Jakarta, Kowantaranews.com – Pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati kenaikan alokasi Dana Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp43 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Keputusan ini diambil setelah protes keras dari pemerintah daerah dan kritikan berbagai kalangan terkait rencana awal pemotongan TKD yang signifikan. Alokasi TKD kini ditetapkan sebesar Rp692,99 triliun, naik dari usulan awal Rp649,99 triliun, meskipun masih di bawah alokasi APBN 2025 sebesar Rp919,87 triliun. Kenaikan ini mencerminkan respons pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terhadap tekanan politik dan kebutuhan fiskal daerah, sambil menjaga keseimbangan dengan prioritas nasional.
Rencana awal untuk memangkas TKD hingga Rp270 triliun menuai kecaman karena dinilai mengancam kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan layanan dasar, seperti gaji pegawai dan pembangunan infrastruktur. Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) menyatakan bahwa 98% kabupaten di Indonesia bergantung pada TKD, dengan 50-60% anggaran daerah dialokasikan untuk belanja pegawai. Direktur Eksekutif Apkasi, Sarman Simanjorang, menyebut revisi ini sebagai “kabar baik” bagi daerah, meskipun alokasi masih di bawah level 2016 jika disesuaikan dengan inflasi.
Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik), yang krusial untuk proyek infrastruktur, sempat terancam turun drastis dari Rp36,95 triliun pada 2025 menjadi hanya Rp5 triliun dalam usulan awal, sebelum akhirnya direvisi.
Kenaikan TKD ini berdampak pada pelebaran defisit anggaran dari Rp638,8 triliun (2,48% PDB) menjadi Rp689,1 triliun (2,68% PDB), naik Rp50,3 triliun. Meski demikian, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa defisit tetap berada dalam batas aman 3% PDB sesuai Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. “Kami akan mengelola anggaran secara hati-hati untuk menjaga kepercayaan pasar,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR pada 18 September 2025.
Peningkatan belanja negara sebesar Rp56,2 triliun, menjadi Rp3.842,7 triliun, didukung oleh kenaikan pendapatan negara sebesar Rp5,9 triliun, terutama dari penerimaan bukan pajak (PNBP) dan bea cukai.
Keputusan ini mencerminkan keseimbangan antara program prioritas nasional pemerintahan Prabowo, seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG) untuk 20 juta penerima dan pembentukan 80.000 Koperasi Merah Putih, dengan kebutuhan daerah dalam sistem desentralisasi. Namun, kekhawatiran tentang tata kelola daerah tetap menjadi sorotan.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyinggung kasus penyalahgunaan dana di Kabupaten Kolaka Timur sebagai alasan pemerintah pusat mempertimbangkan sentralisasi beberapa program untuk efisiensi dan pengurangan risiko korupsi. Sementara itu, pengajar Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyarankan insentif fiskal berbasis kinerja untuk mendorong pengelolaan anggaran daerah yang lebih baik, ketimbang pemotongan anggaran.
Dari sisi ekonomi, pelebaran defisit dianggap mendukung target pertumbuhan 5,4% pada 2026. Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyebut belanja RAPBN 2026 tetap pro-pertumbuhan, dengan fokus pada ketahanan pangan, energi, pendidikan, dan kesehatan. “Jika eksekusi program tepat sasaran, efek pengganda pada konsumsi dan investasi dapat menutupi sebagian pelebaran defisit,” katanya. Pasar keuangan domestik diperkirakan mampu menyerap tambahan utang Rp50 triliun, didukung cadangan devisa yang kuat dan kebijakan stabilisasi Bank Indonesia.
Injeksi Likuiditas Rp 200 Triliun: Peluang dan Tantangan UMKM Mengakses Pembiayaan
Kenaikan TKD ini juga menyoroti tantangan desentralisasi fiskal di Indonesia. Menurut Kementerian Dalam Negeri, 39% provinsi dan 98% kabupaten memiliki kapasitas fiskal lemah, membuat mereka rentan terhadap pengurangan transfer. Untuk mengatasi hal ini, Kementerian telah merancang skema distribusi TKD yang mempertimbangkan variasi kapasitas fiskal, memberikan dukungan lebih besar kepada daerah dengan pendapatan asli daerah (PAD) rendah. Namun, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di beberapa daerah, seperti di Pati, Jawa Tengah, menimbulkan ketidakpuasan publik, mendorong Kementerian untuk mengeluarkan pedoman sosialisasi dan pertimbangan kondisi sosial ekonomi sebelum menaikkan pajak.
Secara keseluruhan, revisi RAPBN 2026 menunjukkan komitmen pemerintah untuk menyeimbangkan prioritas nasional dengan kebutuhan daerah, sambil menjaga disiplin fiskal. Keberhasilan kebijakan ini akan bergantung pada implementasi yang efektif, peningkatan kapasitas daerah, dan pengawasan ketat terhadap tata kelola anggaran. By Mukroni
Injeksi Likuiditas Rp 200 Triliun: Peluang dan Tantangan UMKM Mengakses Pembiayaan
Analisis Penyuntikan Dana Rp 200 Triliun: Program Strategis dan Implikasi Ekonomi
Harga Pangan Meroket di Malang: Ada Tangan Tak Terlihat di Balik Krisis?
Hapus Premium, Naikkan HET: Kebijakan Gila yang Bikin Petani Miskin, Rakyat Lapar!
Beras Bukan Segalanya: Mengguncang Ketergantungan Pangan Indonesia Menuju Sagu dan Sorgum!
Aliansi Ekonom Indonesia Serukan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
RUU Komoditas Strategis: Solusi Jitu atau Sekadar Janji untuk Petani?
Swasembada Beras 2025: Kemenangan di Gudang, Penderitaan di Meja Makan?
Beras Melambung, Ekonomi Merosot: Mengungkap Paradoks Inflasi di Tengah Deflasi Nasional
Distribusi Beras Murah di Jawa Barat: Janji Manis Pemerintah vs Kekecewaan Warga
Paradoks SPHP: Beras Berlimpah, Harga Melambung, Distribusi Ambruk ?
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?

