Jakarta, Kowantaranews.com – Harga emas terus melonjak pada Oktober 2025, mencatatkan rekor baru di tengah ketidakpastian ekonomi dan geopolitik global. Berbeda dari pola historis, kenaikan ini tidak diikuti oleh kejatuhan pasar saham, memicu diskusi tentang peran emas: apakah benar-benar aset safe-haven atau sekadar lindung nilai (hedge) di masa sulit?Secara historis, emas selalu menjadi primadona saat krisis. Selama Great Depression, Krisis Finansial 2008, hingga pandemi Covid-19, logam mulia ini menjadi penyelamat bagi investor yang mencari stabilitas. Namun, pandangan legendaris Warren Buffett, yang menyebut emas sebagai aset “tidak produktif” karena tidak menghasilkan arus kas, kini diuji. Artikel terbaru menyoroti bahwa meskipun Buffett tak sepenuhnya keliru, emas tetap memiliki daya tarik unik di tengah gejolak.
Berbeda dari pola sebelumnya, kenaikan harga emas kali ini tidak dibarengi penurunan pasar saham. Indeks global seperti S&P 500 tetap bertahan di level tinggi. Joe Davis, ekonom dari Vanguard, menjelaskan bahwa investor kini memandang ekonomi dengan cara berbeda. Meski data ekonomi tampak stabil, ketidakpastian yang dalam—baik dari konflik geopolitik maupun kebijakan ekonomi—mendorong minat pada emas. “Investor merasakan risiko yang tidak terlihat di angka-angka,” ujar Davis.
Perubahan pandangan terhadap emas juga terlihat dari rekomendasi lembaga keuangan ternama. Morgan Stanley kini menyarankan alokasi portofolio 60% saham, 20% obligasi, dan 20% emas, sebuah langkah yang menunjukkan pengakuan terhadap peran emas sebagai aset strategis. Ray Dalio, pendiri Bridgewater Associates, bahkan merekomendasikan alokasi hingga 15% untuk emas, yang dianggapnya lebih aman dibandingkan Dolar AS di tengah ketidakpastian mata uang fiat.
Tanah untuk Elit, Petani Ditelantarkan: Mengapa Reforma Agraria Gagal Total?
Kenaikan harga emas didorong oleh beberapa faktor kunci. Pertama, bank sentral di negara seperti China, India, dan Turki telah membeli emas dalam jumlah besar, melebihi 1.000 ton per tahun sejak 2022. Pembelian ini bertujuan untuk mendiversifikasi cadangan devisa sebagai perlindungan dari sanksi ekonomi—seperti yang dialami Rusia pasca-invasi Ukraina—dan inflasi global. Kedua, permintaan emas fisik dari rumah tangga di India dan China tetap kuat, didorong oleh tradisi budaya yang memandang emas sebagai simbol kesejahteraan dan warisan. Ketiga, kebijakan Presiden AS Donald Trump, termasuk perang tarif dan ancaman government shutdown, telah menciptakan ketidakpastian yang memperkuat daya tarik emas sebagai safe-haven.
Proyeksi ke depan menunjukkan optimisme terhadap harga emas. Lembaga konsultan Metal Focus memprediksi harga emas bisa mencapai $5.000 per troy ounce pada 2026, sementara Goldman Sachs lebih konservatif dengan proyeksi $4.300. Namun, artikel ini juga menekankan sisi seimbang: emas memang tidak menciptakan kekayaan baru seperti saham atau bisnis riil, tetapi berfungsi sebagai pelindung nilai aset dari inflasi dan gejolak pasar.Dengan kata lain, emas tidak membuat investor kaya, tetapi mencegah mereka jatuh miskin. Untuk kekayaan jangka panjang, investasi disiplin di sektor riil tetap krusial. Namun, di tengah ketidakpastian yang kian kompleks, emas tetap menjadi pilar stabilitas bagi portofolio investor. By Mukroni
Tanah untuk Elit, Petani Ditelantarkan: Mengapa Reforma Agraria Gagal Total?
Petani Kecil: Produsen Beras, Tapi Korban Harga Tinggi
Pemerintah Tambah Dana Transfer Daerah Rp43 Triliun di RAPBN 2026, Defisit Melebar ke 2,68% PDB
Injeksi Likuiditas Rp 200 Triliun: Peluang dan Tantangan UMKM Mengakses Pembiayaan
Analisis Penyuntikan Dana Rp 200 Triliun: Program Strategis dan Implikasi Ekonomi
Harga Pangan Meroket di Malang: Ada Tangan Tak Terlihat di Balik Krisis?
Hapus Premium, Naikkan HET: Kebijakan Gila yang Bikin Petani Miskin, Rakyat Lapar!
Beras Bukan Segalanya: Mengguncang Ketergantungan Pangan Indonesia Menuju Sagu dan Sorgum!
Aliansi Ekonom Indonesia Serukan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
RUU Komoditas Strategis: Solusi Jitu atau Sekadar Janji untuk Petani?
Swasembada Beras 2025: Kemenangan di Gudang, Penderitaan di Meja Makan?
Beras Melambung, Ekonomi Merosot: Mengungkap Paradoks Inflasi di Tengah Deflasi Nasional
Distribusi Beras Murah di Jawa Barat: Janji Manis Pemerintah vs Kekecewaan Warga
Paradoks SPHP: Beras Berlimpah, Harga Melambung, Distribusi Ambruk ?
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?