Jakarta, Kowantaranews.com -Industri beras Indonesia sedang berada di ujung tanduk. Kebijakan pengawasan ketat oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melalui Surat Telegram No. ST/1850/VIII/OTL.1.1.1/2025 telah memperluas pengawasan dari kasus beras oplosan ke dugaan penimbunan. Pelaku usaha kini diwajibkan mendistribusikan stok beras dalam waktu dua hari, atau menghadapi ancaman sanksi berat berdasarkan UU Perdagangan No. 7/2014: penjara hingga lima tahun atau denda Rp50 miliar. Namun, kebijakan ini justru memicu kekacauan di kalangan penggilingan padi kecil dan menengah, terutama di sentra beras seperti Cirebon (Jawa Barat) dan Demak (Jawa Tengah), yang kini terpaksa menghentikan operasional mereka.
Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium yang ditetapkan Rp12.500 per kilogram menjadi biang keladi utama. Sementara harga gabah melonjak ke kisaran Rp6.800–Rp8.200 per kilogram, biaya produksi beras medium mencapai Rp15.600–Rp16.400 per kilogram. Dengan HET yang jauh di bawah biaya produksi, penggilingan kecil-menengah terjebak dalam kerugian yang tak terelakkan. “Kami tidak mungkin menjual di bawah biaya produksi. Ini bukan bisnis, ini bunuh diri,” keluh seorang pengusaha penggilingan padi di Cirebon. Kebijakan Bulog yang membeli gabah “any quality” seharga Rp6.500 per kilogram tanpa menyesuaikan HET beras semakin memperparah situasi, membuat pelaku usaha merugi di setiap kilogram beras yang dihasilkan.
Ketakutan akan tuduhan penimbunan memperburuk keadaan. Banyak penggilingan menghentikan produksi karena stok gabah untuk operasional—atau yang disebut “stok berjalan”—dikhawatirkan disalahartikan sebagai penimbunan oleh aparat penegak hukum. Akibatnya, sekitar 40% penggilingan padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah terhenti, memicu risiko kelangkaan beras di pasar. Petani pun terdampak, terpaksa menjual gabah lebih awal dengan kualitas rendah demi menghindari risiko penurunan harga, yang pada akhirnya menurunkan mutu beras di pasaran.
Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) mendesak pemerintah untuk segera bertindak. Mereka menuntut revisi HET beras medium dan premium agar sesuai dengan biaya produksi aktual, percepatan distribusi stok beras oleh Bulog untuk menstabilkan pasar, serta kejelasan definisi “penimbunan” agar stok operasional tidak disalahartikan. “Kami bukan penimbun, kami hanya menyimpan gabah untuk menjaga produksi tetap berjalan,” ujar seorang anggota Perpadi.
Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Zulkifli Hasan, menegaskan bahwa pengawasan hanya menargetkan pelaku nakal, bukan pebisnis yang patuh. Satgas Pangan Polri juga mengklaim stok beras nasional aman. Namun, keluhan dari pelaku usaha mengindikasikan distribusi beras tersendat, memperumit situasi di lapangan. Ketidaksinkronan antara kebijakan harga dan realitas produksi menciptakan pro dan kontra. Di satu sisi, pengawasan ketat berhasil mencegah spekulasi dan penimbunan. Di sisi lain, HET yang tidak realistis dan definisi penimbunan yang ambigu justru mengganggu rantai pasok beras nasional.
Untuk mengatasi krisis ini, sejumlah solusi diusulkan. Pertama, pemerintah perlu menyesuaikan HET dengan biaya produksi aktual untuk menjaga keberlanjutan usaha penggilingan. Kedua, insentif bagi penggilingan kecil-menengah, seperti subsidi biaya produksi atau akses modal murah, dapat mencegah kolaps operasional. Ketiga, koordinasi yang lebih erat antara Polri, Kementerian Pertanian, dan pelaku usaha diperlukan untuk memastikan kebijakan tidak salah sasaran.
Jika tidak segera diatasi, krisis ini berpotensi memicu kelangkaan beras dan lonjakan harga yang akan membebani masyarakat. Pemerintah harus bertindak cepat dan tepat untuk menyelamatkan industri beras dari ancaman kolaps, sekaligus memastikan stabilitas pangan nasional. Kebijakan yang seimbang antara pengawasan dan dukungan kepada pelaku usaha menjadi kunci menyelesaikan dilema ini. By Mukroni
Birokrasi Lamban dan Dana Macet: Danantara Sabotase Ketahanan Pangan Nasional?
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?