• Kam. Sep 11th, 2025

KowantaraNews

Kowantara News: Berita tajam, warteg jaya, UMKM tak terjajah!

Aliansi Ekonom Indonesia Serukan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi

ByAdmin

Sep 10, 2025
Gambar Ilustrasi Kesenjangan Sosial Dapat Membuat Kerusuhan. Gambar IA Kowantaranews.com
Sharing is caring

Jakarta, Kowantaranews.com – Dalam sebuah pernyataan bersama yang mengguncang dunia ekonomi nasional, sebanyak 384 ekonom dan pemerhati ekonomi yang tergabung dalam Aliansi Ekonom Indonesia hari ini meluncurkan “Tujuh Desakan Darurat Ekonomi”. Pernyataan ini bukan sekadar kritik, melainkan seruan mendesak bagi pemerintah untuk segera melakukan reformasi kebijakan menyeluruh. Menurut para ekonom, arah pembangunan nasional telah menyimpang jauh dari visi keadilan sosial yang menjadi fondasi bangsa, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Krisis ekonomi saat ini, katanya, bukan semata-mata akibat guncangan global seperti pandemi atau gejolak geopolitik, melainkan akumulasi dari proses bernegara yang kurang amanah, di mana tata kelola yang buruk telah merusak fondasi perekonomian rakyat.

Situasi ekonomi Indonesia pasca-pandemi tampaknya menjanjikan di permukaan, dengan pertumbuhan GDP yang mencapai 5% per tahun. Namun, di balik angka itu, para ekonom mengungkapkan realitas yang jauh lebih kelam. Penurunan kualitas hidup terjadi secara masif dan sistemik di berbagai lapisan masyarakat. Upah riil pekerja hanya naik tipis 1,2% selama periode yang sama, sementara biaya hidup terus melonjak akibat inflasi pangan dan energi. Ketimpangan sosial-ekonomi mencapai level yang mengkhawatirkan, tidak hanya antar kelompok bawah, menengah, dan atas, tetapi juga antar wilayah. Indonesia Barat, dengan pusat ekonomi seperti Jawa, terus mendominasi, sementara wilayah timur seperti Maluku dan Papua terpuruk dalam kemiskinan struktural. Indeks Gini, yang mengukur ketimpangan, masih berada di angka 0,38, menunjukkan disparitas yang belum teratasi meskipun berbagai program redistribusi.

Salah satu sorotan utama adalah kualitas lapangan kerja yang buruk. Dari 14 juta lapangan kerja baru yang tercipta antara 2018 hingga 2024, 80% berasal dari sektor informal berbasis rumah tangga. Pekerja di sektor ini menerima upah rendah, tanpa jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan atau Ketenagakerjaan, dan rentan terhadap fluktuasi ekonomi. Para ekonom menyoroti bahwa kebijakan pemerintah cenderung minim bukti dan teknokrasi, menyebabkan misalokasi sumber daya yang masif. Sebagai contoh, anggaran untuk Polri dan TNI melonjak enam kali lipat dari 2009 hingga 2026, sementara alokasi untuk perlindungan sosial hanya bertambah dua kali lipat. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah prioritas negara lebih condong pada keamanan aparatur daripada kesejahteraan rakyat?Program-program populis juga menjadi sasaran kritik tajam. 

Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dialokasikan anggaran mencapai Rp 335 triliun, dinilai berpotensi membebani APBN secara berlebihan. Meskipun niatnya baik untuk mengatasi stunting dan gizi buruk, para ekonom khawatir program ini akan menghabiskan ruang fiskal yang seharusnya digunakan untuk reformasi sektor pendidikan dan kesehatan yang lebih berkelanjutan. Selain itu, ketidakhadiran negara dalam melindungi masyarakat semakin memperburuk situasi. Menurut laporan PPATK, 15-35% usaha kecil terdampak pungutan liar atau retribusi tidak resmi, sementara judi online diproyeksikan mencapai nilai transaksi Rp 1.200 triliun pada akhir 2025. Fenomena ini tidak hanya menggerus kemampuan ekonomi masyarakat, tapi juga merusak moral dan etika berusaha.

Menanggapi krisis ini, Aliansi Ekonom Indonesia merumuskan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi sebagai roadmap koreksi fundamental. Pertama, perbaikan alokasi anggaran dengan mengurangi belanja program populis secara signifikan dan menempatkan dana secara wajar serta proporsional. Kedua, mengembalikan independensi dan transparansi lembaga kunci seperti Bank Indonesia (BI), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari intervensi pihak-pihak tertentu. Ketiga, menghentikan dominasi negara dalam ekonomi, termasuk pelibatan BPIP, BUMN, TNI, dan Polri yang justru melemahkan ekonomi lokal dan menciptakan pasar yang tidak kompetitif.

Keempat, deregulasi dan penyederhanaan birokrasi untuk menghilangkan hambatan usaha, sehingga menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi UMKM dan startup. Kelima, kebijakan yang fokus pada ketimpangan, dengan mereformasi program bantuan sosial dan memastikan akses kelompok rentan terhadap jaminan sosial universal. Keenam, kembali ke kebijakan berbasis bukti melalui penerapan Regulatory Impact Assessment (RIA), uji coba program, dan evaluasi rutin oleh lembaga independen. Ketujuh, peningkatan kualitas institusi dengan membangun kepercayaan publik, menyehatkan tata kelola, serta memberantas konflik kepentingan dan perburuan rente yang merajalela.

RUU Komoditas Strategis: Solusi Jitu atau Sekadar Janji untuk Petani?

Para ekonom menekankan bahwa implementasi tujuh desakan ini bukanlah opsi, melainkan keharusan untuk mencegah kolaps ekonomi yang lebih dalam. “Kita tidak boleh lagi menoleransi pembangunan yang hanya menguntungkan segelintir elite,” ujar salah seorang koordinator aliansi dalam konferensi pers virtual hari ini. Mereka juga mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk parlemen dan media, untuk mendukung seruan ini. Hingga kini, pemerintah belum memberikan respons resmi, meskipun Menteri Keuangan menyatakan akan mengevaluasi masukan dari kalangan akademisi.

Seruan ini datang di tengah ketidakpastian global, di mana suku bunga The Fed masih tinggi dan harga komoditas fluktuatif. Bagi Indonesia, yang bergantung pada ekspor nikel dan sawit, momentum reformasi harus dimanfaatkan sekarang. Jika diabaikan, para ekonom memperingatkan, Indonesia berisiko terjebak dalam jebakan pendapatan menengah selamanya, dengan jutaan rakyat yang tertinggal. Aliansi berharap Tujuh Desakan ini menjadi katalisator perubahan, membawa bangsa kembali ke jalur keadilan sosial yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi bukan lagi angka abstrak, tapi kesejahteraan nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. By Mukroni

  • Berita Terkait :

RUU Komoditas Strategis: Solusi Jitu atau Sekadar Janji untuk Petani?

Swasembada Beras 2025: Kemenangan di Gudang, Penderitaan di Meja Makan?

Beras Melambung, Ekonomi Merosot: Mengungkap Paradoks Inflasi di Tengah Deflasi Nasional

Distribusi Beras Murah di Jawa Barat: Janji Manis Pemerintah vs Kekecewaan Warga

Paradoks SPHP: Beras Berlimpah, Harga Melambung, Distribusi Ambruk ?

Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia

Gula Petani Tersandera: Krisis 2025 Akibat Impor Liar dan Kebijakan Amburadul ?

Krisis Pangan Menggila: Beras Melambung, Minyakita Langka, Gula Petani Terpuruk ?

Birokrasi Lamban dan Dana Macet: Danantara Sabotase Ketahanan Pangan Nasional?

Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?

IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?

Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!

Konsumsi Domestik, Relokasi Warga, dan Green Infrastructure: Analisis Kebijakan Pemprov DKI Jakarta 2025

Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!

Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?

Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?

Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?

Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!

Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah

Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!

Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!

Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!

Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!

Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau

Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?

Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?

Benarkah Industri Padat Karya Indonesia di Ujung Tanduk? Kontraksi Tenaga Kerja Ancam Masa Depan Ekonomi !

Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?

Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!

Benarkah Rupiah Tertekan ? : BI Pangkas Suku Bunga, Trump Sulut Ketidakpastian Global!

Antrean Panjang Pencari Kerja: Indonesia di Ambang Krisis Ekonomi dan Ketenagakerjaan

 Tarif 19% AS: Ancaman atau Peluang bagi Ekspor Indonesia?

Tarif 19% Trump: Indonesia Bayar Mahal, AS Raup Untung?

Indonesia di Ambang Resesi: Keyakinan Konsumen Rontok, Ekonomi Terpuruk ?

Kredit Perbankan Anjlok, Daya Beli Ambruk: Benarkah Masyarakat Beralih ke Gym demi Kesehatan?

Optimisme Ekonomi Indonesia 2025: Masih Bertahan atau Mulai Runtuh?

Swasembada Pangan 2026: Anggaran Membengkak, Target Berantakan, Harga Pangan Masih Melambung?

Tarif AS 32% Ancam Jutaan Pekerja Indonesia: Bisakah Insentif Selamatkan Industri Padat Karya?

Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?

8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!

Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop

Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!

IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!

Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!

Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!

Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!

Indonesia-Rusia Kolplay Digital: 5G Ngegas, Warteg Go Online, Tapi Awas Jangan Kejebak Vodka Virtual!

Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!

Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!

TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!

Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!

Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!

Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?

Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!

Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!

Bank Dunia Bikin Panik: 194 Juta Orang Indonesia Jadi ‘Miskin’, Warteg Jadi Penutup atau Penutup Dompet?

Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!

Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!

Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *