Jakarta, Kowantaranews.com – Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan serius di sektor beras yang mengancam stabilitas pangan nasional. Harga beras terus melonjak melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, sementara musim paceklik yang diperkirakan melanda November 2025 hingga Januari 2026 mengintai, membawa potensi krisis pasokan. Dengan disparitas harga antar daerah yang mencolok, kebijakan yang tidak jelas, dan tantangan struktural, pemerintah berada di ujung tanduk untuk menjaga keseimbangan antara kesejahteraan petani, perlindungan konsumen, dan stabilitas pasar.
Harga Beras Meroket, Konsumen Tertekan
Berdasarkan data terkini, harga beras medium nasional pada September 2025 mencapai Rp 13.837 per kg, melampaui HET sebesar Rp 13.500 per kg (+2,5%). Beras premium bahkan lebih tinggi, menyentuh Rp 15.960 per kg, atau 7,1% di atas HET Rp 14.900 per kg. Situasi ini diperparah oleh disparitas regional yang signifikan. Di Kalimantan Timur, misalnya, harga beras medium mencapai Rp 15.528 per kg (+10,91%) dan beras premium Rp 17.590 per kg (+14,22%). Kenaikan harga ini memberatkan konsumen, terutama keluarga berpenghasilan rendah, yang bergantung pada beras sebagai kebutuhan pokok.
Surplus Sementara, Ancaman Musim Paceklik
Meskipun produksi beras periode Januari-September 2025 mencapai 28,22 juta ton dengan konsumsi 23,21 juta ton, menghasilkan surplus 5,01 juta ton, ancaman musim paceklik membayangi. Periode tanam pertama (Oktober 2025-Februari 2026) secara historis menyebabkan penurunan produksi, yang dapat memicu lonjakan harga lebih lanjut. Dengan konsumsi bulanan rata-rata 2,5 juta ton, cadangan beras pemerintah (CBP) yang ditargetkan mencapai 3 juta ton pada akhir 2025 hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sedikit lebih dari sebulan. Badan Pangan Nasional (Bapanas) berupaya meningkatkan cadangan sebesar 60% dari 1,8 juta ton pada 2024, tetapi pengelolaan stok yang cermat menjadi kunci untuk menghindari kekurangan pasokan.
Intervensi Pasar Terhambat
Pemerintah melalui Bulog telah mendistribusikan 192.400 ton beras SPHP hingga Agustus 2025, namun ini hanya 12,8% dari target 1,5 juta ton. Sementara itu, distribusi bantuan pangan mencapai 300.300 ton (82,15% dari target 365.500 ton) untuk 18,3 juta keluarga berpenghasilan rendah. Namun, Bulog hanya mengendalikan 8% dari stok beras nasional (4 juta ton), membatasi efektivitas intervensi pasar. Koordinasi yang lemah antara Bulog, pemerintah daerah, dan pelaku pasar juga menghambat distribusi yang merata.
Tantangan Struktural dan Kebijakan
Ketidakpastian kebijakan memperburuk situasi. Rencana mengganti kategori beras medium dan premium dengan “reguler” dan “spesial” masih kabur, menciptakan kebingungan di kalangan pelaku usaha. Kenaikan HET beras medium tanpa penyesuaian HET beras premium juga mendorong penurunan produksi beras premium, mengurangi keragaman pasokan. Lebih mengkhawatirkan, 212 dari 268 merek beras yang diperiksa tidak memenuhi standar kualitas, dengan kadar butir patah mencapai 30-50%, memicu tindakan hukum dari pemerintah.
Petani dan Penggiling Kecil Terancam
Keterbatasan gabah pasca-panen memicu persaingan ketat, menguntungkan penggilingan besar yang mampu membeli dengan harga lebih tinggi. Ini mengancam penggilingan kecil dan menengah, yang merupakan lebih dari 90% dari 169.000 penggilingan di Indonesia. Standar kualitas baru (maksimum butir patah 12,5-15% untuk beras reguler) juga sulit dipenuhi penggilingan kecil. Petani pun tertekan oleh arahan menanam varietas tertentu, yang bertentangan dengan jadwal tanam dan keterbatasan sumber daya mereka.
Pemerintah Tambah Dana Transfer Daerah Rp43 Triliun di RAPBN 2026, Defisit Melebar ke 2,68% PDB
Solusi dan Harapan ke Depan
Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang jelas terkait klasifikasi beras, HET, dan standar kualitas. Koordinasi yang lebih baik antara Bapanas, Bulog, dan pemerintah daerah sangat penting untuk distribusi yang efisien. HET harus realistis, mencerminkan biaya produksi dan mendukung kesejahteraan petani. Pengawasan ketat terhadap pelanggaran kualitas dan kemasan juga diperlukan untuk melindungi konsumen. Dukungan bagi penggiling kecil dan petani, seperti subsidi atau akses ke teknologi modern, dapat meningkatkan daya saing mereka.
Sektor beras Indonesia berada di persimpangan kritis. Meskipun surplus sementara memberikan harapan, musim paceklik dan tantangan struktural mengancam stabilitas pangan. Keberhasilan pemerintah dalam menjaga cadangan, memperkuat intervensi pasar, dan menyelesaikan ketidakpastian kebijakan akan menentukan apakah Indonesia dapat menjaga harga beras yang terjangkau dan pasokan yang stabil pada 2026, sekaligus melindungi konsumen rentan dan petani kecil. By Mukroni
Pemerintah Tambah Dana Transfer Daerah Rp43 Triliun di RAPBN 2026, Defisit Melebar ke 2,68% PDB
Injeksi Likuiditas Rp 200 Triliun: Peluang dan Tantangan UMKM Mengakses Pembiayaan
Analisis Penyuntikan Dana Rp 200 Triliun: Program Strategis dan Implikasi Ekonomi
Harga Pangan Meroket di Malang: Ada Tangan Tak Terlihat di Balik Krisis?
Hapus Premium, Naikkan HET: Kebijakan Gila yang Bikin Petani Miskin, Rakyat Lapar!
Beras Bukan Segalanya: Mengguncang Ketergantungan Pangan Indonesia Menuju Sagu dan Sorgum!
Aliansi Ekonom Indonesia Serukan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
RUU Komoditas Strategis: Solusi Jitu atau Sekadar Janji untuk Petani?
Swasembada Beras 2025: Kemenangan di Gudang, Penderitaan di Meja Makan?
Beras Melambung, Ekonomi Merosot: Mengungkap Paradoks Inflasi di Tengah Deflasi Nasional
Distribusi Beras Murah di Jawa Barat: Janji Manis Pemerintah vs Kekecewaan Warga
Paradoks SPHP: Beras Berlimpah, Harga Melambung, Distribusi Ambruk ?
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?