Jakarta, Kowantaranews.com — Harga sejumlah komoditas pangan di Malang, Jawa Timur, terus merangkak naik dalam beberapa pekan terakhir, memicu kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat. Kenaikan harga yang signifikan terjadi pada komoditas vital seperti daging ayam, cabai rawit, dan cabai keriting. Kondisi ini menuntut langkah mitigasi yang cepat dan tepat dari pemerintah untuk mencegah krisis yang lebih parah.
Data terbaru menunjukkan harga daging ayam di Malang melonjak drastis. Pada awal September 2025, harga daging ayam masih berada di kisaran Rp 34.000 per kilogram (kg). Namun, pada Senin (8/9/2025), harga naik menjadi Rp 36.000 per kg, dan pada Jumat (12/9/2025), harganya mencapai Rp 38.000 per kg. Kenaikan ini, menurut Brian (35), pedagang di Pasar Lowokwaru, disebabkan oleh kelangkaan pasokan ayam. “Katanya, pasokan ayamnya langka. Sekarang banyak pedagang tidak dapat jatah ayam,” ujarnya, Jumat. Brian khawatir kenaikan harga ini akan membuat pelanggannya beralih ke alternatif lain, mengancam pendapatannya.
Tidak hanya daging ayam, harga cabai rawit dan cabai keriting juga terus meningkat. Pada awal pekan, harga cabai rawit berada di Rp 30.000 per kg, namun pada Jumat (12/9/2025), harganya melonjak menjadi Rp 32.000 per kg, dengan kenaikan Rp 1.000 per hari sejak Selasa. Kondisi ini berbeda jauh dibandingkan awal September, ketika harga cabai rawit dan keriting masih di bawah Rp 30.000 per kg. Kenaikan harga yang cepat ini menimbulkan keresahan di kalangan pedagang dan konsumen.
Dosen Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang, Yunan Syaifullah, menyebut fenomena ini sebagai anomali ekonomi. “Tidak ada laporan pengurangan stok secara drastis. Daya beli masyarakat juga disebut tidak tinggi. Namun, harga komoditas justru naik. Ini tidak sesuai hukum ekonomi,” ungkapnya. Menurut Yunan, kenaikan harga seharusnya terjadi jika pasokan menurun dan permintaan tinggi, tetapi kondisi saat ini menunjukkan adanya faktor lain. Ia menduga ada “invisible hand” atau intervensi pihak tertentu yang memanipulasi harga untuk tujuan tertentu, meski belum jelas apakah ini terkait situasi politik atau motif lain.
Yunan memperingatkan bahwa kenaikan harga yang berkepanjangan dapat memicu dampak serius, termasuk krisis ekonomi. “Semua pihak harus waspada agar ini tidak memengaruhi kondisi sosial-ekonomi masyarakat dalam jangka panjang. Jika sampai terjadi, krisis ekonomi parah bisa menjadi kenyataan,” tegasnya. Ia menyoroti pentingnya langkah mitigasi untuk mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas ekonomi.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah berupaya menekan harga melalui pasar murah di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Di Kecamatan Taman, Sidoarjo, misalnya, beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dijual Rp 11.000 per kg, beras premium Rp 14.000 per kg, gula pasir Rp 14.000 per kg, dan telur ayam Rp 22.000 per kg—lebih murah Rp 1.000–3.000 per kg dibandingkan harga pasar. Namun, upaya ini belum mampu meningkatkan daya beli masyarakat secara signifikan.
Hapus Premium, Naikkan HET: Kebijakan Gila yang Bikin Petani Miskin, Rakyat Lapar!
Yunan menekankan bahwa selain mengendalikan harga, pemerintah perlu fokus meningkatkan pendapatan masyarakat untuk memperkuat daya beli. Tanpa langkah serius, inflasi yang tidak terkendali dapat mengguncang perekonomian nasional. “Yang terpenting adalah meningkatkan pendapatan masyarakat agar mereka mampu menghadapi kenaikan harga,” katanya.
Sementara itu, di tengah krisis harga pangan, berita lain menyebutkan banjir di Bali telah merenggut 17 nyawa, meski genangan mulai surut dan akses jalan perlahan pulih. Situasi ini menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini. Pemerintah dan pemangku kepentingan harus segera bertindak untuk mencegah dampak yang lebih luas dari kenaikan harga pangan ini. By Mukroni
Hapus Premium, Naikkan HET: Kebijakan Gila yang Bikin Petani Miskin, Rakyat Lapar!
Beras Bukan Segalanya: Mengguncang Ketergantungan Pangan Indonesia Menuju Sagu dan Sorgum!
Aliansi Ekonom Indonesia Serukan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
RUU Komoditas Strategis: Solusi Jitu atau Sekadar Janji untuk Petani?
Swasembada Beras 2025: Kemenangan di Gudang, Penderitaan di Meja Makan?
Beras Melambung, Ekonomi Merosot: Mengungkap Paradoks Inflasi di Tengah Deflasi Nasional
Distribusi Beras Murah di Jawa Barat: Janji Manis Pemerintah vs Kekecewaan Warga
Paradoks SPHP: Beras Berlimpah, Harga Melambung, Distribusi Ambruk ?
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?