Jakarta, Kowantaranews.com – Di tengah panen gadu yang seharusnya membawa kesejahteraan, petani padi di Indramayu, Jawa Barat, justru menangis darah. Tarsono, seorang petani berusia 52 tahun, menggelengkan kepala saat membahas kebijakan pemerintah terbaru soal beras. “Kami susah payah tanam varietas unggul untuk beras premium, tapi sekarang mau dihapus? HPP gabah naik jadi Rp6.500 per kg, tapi HET beras medium cuma naik ke Rp13.500/kg. Margin kami tipis, produksi premium nggak lagi menguntungkan. Ini kebijakan gila, bikin petani miskin, rakyat lapar!” keluhnya di sawah yang mulai menguning.
Kebijakan ini, yang digaungkan Kementerian Pertanian dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) sejak Juli lalu, berencana menghapus klasifikasi beras medium dan premium. Diganti dengan “beras reguler” dan “beras khusus” saja, katanya untuk menyederhanakan pasar. Sementara itu, Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium dinaikkan dari Rp12.500 menjadi Rp13.500 per kg per 22 Agustus 2025, tapi HET premium tetap Rp14.900/kg. Selisih harga yang dulu Rp2.500/kg kini menyempit jadi Rp1.400/kg. Hasilnya? Produsen premium kehilangan daya saing, petani enggan tanam kualitas tinggi, dan konsumen terjebak harga mahal untuk beras oplosan berkualitas rendah.
Latar belakangnya berawal dari skandal razia Juni 2025. Satgas Pangan Polri memeriksa 268 sampel beras dari 212 merek di 10 provinsi, menemukan 85,6% melanggar mutu: kadar air melebihi 14%, butir patah lebih dari 15%, dan 59,8% dijual di atas HET. Sebanyak 25 kasus hukum dengan 28 tersangka dari perusahaan besar seperti PT Food Station Tjipinang Jaya kini bergulir di pengadilan. Ultimatum dua minggu untuk penyesuaian mutu bikin penggilingan padi panik, pasokan premium di ritel modern seperti Hypermart anjlok 50%. Stok Bulog memang surplus 4,2 juta ton per Juli, tapi distribusi kacau: 50% penggilingan kecil tutup gara-gara kekurangan gabah di musim kemarau.
Dampaknya brutal bagi petani. Biaya produksi beras premium kini di atas Rp15.000/kg, melebihi HET, sementara HPP gabah “any quality” tambah beban pengolahan. Hery Sugihartono, Ketua HKTI Demak, Jawa Tengah, bilang produksi semester II 2025 turun 40% dari semester I. “Petani kecil, yang 70% penggilingan nasional, terancam bangkrut. Kami nggak bisa jual gabah ke penggilingan besar yang prioritas medium murah. Ini bukan surplus, ini jebakan!” serunya. Data BPS menunjukkan Nilai Tukar Petani (NTP) Januari 2025 naik tipis 0,73% jadi 123,68, tapi harga beras premium di penggilingan cuma naik 0,82%. Petani seperti Tarsono terpaksa jual gabah di bawah HPP Rp6.500/kg, untungnya cuma Rp500-700/kg setelah biaya pupuk dan tenaga kerja melonjak.
Bagi rakyat jelata, ini mimpi buruk. Harga beras premium di pasar tradisional Jakarta kini Rp15.000-20.000/kg, dorong banjir beras fortifikasi impor Rp90.000-130.000 per 5 kg—jauh di atas premium asli Rp74.500/5 kg. Konsumen kelas bawah, yang 98% rumah tangga Indonesia andalkan beras, kena getahnya. Khudori, pengamat AEPI, tegas bilang: “Penghapusan kelas mutu rugikan konsumen menengah ke bawah. Tanpa label premium, pasar dikuasai beras rendah kualitas. Oplosan mengintai, manipulasi mutu di distribusi jadi gampang. Harga naik 10%, kemiskinan naik 1,3%—285 juta jiwa terbebani!” Wiwin Sumrambah, Anggota DPRD Jatim, tambah: “Ini picu ketidakjujuran rantai pasok, petani lokal kalah saing impor.”
Inflasi beras kontribusi 0,04% month-to-month Juni 2025, tapi potensi kerugian negara Rp7 triliun dari disposal cadangan beras pemerintah (CBP) impor, kata Ombudsman. Panic buying di Jakarta September lalu bikin rak ritel kosong, ibu rumah tangga seperti Siti di Pasar Minggu habiskan hari cari beras premium, akhirnya beli fortifikasi mahal atau beralih ubi. “Anak-anak rewel, beras apek dari stok lama. Pemerintah janji stabil, tapi kami yang lapar!” protesnya. Warung nasi di pinggir jalan margin tipis, nggak bisa naik harga jual tanpa rugikan pelanggan tetap.Pakar ekonomi pertanian seperti Eliza dari Bloomberg Technoz usul hapus HET premium saja, biar pasar bebas inovasi. “Tanpa diferensiasi, moral hazard tetap ada. Pakai blockchain lacak rantai pasok, insentif petani premium via HPP berbasis mutu.” Misbakhun, Ketua Komisi XI DPR, ingatkan: “HET baru harus lindungi petani sejahtera, tulang punggung ketahanan pangan. Pantau inflasi, jangan biarkan konsumen jadi korban.”
Beras Bukan Segalanya: Mengguncang Ketergantungan Pangan Indonesia Menuju Sagu dan Sorgum!
Respons pemerintah? Bapanas salurkan 800.000 ton SPHP via Bulog-Aprindo ke 60.000 ritel hingga Desember, harga di bawah HET Rp12.500/kg. Tapi realisasi baru 344.000 ton per September, dan konversi 1,5 juta ton CBP impor ke komersial berisiko rugi Bulog. Menteri Amran klaim stok tertinggi sejak 1969, tapi ahli bilang ini “surplus palsu” karena distribusi ke ritel modern cuma 30%.
Kebijakan ini bukan solusi, tapi bom waktu. Hapus premium hilangkan insentif kualitas, naikkan HET selektif timpakan beban hilir. Petani miskin karena gabah tak laku, rakyat lapar karena pilihan hilang. Pemerintah harus reformasi: HPP beda mutu (Rp6.500 standar, +Rp500 premium), subsidi pengering mekanis kurangi susut 20%, dan batasi HET medium saja biar premium pasar-driven. Libatkan petani, akademisi, industri—jangan biarkan 169 ribu penggilingan kolaps.
Krisis ini pelajaran pahit: pangan bukan angka stok, tapi nyawa rakyat. Jika tak berubah, bukan surplus, tapi kemiskinan massal yang menanti. Petani seperti Tarsono tunggu keadilan, rakyat seperti Siti tunggu nasi hangat. Sudah saatnya pemerintah dengar jerit darat, sebelum lapar jadi isu politik besar. By Mukroni
Beras Bukan Segalanya: Mengguncang Ketergantungan Pangan Indonesia Menuju Sagu dan Sorgum!
Aliansi Ekonom Indonesia Serukan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
RUU Komoditas Strategis: Solusi Jitu atau Sekadar Janji untuk Petani?
Swasembada Beras 2025: Kemenangan di Gudang, Penderitaan di Meja Makan?
Beras Melambung, Ekonomi Merosot: Mengungkap Paradoks Inflasi di Tengah Deflasi Nasional
Distribusi Beras Murah di Jawa Barat: Janji Manis Pemerintah vs Kekecewaan Warga
Paradoks SPHP: Beras Berlimpah, Harga Melambung, Distribusi Ambruk ?
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?