Jakarta, Kowantaranews.com – Dunia minyak nabati sedang gonjang-ganjing. Dari Amerika Serikat yang getol promosi minyak kedelai lokal, India yang berambisi swasembada sawit, hingga Uni Eropa yang makin ketat dengan aturan anti-deforestasi, industri minyak sawit Indonesia menghadapi tantangan pelik. Tapi, di tengah “drama” global ini, warung tegal alias warteg tetap berdiri tegak, menjajakan tempe goreng, bakwan, dan perkedel dengan percaya diri. Bagaimana warteg, “benteng kuliner rakyat” ini, bertahan di tengah badai harga minyak goreng? Mari kita ulik!
Minyak Sawit Global: Banyak PR, Harga Naik-Turun
Pasar minyak nabati dunia sedang tidak dalam mood baik. Produksi global memang diproyeksikan naik 1,3% untuk periode 2024/2025, terutama berkat pemulihan produksi minyak sawit di Indonesia dan Malaysia pasca-El Niño, plus minyak kedelai dari Brasil yang makin ngegas. Tapi, perdagangan global justru diprediksi turun 0,5% karena permintaan pangan melambat. Sementara itu, penggunaan minyak sawit untuk biodiesel sedikit meningkat, terutama di Indonesia dengan rencana mandatori B40 (campuran 40% biodiesel berbasis sawit).
Tantangan ekspor makin pelik. Di Amerika Serikat, Badan Lingkungan (EPA) menargetkan pencampuran biodiesel hingga 24,46 miliar galon pada 2027, tapi mereka lebih suka minyak kedelai lokal ketimbang impor sawit Indonesia. India, pembeli terbesar CPO Indonesia, sedang gencar dengan program National Mission on Edible Oils-Oil Palm (NMEO-OP), berambisi meningkatkan produksi sawit domestik dari 100.000 ton menjadi 1,12 juta ton per tahun pada 2026. Meski bea masuk CPO diturunkan dari 27,5% jadi 16,5%, ini cuma “angin segar” sementara—India bakal kurangi impor begitu kebun sawit mereka panen raya. Uni Eropa? Jangan ditanya. Dengan regulasi Renewable Energy Directive II (RED II) dan EU Deforestation Regulation (EUDR), sawit Indonesia harus lulus “ujian keberlanjutan” yang super ketat.
Warteg: “Minyak Mahal? Kita Tetap Goreng!”
Di tengah krisis global ini, warteg tetap jadi pahlawan tanpa tanda jasa. Minyak goreng, bahan bakuara warteg, memang sempat bikin deg-degan. Jika ekspor sawit tersendat, pasokan CPO domestik bisa melimpah, menekan harga minyak goreng. Tapi, B40 bakal “nyedot” 25% produksi sawit, bikin pasokan untuk warteg berkurang. Hasilnya? Harga minyak goreng bisa naik, dan gorengan—jiwa warteg—terancam jadi “makanan mewah”. Bayangkan, tempe goreng yang biasanya Rp1.000 naik jadi Rp2.000. Pelanggan setia warteg, dari tukang ojek sampai mahasiswa, mungkin bakal curhat, “Ini tempe apa daging impor?”
Tapi warteg bukan tipe yang mudah menyerah. Di Warteg Mpok Sari di Jakarta Selatan, misalnya, Ibu Sariyem, sang pemilik, punya jurus jitu. “Minyak mahal? Kita goreng lebih sedikit, pake wajan anti-lengket, sama peluk minyak biar ga boros,” katanya sambil tertawa. Ada juga warteg yang beralih ke minyak curah—walau kualitasnya bikin pelanggan kadang bilang, “Gorengan kok agak nyanyi di lidah.” Kreativitas lain muncul: menu non-goreng seperti oseng tempe, sayur bening, atau pepes ikan kini jadi andalan untuk tekan biaya. “Pelanggan tetep happy, dompet kita juga ga nangis,” tambah Sariyem.
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Peluang di Tengah Ancaman
Di tengah tantangan, warteg punya peluang untuk tetap eksis. Program B40, jika dikelola baik, bisa stabilkan harga CPO domestik, sehingga pasokan minyak goreng untuk warteg lebih terjamin. Pemerintah juga bisa bantu dengan distribusi minyak subsidi untuk UMKM kuliner. Selain itu, pengembangan biodiesel generasi kedua dari minyak jelantah (used cooking oil) membuka peluang cuan tambahan. Beberapa warteg di Bogor sudah ikut program daur ulang minyak jelantah, menjualnya ke perusahaan biofuel. “Goreng tempe di warteg, minyak bekasnya jadi bahan bakar pesawat. Keren, kan?” ujar Pak Budi, koordinator warteg di Bogor.
Ekspansi ekspor sawit ke pasar baru seperti Afrika dan Timur Tengah juga bisa berdampak positif. Jika devisa meningkat, daya beli masyarakat naik, dan warteg bakal ramai lagi dengan pesanan “nasi, ayam, tempe, sama es teh manis!” Warteg juga bisa promosi kekuatan lokal: “Gorengan kami pakai sawit asli, mendukung petani Indonesia!”
Strategi Warteg ke Depan
Warteg harus terus adaptasi untuk tetap jadi “oase” kuliner rakyat. Pertama, hemat minyak dengan teknik goreng efisien atau wajan canggih. Kedua, tambah menu kreatif seperti tumis atau sup yang minim minyak. Ketiga, go digital—promosi paket hemat di media sosial bisa tarik pelanggan muda. Terakhir, kerja sama dengan koperasi lokal untuk minyak curah stabil harga bisa jadi penyelamat.
Warteg Tetap Cetar!
Meski minyak sawit dunia lagi “susah,” warteg tetap jualan tempe dengan percaya diri. Harga minyak yang naik-turun dan kebijakan global yang bikin pusing tak menyurutkan semangat warteg untuk menyajikan gorengan renyah dan nasi rambut setan. Dengan kreativitas, dukungan kebijakan B40, dan peluang dari minyak jelantah, warteg bakal terus jadi penutup lapar rakyat Indonesia, sambil bilang, “Minyak sawit boleh ribet, tapi gorengan kita tetep mantap!” By Mukroni
Foto Kowantaranews.com
- Berita Terkait :
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Jeritan Nelayan: Terjebak di Balik Tembok Laut, Rezeki Kian Terkikis
Menimbang Makna di Balik Perayaan Tahun Baru
Insiden di Mahkamah Internasional: Pengacara Israel Disebut ‘Pembohong’ oleh Pengamat Selama Sidang
Raja Saudi Salman Dirawat karena Radang Paru-paru di Istana Al Salam
Helikopter dalam Konvoi yang Membawa Presiden Iran Ebrahim Raisi Jatuh di Azerbaijan Timur
JPMorgan Chase Tarik Investasi dari Elbit Systems di Tengah Tekanan Kampanye Boikot
76 Tahun Nakba: Peringatan Sejarah dan Bencana yang Berkepanjangan di Gaza
Hakim Kanada Tolak Pembubaran Demo Pro-Palestina di Universitas McGill
Blokade Bantuan ke Gaza: Protes, Krisis Kelaparan, dan Konsekuensi Global
Netanyahu Tegaskan Israel Bukan “Negara Bawahan” AS di Tengah Ketegangan dengan Biden