Jakarta, Kowantaranews.com -Di tengah melonjaknya harga beras yang mencapai Rp15.000-Rp18.000 per kilogram di pasar-pasar Indonesia pada awal 2025, petani kecil yang seharusnya menjadi tulang punggung produksi pangan nasional justru terjebak dalam situasi paradoks. Meski berstatus sebagai produsen beras, banyak di antara mereka menjadi net consumer, alias konsumen beras bersih. Hasil panen yang mereka peroleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, memaksa mereka membeli beras di pasar dengan harga yang sama tingginya seperti konsumen biasa. Fenomena ini mencerminkan masalah struktural dalam sistem agraria dan ekonomi pertanian Indonesia yang telah lama membelit petani kecil.
Salah satu kisah nyata datang dari Taryana, seorang petani gurem di Indramayu, Jawa Barat. Dengan lahan sewa seluas 0,4 hektar, Taryana hanya mampu menghasilkan sekitar 2 ton gabah per musim. Setelah panen, ia terpaksa menjual seluruh hasilnya untuk membayar sewa lahan musim berikutnya dan melunasi utang musim sebelumnya. “Kalau tidak dijual cepat, saya khawatir tidak bisa nyewa lahan lagi,” ungkapnya. Akibatnya, untuk kebutuhan pangan keluarganya, Taryana harus membeli beras di pasar dengan harga yang terus meroket. Situasi serupa dialami Subianto di Karawang, yang hasil panennya sebagian besar digunakan untuk biaya pendidikan anak dan kebutuhan mendesak seperti pengobatan, meninggalkan sedikit atau bahkan tidak ada cadangan beras untuk keluarga.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa 60,84% atau sekitar 16,89 juta rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem yang mengelola lahan kurang dari 0,5 hektar. Dengan luas lahan yang terbatas, produksi mereka sering kali hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, tanpa surplus signifikan untuk disimpan atau dijual. Ketika musim tanam terganggu oleh perubahan iklim—seperti kekeringan atau banjir yang menyebabkan gagal panen (puso)—petani kecil langsung kehilangan sumber pendapatan dan cadangan pangan. Satu kali gagal panen bisa berarti nol penghasilan, mendorong mereka untuk berutang atau membeli beras dengan harga pasar yang mahal.
Selain itu, kebijakan pasar dan impor beras turut memperumit situasi. Meskipun impor beras dimaksudkan untuk menstabilkan harga, petani kecil sering kali khawatir harga gabah akan anjlok akibat masuknya beras impor. Kekhawatiran ini mendorong mereka untuk menjual gabah secepat mungkin, meskipun harga beras di pasar tetap tinggi. Rantai pasok yang dikuasai tengkulak juga membuat petani kecil sulit mendapatkan harga jual yang adil. “Kami jual gabah Rp5.000 per kilo, tapi beras di pasar bisa Rp15.000. Keuntungannya ke mana?” keluh Subianto.
Petani Jawa Barat Gembira Harga Gabah Tinggi, Penggilingan Padi Terjepit Margin Tipis
Solusi jangka panjang untuk masalah ini terletak pada pembenahan struktur agraria melalui reforma agraria yang nyata. Program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), misalnya, telah menunjukkan hasil positif di beberapa daerah seperti Jambi, di mana ribuan hektar lahan bekas HGU dialokasikan kepada petani tak bertanah. Namun, redistribusi lahan saja tidak cukup.
Petani baru membutuhkan pendampingan, akses modal murah, dan pelatihan teknologi pertanian untuk memastikan lahan mereka produktif. Contoh sukses di Sleman, Yogyakarta, menunjukkan bagaimana koperasi petani membantu anggotanya menjual hasil panen langsung ke pasar modern, meningkatkan pendapatan hingga 30%.Selain reforma agraria, regenerasi petani menjadi kunci. Program seperti “Petani Milenial” di Jawa Barat telah melatih lebih dari 5.000 anak muda untuk terjun ke sektor pertanian dengan pendekatan modern, seperti penggunaan drone pertanian dan pemasaran digital. Inisiatif ini tidak hanya mengatasi krisis regenerasi—di mana hanya 8% petani Indonesia berusia di bawah 35 tahun—tetapi juga membawa inovasi ke sektor yang sering dianggap ketinggalan zaman.
Mahalnya harga beras seharusnya menjadi peluang bagi petani kecil untuk meningkatkan kesejahteraan. Namun, tanpa perubahan struktural, mereka tetap menjadi korban dalam sistem yang tidak berpihak. Reforma agraria yang tulus, penguatan koperasi, digitalisasi pertanian, dan asuransi pertanian untuk melindungi dari risiko gagal panen adalah langkah-langkah sistemik yang mendesak. Hanya dengan kebijakan yang memosisikan petani kecil sebagai pelaku utama, bukan sekadar objek pasar, Indonesia dapat memutus siklus paradoks ini dan memastikan kesejahteraan bagi mereka yang menyokong pangan bangsa. By Mukroni
Petani Jawa Barat Gembira Harga Gabah Tinggi, Penggilingan Padi Terjepit Margin Tipis
Krisis Beras Mengintai: Harga Melonjak, Musim Paceklik Ancam Indonesia!
Pemerintah Tambah Dana Transfer Daerah Rp43 Triliun di RAPBN 2026, Defisit Melebar ke 2,68% PDB
Injeksi Likuiditas Rp 200 Triliun: Peluang dan Tantangan UMKM Mengakses Pembiayaan
Analisis Penyuntikan Dana Rp 200 Triliun: Program Strategis dan Implikasi Ekonomi
Harga Pangan Meroket di Malang: Ada Tangan Tak Terlihat di Balik Krisis?
Hapus Premium, Naikkan HET: Kebijakan Gila yang Bikin Petani Miskin, Rakyat Lapar!
Beras Bukan Segalanya: Mengguncang Ketergantungan Pangan Indonesia Menuju Sagu dan Sorgum!
Aliansi Ekonom Indonesia Serukan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
RUU Komoditas Strategis: Solusi Jitu atau Sekadar Janji untuk Petani?
Swasembada Beras 2025: Kemenangan di Gudang, Penderitaan di Meja Makan?
Beras Melambung, Ekonomi Merosot: Mengungkap Paradoks Inflasi di Tengah Deflasi Nasional
Distribusi Beras Murah di Jawa Barat: Janji Manis Pemerintah vs Kekecewaan Warga
Paradoks SPHP: Beras Berlimpah, Harga Melambung, Distribusi Ambruk ?
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?