Jakarta, Kowantaranews.com –Universitas Paramadina dan Paramadina Public Policy Institute menyelenggarakan Paramadina Democracy Forum Seri ke-8 pada hari Rabu, 15 Maret 2023 dengan pembicara :
1.Wijayanto Samirin, MPP (Ahli Kebijakan Publik dan Dosen Universitas Paramadina)
2. Alvin Nicola (Peneliti Transparency International Indonesia)
3.Ahmad Khoirul Umam, Ph.D. (Managing Director of Paramadina Public Policy Institute)
Moderator:
Miskha Husen, M.M. (Peneliti Paramadina Public Policy Institute)
Dr Wijayanto Samirin, MPP
1.Keadaan Indonesia, diibaratkan sebuah mobil yang sangat besar dengan 275 juta penumpang, dan perlu sekali perawatan aspek demokrasi, tatanan hukum, ekonomi agar kendaraan itu bisa membawa penumpangnya ke arah kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika tidak ada perawatan, maka bisa jadi mobil itu akan menjadi rongsokan mantan mobil.
2.Negara yang kita cintai bisa berubah menjadi negara rongsokan, apabila segala aspek tentang perawatan mesin dan alat-alatnya tidak pernah dirawat sama sekali. Penumpangnya akan mulai merasakan ketidaknyamanan, ketidakdilan dan lain-lain hal negatif yang membuat negara itu menjadi negara yang tidak lagi mempunyai legitimasi moral untuk mensejahterakan rakyatnya dengan adil. Para akademisi menyebutnya sebagai Negara Gagal.
3. Permasalahan di berbagai lembaga negara saat ini seperti Kepolisian, lembaga-lembaga hukum (peradilan, kejaksaan, Mahkamah Agung), dan terakhir di lembaga keuangan seperti Ditjen Pajak, bersamaan dengan situasi di mana utang Indonesia telah demikian menggelembung hingga menyentuh angka Rp7,700 triliun. Setiap tahun harus dibayar bunga Rp430 triliun atau 13% dari APBN. Kita juga harus membayar pokok sekitar Rp700-800 triliun per tahun. Itu 25% dari APBN. Jika dicombine saving the depth maka kita akan mengeluarkan 38% dari APBN. Tapi karena kita tidak punya uang maka kita tidak pernah membayar utang dan selalu direcycle. Kita membayar bunga dengan utang baru.
4.Kalau situasi itu berlangsung maka Indonesia bisa disebut akan berjalan dalam timbunan utang. Kita hanya akan hidup dengan saving the creditor. Masalahnya untuk keluar dari situasi itu kita perlu pendapatan negara yang memadai. Tetapi timbul masalah pada insitusi terkait pendapatan negara yakni ditjen Pajak sesuatu yang sangat buruk terjadi di mana seorang eselon 3 punya 40 akun dan total nilainya Rp500 miliar, dengan perkiraan total asset Rp2,5 triliun. Tapi berapapaun angkanya akan sangat menentukan, karena ada berapa ratus eselon 3 di lembaga itu, berapa puluh eselon 2 dan berapa orang eselon 1 di lembaga itu. Tingkat kepercayaan kepada lembaga negara praktis jatuh di mata warga masyarakat.
5. Warga masyarakat yang selama ini merasa harus patuh dan dikejar-kejar untuk membayar pajak, dan kemudian mengetahui ada masalah besar di lembaga pajak negara hal mana uang pajak yang dikumpulkan oleh petugas penarik pajak ternyata ada oknum yang menyelewengkannya dengan jumlah yang fantastis, maka tidak usah heran jika timbul suara-suara untuk menunda pembayaran pajak.
6. Jika seruan menunda pembayaran pajak dari warga negara terus bergema, maka jelas situasi fiskal negara yang sedang memburuk akan semakin mengkhawatirkan. Terjadinya Negara Gagal (Failed State) harus diantisipasi dengan serius. Sayangnya, Kemenkeu menerima situasi itu dengan sangat defensif. Seharusnya hal-hal itu direspon lanjut dengan kolaborasi dengan para pihak. Karena permasalahan indikasi korupsi di Pajak/Kemenkeu jelas di atas kapasitas para pengelola Keuangan negara.
7. Kolaborasi dengan para pihak jelas diperlukan karena dihadapi para pemungut pajak/kemenkeu bukan hanya jika ingin memperbaiki angka penerimaan pajak negara, maka yang didisiplinkan bukan hanya supply side, para pegawai pajak, tapi juga dari sisi demand side yakni para pengusaha besar, oligarki, tokoh berpengaruh. Itu semua di luar kapasitas dari para pegawai pajak/kemenkeu, karenanya kolaborasi para pihak mutlak diperlukan untuk mencapai solusi.
8.Solusi standar pada situasi seperti itu yakni Pertama, Penegakan hukum, Pendekatan insentif, dan Pendekatan Budaya. Penegakan hukum, tentu sangat rumit di Indonesia. Kedua, Pendekatan insentif sudah dicoba tapi ternyata tidak cukup. Para petugas pajak/bea cukai/keuangan incomenya telah lebih tinggi dari ASN lainnya. Tunjangan Kinerja para petugas telah di atas 100 %. Kementerian lain masih 70%. Jadi rasa ketidakadilan tidak hanya dirasakan warga biasa, tapi juga para ASN.
9.Pada Pendekatan Budaya, maka di tengah masyarakat kita yang masih terjangkit budaya feudal di mana melihat pada contoh budaya/perilaku para atasan, maka seharusnya penerapan hidup sederhana dilakukan dengan konsisten. Tetapi di situlah masalahnya. Banyak para pimpinan lembaga terlebih di lembaga keuangan/pajak/beacukai tidak sanggup mengelola perilaku pribadi dan keluarganya yang ternyata masih mempraktikkan pola hidup mewah. Dari cara berpakaian, aksesoris, dan pesta-pesta keluarga.
Baca juga : Pedagang Putu Brebes Juga Setuju RUU Perampasan Aset Segera Diundangkan
Baca juga : Pedagang Warteg Brebes Setuju RUU Perampasan Aset Segera Diundangkan
Baca juga : Uang Rp. 1 Miliar Disita KPK di Gedung DPRD Jawa Timur
Alvin Nicola (Transparansi Internasional Indonesia)
1.Problem percepatan pembenahan persoalan di birokrasi bagai mengupas bawang yang punya berlapis-lapis kulit. Di permukaan nampak sederhana tetapi ketika dibuka maka semakin ke dalam dia akan menemukan lapisan-lapisan persoalan berikutnya. Maka dari itu pendekatan bukan lagi pada laju reform yang agak lambat, tetap harus dibedah secara sistemik.
2. Berkaca pada skor indeks persepsi korupsi di Indonesia yang memburuk belakangan, mencerminkan upaya reformasi birokrasi banyak menemukan tantangan. Namun tanggapan pemerintah untuk menanggapi hasil menurunnya skor CPI Indonesia juga bukan atas apa inti persoalan sebenarnya.
3. Upaya-upaya debirokratisasi, digitalisasi dan deregulasi yang selama ini digaungkan ternyata tidak menyelesaikan banyak hal. Penurunan skor CPI Indonesia bersamaan dengan semakin langgengnya intervensi politik dalam birokrasi. itu kemudian memunculkan inconfidence dari para pelaku usaha yang melihat bahwa birokrasi Indonesia masih “Red Type” misalnya dalam perizinan usaha dan pengadaan barang dan jasa yang menimbulkan banyak tantangan yang berdimensi banyak bagi para pelaku usaha ataupun warga masyarakat sebagai penikmat layanan publik sehari-hari.
4. Jika bicara CPI ada 3 pilar yang memotret kebijakan anti korupsi di 180 negara yakni Inegritas Bisnis, Integritas Penegakan Hukum dan Integritas Politik. Tapi di Indonesia 2 pilar Integritas Penegakan Hukum dan Integritas Politik masih menjadi masalah besar. Banyak upaya reformasi birokrasi, tapi lagi-lagi tidak banyak menyentuh akar masalah sebenarnya.
5. Contoh Perpres 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, secara permukaan terdapat ihwal pendanaan parpol dan integritas aparat penegakan hukum. Tapi jika ditelaah lebih dalam maka ada hal-hal yang di luar ring masalahnya sendiri yang bicara tentang remunerasi, standar etik, adminstrasi dan lain-lain yang tidak menyentuh masalah utama.
Baca juga : Ada Apa ? KPK Menggeledah Kantor Gubernur Jawa Timur
Baca juga : Wakil Ketua KPK Khawatir Sebut Korupsi Menjadi Budaya di Indonesia
Baca juga : JPU KPK Dakwa Mardani Maming Terima Suap Rp118 Miliar Dari Izin Tambang
4.Upaya pendekatan digitalisasi dan debirokratisasi memang penting, seperti OSS untuk perizinan,INSP untuk kuota perdagangan dan STID untuk sistem di pelabuhan, namun apakah sistem satu pintu itu bisa menutup jendela-jendela yang telah terbuka lebar. Upayanya masih di level administratif dan bukan Red Type. Ada korupsi ketika mengakses layanan, SIM, passport, yang di beberapa daerah sudah membaik, tapi tetap tidak menyentuh soal korupsi politik yang berada di lingkar inti, dan korupsi besar yang ada di lingkar ke 2.
5. Birokrasi kita saat ini memang di design untuk mempunyai banyak aturan dengan tradisi Weberian, tapi saat bersamaan dia tidak cukup mampu menjawab problem utama yaitu Konflik Kepentingan itu sendiri.
6. Itu juga tercermin dari kualitas pertama, “beaurocracy effectiveness”, banyak indeks dan riset menyatakan standar etik belum cukup ditegakkan dan level penegakan hukum juga tidak terlalu berjalan.
7. Kedua, soal netralitas ASN. Di satu sisi memang ada upaya debirokratisasi, kelembagaan semakin gemuk meski banyak rangkap jabatan. tapi konteksnya adalah Red Type dalam budaya birokrasi kita yang luarbiasa korup juga berdampak pada para pengakses layanan yang mestinya gratis, cepat dan aksesible, tapi ternyata menjadi terhambat. Dan saat bersamaan juga menyentuk aspek memperkaya diri. Banyaknya pelanggaran terhadap netralitas ASN pada tahun depan juga menjadi tantangan bahwa ASN kita betul-betul netral dalam konteks electoral.
Baca juga : Kantor Kominfo Digeledah Kejagung Dugaan Kasus Korupsi BTS 4G
Baca juga : Sidang Kasus Pembunuhan Brigadir J Ditunda Sepekan, Ini Alasannya!
Baca juga : Jenderal Saling Buka Kartu, Mahfud MD Sebut Ada Perang Bintang di Polri
Ahmad Khoirul Umam, Ph.D.
1.Secara teoritis, konsep good governance adalah hadiah dari faham neoliberal yang diharapkan menjadikan proses demokrasi yang transparan dan akuntabel bisa menghadirkan sebuah tata kelola pemerintahan yang baik. Dari situ diharapkan bisa menghadirkan public delivery service yang juga memadai.
2.Problemnya, yang terjadi di banyak negara berkembang yang mengadopsi konsep good governance seringkali memang lebih banyak berhenti pada proses remunerasi. Minim inovasi dan minim aspke pengawasan.
3.Perspektif lain, birokrasi dianggap sebuah entitas yang bebas kepentingan. Tidak dipengaruhi oleh kekuatan politik dan interest lain. Tetapi, fakta menunjukkan di sejumlah negara berkembang di Afrika, latin Amerika dan Asia pada umumnnya menunjukan bahwa reforamsi birokrasi seringkali tidak efektif karena fokusnya adalah hanya pada urusan remunerasi dan kerja-kerja adminstratif yang kemudian tidak masuk secara substantif terhadap perilaku para elit dan pengawasan di dalamnya.
4. Akhirnya, jika good governance dalam konteks reformasi birokrasi hadir dalam bentuk digital services (OSS, INSP, STID) dan apa-apa yang disampaikan oleh pak LBP, sama sekali belum menjawab persoalan. Karena kunci reformasi birokrasi ada pada sumber daya manusianya, birokratnya dan bukan pada infrastruktur dasar dari birokrasi itu sendiri.
Baca juga : Gelar Sidang Terdakwa Bharada E, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Maruf, JPU Hadirkan 12 Saksi
Baca juga : Polisi Berhasil Menangkap Pelaku Pembunuhan Mahasiswa UNPAD
Baca juga : Polda Metro Jaya Akan Dalami Laporan GP Ansor DKI ke Faizal Assegaf Terkait Dugaan Kebencian Ketum PBNU
5. contoh dari hasil riset pribadi tentang bagaimana praktik korupsi dalam sektor infrastruktur yang peruntukannya sudah ditetapkan dalam electronic musrenbang. lagi-lagi rumusan electronic musrenbang itu bisa diselesaikan secara cepat dalam proses paripurna DPRD baik di tingkat kota atau kabupaten di level politik anggaran secara umum.
6. Critical appraisal terhadap reformasi birokrasi di Indonesia bukan semata-mata pada infrastruktur birokrasi, tapi pada komitmen integritas para pelaku reformasi birokrasi itu sendiri.
7. Terjadinya demoralisasi pada birokrasi memunculkan pertanyaan penting pada hal-hal yang dulu pernah dijanjikan oleh presiden Jokowi yaitu revolusi mental. Revolusi mental jika hanya dimaknai pada sebuah upaya untuk menghantam kekuatan-kekuatan tertentu yang tidak sesuai dengan narasai kepentingan kekuasaan, maka itu bukan revolusi mental.
8. Revolusi mental secara substansi tetap harus dihadirkan dalam konteks kebijakan publik, namun apakah “nyambung” kebijakan publik itu dengan layanan masyarakat yang diterima oleh masyarakat sehari-hari. Kalau tidak nyambung, maka kita lagi-lagi sedang bermain di ranah image semata. Karena kalau tidak hati-hati dan hanya menjaga image, maka akibatnya bisa seperti kasus di kemenkeu yang satu kementerian terkena hanya gara-gara perilaku anak-anak muda.
9. JIka demikian halnya, maka revolusi mental belum menunjukkan impact sekaligus proses real yang terjadi dalam ranah kebijakan publik dan public service di Indonesia. Ditambah lagi, pelemahan mesin anti korupsi saat ini senyatanya memfasilitasi terjadinya demoralisasi birokrasi dan pejabat publik. Artinya, ada zona nyaman yang kembali terbangun. Ada rasa tidak takut lagi dengan adanya kekuatan yang siap untjk mengcapture mereka. Kenapa? karena sel sel anti korupsi sudah secara efektif dikooptasi oleh kepentingan tertentu yang bisa dimanfaatkan untuk menghantam atau mengamankan pihak-pihak tertentu sesuai dengan selera kekuasaan yang ada.
10. Maka saat ini tidak heran jika approval rate lembaga KPK turun. fungsi pengawasan dari BPK juga ternyata mendapatkan intervensi politik yang begitu kuat untuk menyerang atau mengamankan pihak tertentu. Hal itu yang diantisipasi oleh teori neoliberal terkait konsep good governance. Ternyata konsep itu tidak bisa otomatis berjalan secara teknokratik dan profesional. Semuanya terkooptasi dalam aneka kepentingan, dinamika issue yang ada di sekitarnya. Revolusi mental hendaknya jangan berhenti pada saat kampanye saja. * Misq
Foto Dok Kowantaranews
- Berita Terkait :
Padagang Putu Brebes Juga Setuju RUU Perampasan Aset Segera Diundangkan
Pedagang Warteg Brebes Setuju RUU Perampasan Aset Segera Diundangkan
Uang Rp. 1 Miliar Disita KPK di Gedung DPRD Jawa Timur
Ada Apa ? KPK Menggeledah Kantor Gubernur Jawa Timur
Nikita Mirzani Emosional Membanting Mikrofon Di Sidang Pengadilan Negeri Serang
Wakil Ketua KPK Khawatir Sebut Korupsi Menjadi Budaya di Indonesia
Praktisi Hukum Sebut RKUHP Masih di Bawah Standar Hukum dan HAM
Penyelamatan Iklim Global, KPK Paparkan Pemidanaan Beneficial Ownership pada Korupsi
Sidang Kasus Pembunuhan Brigadir J Ditunda Sepekan, Ini Alasannya!
Ketua MA Lantik Ketua Muda Tata Usaha Negara
Polisi Berhasil Menangkap Pelaku Pembunuhan Mahasiswa UNPAD
JPU KPK Dakwa Mardani Maming Terima Suap Rp118 Miliar Dari Izin Tambang
Yasonna Laoly Sampaikan Hasil RKUHP Dengan Komisi III DPR RI Hari Ini
Kantor Kominfo Digeledah Kejagung Dugaan Kasus Korupsi BTS 4G
Jenderal Saling Buka Kartu, Mahfud MD Sebut Ada Perang Bintang di Polri
Gelar Sidang Terdakwa Bharada E, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Maruf, JPU Hadirkan 12 Saksi