Jakarta, Kowantaranews.com – Ribuan petani dari berbagai penjuru Indonesia kembali turun ke jalan, menyuarakan kekecewaan terhadap ketimpangan agraria yang kian menggurita. Aksi unjuk rasa yang digelar oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ini menyoroti kegagalan pemerintah dalam menjalankan reforma agraria sejati. Dengan spanduk bertuliskan “Tanah untuk Petani, Bukan Korporasi!” dan “Hentikan Kriminalisasi Petani!”, demonstrasi ini menggambarkan luka lama sektor agraria yang tak kunjung sembuh: ketimpangan kepemilikan tanah, konflik agraria yang berlarut, dan kebijakan yang dinilai memihak elit.
Data mencengangkan menunjukkan bahwa 1% kelompok elit menguasai sebagian besar sumber daya agraria di Indonesia, sementara 99% penduduk, termasuk 17,25 juta keluarga petani, berebut lahan di bawah 0,5 hektare. Dengan pendapatan harian yang kerap tak mencukupi, petani kecil hidup dalam bayang-bayang kemiskinan struktural. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat, dalam periode 2015–2024, terjadi 3.234 konflik agraria yang melibatkan 1,8 juta keluarga dan 7,4 juta hektare lahan. Konflik ini sering kali dipicu oleh ekspansi perkebunan, pertambangan, dan proyek strategis nasional seperti Food Estate, yang justru menggusur petani dari tanah mereka sendiri.
Kebijakan pemerintah, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, menjadi sorotan utama. Petani menilai UU ini mempermudah korporasi merampas tanah, sementara Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dianggap gagal menjalankan mandatnya. Dalam satu dekade, GTRA tak mampu menyelesaikan konflik agraria secara tuntas atau merestrukturisasi kepemilikan tanah secara adil. “Reforma agraria yang dijanjikan hanya kosmetik, sekadar sertifikasi tanah tanpa redistribusi nyata,” ujar Ketua SPI, Agus Ruli, di sela-sela aksi.
Tuntutan petani jelas: percepatan reforma agraria sejati, revisi kebijakan seperti Perpres No. 62/2023 dan pencabutan UU Cipta Kerja, pembentukan Dewan Reforma Agraria Nasional, penghentian kriminalisasi petani, moratorium izin baru untuk proyek skala besar, serta alokasi anggaran untuk redistribusi tanah dan subsidi pertanian. “Kami bukan minta sedekah, kami minta keadilan. Tanah adalah hak kami,” tegas seorang petani dari Jawa Tengah.
Petani Kecil: Produsen Beras, Tapi Korban Harga Tinggi
Pemerintah menunjukkan respons, meski dianggap setengah hati. Delegasi SPI telah diterima oleh Wakil Menteri Sekretaris Negara, dan Komisi II DPR menggelar rapat dengan Kementerian ATR/BPN untuk membahas percepatan reforma agraria. Salah satu langkah konkret adalah kebijakan baru yang mempersingkat proses pengambilan tanah terlantar dari bertahun-tahun menjadi 90 hari, bertujuan membebaskan lahan yang dikuasai korporasi dengan HGU/HGB namun tidak produktif. Namun, langkah ini belum menjawab akar masalah: redistribusi tanah kepada petani tak bertanah.
Di tengah protes, Badan Pusat Statistik (BPS) justru merilis data yang kontras. Nilai Tukar Petani (NTP) pada September 2025 mencapai 123,57, mengindikasikan peningkatan daya beli petani. Kementerian Pertanian mengklaim ini berkat program bantuan pemerintah. Namun, angka ini tak mampu menutupi realitas pahit di lapangan: petani kecil tetap terpinggirkan, konflik agraria terus berulang, dan keadilan tanah masih jauh dari harapan.Demonstrasi ini menegaskan bahwa indikator makro tak selalu mencerminkan realitas. Tanpa penyelesaian struktural—redistribusi tanah, penyelesaian konflik, dan kebijakan pro-petani—reforma agraria hanya akan menjadi jargon kosong. Akankah pemerintah mendengar jerit petani, atau tanah Indonesia akan terus dikuasai segelintir elit? Kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani bergantung pada jawaban atas pertanyaan ini. By Mukroni
Petani Kecil: Produsen Beras, Tapi Korban Harga Tinggi
Pemerintah Tambah Dana Transfer Daerah Rp43 Triliun di RAPBN 2026, Defisit Melebar ke 2,68% PDB
Injeksi Likuiditas Rp 200 Triliun: Peluang dan Tantangan UMKM Mengakses Pembiayaan
Analisis Penyuntikan Dana Rp 200 Triliun: Program Strategis dan Implikasi Ekonomi
Harga Pangan Meroket di Malang: Ada Tangan Tak Terlihat di Balik Krisis?
Hapus Premium, Naikkan HET: Kebijakan Gila yang Bikin Petani Miskin, Rakyat Lapar!
Beras Bukan Segalanya: Mengguncang Ketergantungan Pangan Indonesia Menuju Sagu dan Sorgum!
Aliansi Ekonom Indonesia Serukan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
RUU Komoditas Strategis: Solusi Jitu atau Sekadar Janji untuk Petani?
Swasembada Beras 2025: Kemenangan di Gudang, Penderitaan di Meja Makan?
Beras Melambung, Ekonomi Merosot: Mengungkap Paradoks Inflasi di Tengah Deflasi Nasional
Distribusi Beras Murah di Jawa Barat: Janji Manis Pemerintah vs Kekecewaan Warga
Paradoks SPHP: Beras Berlimpah, Harga Melambung, Distribusi Ambruk ?
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?