Jakarta, Kowantaranews.com – Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang digagas pemerintah melalui Badan Pangan Nasional dan Perum BULOG bertujuan menjaga ketahanan pangan dan stabilitas harga beras. Namun, ironisnya, meskipun cadangan beras nasional tercatat cukup, harga beras di pasar tetap melambung tinggi, dan distribusi program ini tersendat di banyak wilayah. Situasi ini menciptakan paradoks: produksi beras melimpah, tetapi konsumen, terutama rumah tangga berpendapatan rendah, terbebani harga tinggi dan kelangkaan pasokan di pasar tradisional.
Data resmi menunjukkan produksi beras Indonesia mencukupi, dengan Jawa Timur sebagai lumbung beras nasional menyumbang 17% dari total produksi. Namun, realitas di lapangan jauh dari ideal. Per Agustus 2025, distribusi beras SPHP di Jawa Timur hanya mencapai 4,5% dari target 173.000 ton, atau sekitar 7.785 ton. Kegagalan ini menyoroti kesenjangan antara desain kebijakan dan implementasinya. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, bahkan secara terbuka meminta pemerintah pusat untuk mengintensifkan distribusi beras SPHP demi mengatasi kelangkaan di pasar.
Hambatan distribusi ini berakar pada masalah struktural. Pedagang pasar tradisional mengeluhkan birokrasi yang berbelit, seperti keharusan menjual beras dalam kemasan 5kg dan melaporkan transaksi melalui aplikasi Klik SPHP. Persyaratan ini terasa memberatkan, terutama bagi pedagang kecil yang tidak terbiasa dengan teknologi. Selain itu, infrastruktur logistik yang lemah menghambat pasokan ke daerah terpencil dan pasar tradisional.
Sementara ritel modern seperti supermarket mendapatkan pasokan lebih baik, pasar tradisional—tempat belanja utama masyarakat berpendapatan rendah—justru kekurangan stok. Secara nasional, dari target distribusi 1,5 juta ton beras SPHP, hanya 230.945 ton (15,4%) yang tersalurkan hingga Agustus 2025, menunjukkan skala masalah yang meluas.
Harga beras juga menjadi sorotan. Di Sidoarjo, Jawa Timur, beras premium dijual Rp 16.000 per kg, sedangkan beras medium mencapai Rp 14.000 per kg, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) SPHP sebesar Rp 12.500 per kg. Di Lampung, harga beras premium naik 1,94% menjadi Rp 15.450 per kg dalam sebulan. Kenaikan ini membebani konsumen, terutama keluarga miskin yang menghabiskan porsi besar pendapatan untuk kebutuhan pokok.
Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, menyebut kenaikan biaya produksi—seperti pupuk, bibit, sewa lahan, dan upah tenaga kerja—sebagai pemicu utama. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga mencatat bahwa harga gabah yang tinggi di tingkat petani turut mendorong kenaikan harga beras.
Harga Gabah dan Beras Dibatasi: Solusi Stabilitas Pangan atau Beban Baru bagi Petani dan Konsumen?
Untuk mengatasi krisis ini, intervensi jangka pendek diperlukan. Pemerintah harus menyederhanakan protokol distribusi, seperti mengurangi persyaratan administratif bagi pedagang tradisional, dan memperkuat koordinasi logistik antara BULOG, pemerintah daerah, dan distributor swasta. Dalam jangka menengah hingga panjang, optimalisasi rantai pasok melalui koperasi petani dan unit penggilingan padi terpadu dapat mengurangi ketergantungan pada tengkulak. Investasi pada irigasi dan teknologi pertanian juga krusial untuk meningkatkan produktivitas dan mengantisipasi musim paceklik yang diprediksi terjadi antara Oktober 2025 dan Maret 2026.
Menghadapi tantangan ini, pemerintah perlu bergerak cepat. Pengadaan beras domestik selama musim panen harus dipercepat untuk membangun cadangan yang memadai. Selain itu, pengembangan varietas padi tahan iklim dan kemitraan dengan sektor swasta dapat memperkuat ketahanan pangan. Tanpa langkah konkret, paradoks SPHP akan terus membebani masyarakat, melemahkan kepercayaan terhadap kebijakan pangan, dan mengancam ketahanan pangan nasional. Koordinasi yang kuat dan reformasi struktural adalah kunci menuju ekosistem beras yang lebih resilien dan terjangkau bagi semua. By Mukroni
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?