• Sen. Agu 4th, 2025

KowantaraNews

Kowantara News: Berita tajam, warteg jaya, UMKM tak terjajah!

Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!

ByAdmin

Agu 4, 2025
Ilustrasi dari harga pangan yang masih tinggi. Gambar IA Kowantaranews.com
Sharing is caring

Jakarta, Kowantaranews.com – Pasar pangan Indonesia sedang didera krisis kepercayaan akibat maraknya praktik oplosan beras dan gula yang mengancam konsumen dan petani. Investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) pada Juni 2025 mengungkap fakta mencengangkan: 212 dari 268 merek beras yang beredar melanggar Standar Nasional Indonesia (SNI), terutama karena kadar beras patah melebihi batas (25% untuk beras medium, 15% untuk premium). Modusnya? Beras reject yang seharusnya untuk pakan ternak dicampur dengan beras medium atau premium, bahkan dikemas ulang sebagai produk Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Bulog. Kasus ini terdeteksi di Riau dan Kalimantan Timur, dengan merek ternama seperti Sania (PT PIM), Jelita (Toko SY), dan Setra Ramos (PT FS) terseret dalam skandal ini.
Tidak hanya beras, gula juga menjadi sasaran mafia pangan. Sebanyak 51.634 ton gula petani di Jawa menumpuk di gudang karena pedagang enggan mengikuti lelang. Penyebabnya adalah banjirnya gula rafinasi dan impor ilegal, seperti dari Malaysia, yang dioplos dengan gula kristal putih dan dijual dengan harga jauh lebih murah. Di Banyumas, Jawa Tengah, sebuah pabrik oplosan memproduksi 300–500 ton gula per bulan sejak 2018, menggunakan karung merek “Raja Gula” milik ID Food. Praktik ini merugikan petani, yang harga gulanya (Rp14.500/kg) tak mampu bersaing dengan gula oplosan.

Akar Masalah: Motif Ekonomi dan Kebijakan Lemah

Praktik oplosan ini didorong oleh motif ekonomi. Produsen nakal mencampur bahan baku murah untuk meraup keuntungan besar, menjual produk di bawah standar dengan harga premium. Namun, kebijakan pemerintah juga turut memperparah situasi. Untuk beras, kebijakan pembelian gabah “any quality” seharga Rp6.500/kg tanpa standar mutu justru meningkatkan biaya produksi, mendorong pelaku usaha menjual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Rencana penghapusan klasifikasi beras medium dan premium juga menuai kritik karena berpotensi menurunkan kualitas dan membingungkan konsumen.Di sisi gula, lemahnya pengawasan distribusi membuat gula rafinasi untuk industri bocor ke pasar konsumsi. Impor ilegal gula semakin memperburuk daya saing gula petani, yang terjebak dalam harga acuan tinggi dan distribusi tak terkontrol. Akibatnya, konsumen membayar mahal untuk produk oplosan, sementara petani merana karena hasil panen tak terserap.

Dampak: Konsumen Tertipu, Petani Terpuruk

Dampaknya sangat nyata. Konsumen dirugikan karena mendapatkan produk di bawah standar dengan harga premium. Petani, yang menjadi tulang punggung pangan nasional, kehilangan pasar karena produk oplosan membanjiri pasar dengan harga murah. Program pemerintah seperti SPHP dan HET pun gagal menstabilkan harga akibat manipulasi yang dilakukan pelaku usaha nakal.

Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah

Upaya Penanganan dan Solusi

Pihak berwenang mulai bertindak. Satgas Pangan Polri menetapkan tiga tersangka dari PT FS terkait beras oplosan, dan penggerebekan dilakukan di pabrik gula oplosan Banyumas. Namun, kebijakan seperti penghapusan klasifikasi beras dan pembelian gabah tanpa standar mutu dinilai kontraproduktif. Para pakar menyarankan pemerintah mempertahankan klasifikasi mutu beras, memperketat pengawasan SNI, dan menyesuaikan HET agar sesuai biaya produksi. Untuk gula, percepatan serapan gula petani melalui cadangan pemerintah oleh BUMN serta pengawasan ketat terhadap gula rafinasi dan impor ilegal menjadi langkah krusial.Reformasi sistemik juga mendesak. Kolaborasi antara Kementan, Bulog, dan aparat penegak hukum harus diperkuat, disertai sanksi tegas seperti pencabutan izin usaha bagi pelaku oplosan. Edukasi konsumen untuk memilih produk berlabel SNI juga perlu digencarkan agar masyarakat lebih cerdas dalam berbelanja.
Lawan Mafia Pangan!

Skandal oplosan beras dan gula adalah cerminan lemahnya pengawasan dan kebijakan pangan yang tidak menyeluruh. Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah harus menyesuaikan kebijakan harga, memberantas mafia distribusi dan impor ilegal, serta melibatkan masyarakat dalam menjaga kualitas pangan. Tanpa langkah tegas, mafia pangan akan terus menggila, merugikan konsumen, dan mematikan petani. Saatnya Indonesia melawan demi pangan yang aman dan bermartabat! By Mukroni

  • Berita Terkait :

Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah

Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!

Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!

Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!

Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!

Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau

Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?

Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?

Benarkah Industri Padat Karya Indonesia di Ujung Tanduk? Kontraksi Tenaga Kerja Ancam Masa Depan Ekonomi !

Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?

Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!

Benarkah Rupiah Tertekan ? : BI Pangkas Suku Bunga, Trump Sulut Ketidakpastian Global!

Antrean Panjang Pencari Kerja: Indonesia di Ambang Krisis Ekonomi dan Ketenagakerjaan

 Tarif 19% AS: Ancaman atau Peluang bagi Ekspor Indonesia?

Tarif 19% Trump: Indonesia Bayar Mahal, AS Raup Untung?

Indonesia di Ambang Resesi: Keyakinan Konsumen Rontok, Ekonomi Terpuruk ?

Kredit Perbankan Anjlok, Daya Beli Ambruk: Benarkah Masyarakat Beralih ke Gym demi Kesehatan?

Optimisme Ekonomi Indonesia 2025: Masih Bertahan atau Mulai Runtuh?

Swasembada Pangan 2026: Anggaran Membengkak, Target Berantakan, Harga Pangan Masih Melambung?

Tarif AS 32% Ancam Jutaan Pekerja Indonesia: Bisakah Insentif Selamatkan Industri Padat Karya?

Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?

8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!

Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop

Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!

IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!

Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!

Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!

Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!

Indonesia-Rusia Kolplay Digital: 5G Ngegas, Warteg Go Online, Tapi Awas Jangan Kejebak Vodka Virtual!

Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!

Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!

TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!

Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!

Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!

Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?

Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!

Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!

Bank Dunia Bikin Panik: 194 Juta Orang Indonesia Jadi ‘Miskin’, Warteg Jadi Penutup atau Penutup Dompet?

Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!

Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!

Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *