Namun, apakah langkah ini benar-benar solusi untuk stabilitas pangan, atau justru menambah beban baru bagi petani dan konsumen?
Detail Kebijakan dan Tujuannya
Kebijakan ini menetapkan harga pembelian gabah kering panen (GKP) di tingkat petani dengan batas bawah Rp 6.500 per kg dan batas atas Rp 7.000 per kg. Sementara itu, harga eceran tertinggi (HET) beras medium di zona 1 ditetapkan Rp 12.500 per kg, dengan usulan penyesuaian menjadi Rp 13.500 per kg, dan beras premium Rp 14.900 per kg. Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan melindungi petani dari anjloknya harga gabah, menjaga harga beras tetap terjangkau bagi konsumen, dan mencegah persaingan tidak sehat di kalangan pengusaha penggilingan padi. Dengan harga gabah di atas Rp 7.000 per kg dianggap tidak wajar, kebijakan ini berupaya menekan dominasi perusahaan besar yang dapat memicu ketidakseimbangan pasar.
Implementasi dan Pengawasan
Untuk memastikan kepatuhan, Bapanas akan menerbitkan surat edaran kepada pengusaha penggilingan padi dan beras, sementara Satgas Pangan Polri ditugaskan mengawasi pelaksanaan kebijakan ini. Pemerintah juga berencana menyesuaikan HET beras medium karena harga saat ini dianggap tidak lagi sesuai dengan biaya produksi dan distribusi. Usulan HET baru adalah Rp 13.500 per kg untuk zona 1, Rp 14.000 per kg untuk zona 2, dan Rp 15.000 per kg untuk zona 3. Langkah ini diharapkan mampu menyeimbangkan kepentingan petani, pedagang, dan konsumen.
Tantangan di Lapangan
Meski ambisius, kebijakan ini menghadapi sejumlah tantangan. Realisasi distribusi beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) hingga Juli-Agustus 2025 baru mencapai 70.519 ton, atau hanya 5,35% dari target 1,3 juta ton untuk periode Juli-Desember 2025. Distribusi yang lamban ini menunjukkan adanya kendala logistik dan koordinasi. Selain itu, banyak pedagang kecil, terutama di daerah terpencil, kesulitan mengakses aplikasi Klik SPHP karena masalah sinyal, keterbatasan perangkat, atau ketidakpahaman teknologi. Ketersediaan beras premium di ritel modern juga masih terbatas, memperumit akses konsumen.
Upaya Perbaikan dan Realitas Pasar
Untuk mengatasi tantangan ini, Bulog didorong untuk mempercepat distribusi beras SPHP hingga ke tingkat desa, bukan hanya berhenti di kecamatan. Pemerintah juga mengusulkan opsi manual bagi pedagang yang kesulitan menggunakan aplikasi, seperti melalui surat pernyataan. Bulog ditargetkan meningkatkan distribusi harian menjadi 7.000-10.000 ton untuk memenuhi kebutuhan pasar. Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan harga beras medium dan premium pada pekan ketiga Agustus 2025 masing-masing mencapai Rp 14.005 dan Rp 15.437 per kg di zona 1, jauh di atas HET. Ini menandakan tekanan inflasi pangan atau distribusi yang belum optimal.
Proyeksi ke Depan
Menteri Pertanian menargetkan produksi beras nasional mencapai 10.000 ton per hari, dengan cadangan beras pemerintah diperkirakan aman di kisaran 2,5-2,7 juta ton hingga akhir tahun. Meski demikian, efektivitas kebijakan ini bergantung pada pengawasan ketat dan kolaborasi antar pemangku kepentingan. Tanpa distribusi yang merata dan penegakan aturan yang konsisten, kebijakan ini berisiko hanya menjadi wacana tanpa dampak nyata.
Ubi dan Pisang di NTT Meroket: Kemarau Panjang Bikin Kantong Jebol!
Dilema Petani dan Konsumen
Bagi petani, batas bawah Rp 6.500 per kg menawarkan jaring pengaman, tetapi batas atas Rp 7.000 per kg dapat membatasi potensi keuntungan di saat harga pasar tinggi. Bagi konsumen, HET yang lebih tinggi berpotensi menambah beban pengeluaran rumah tangga, terutama di tengah kenaikan harga pangan. Pertanyaannya, apakah kebijakan ini mampu menciptakan keseimbangan yang dijanjikan, atau justru memicu ketegangan baru di antara petani, pedagang, dan konsumen?
Kebijakan harga batas atas-bawah gabah dan beras adalah langkah strategis untuk menjaga stabilitas pangan nasional. Namun, tantangan distribusi, akses teknologi, dan pengawasan pasar menjadi ujian nyata. Dengan pengawasan ketat oleh Satgas Pangan dan penyesuaian HET yang realistis, kebijakan ini berpotensi berhasil. Namun, tanpa perbaikan cepat di lapangan, cita-cita stabilitas harga pangan bisa terhambat, meninggalkan petani dan konsumen dalam ketidakpastian. By Mukroni
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?