Jakarta, Kowantaranews.com -Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) kembali menjadi sorotan akibat beban utang sebesar $5.4 miliar (sekitar Rp 87 triliun) dari China Development Bank (CDB). Dengan total nilai proyek mencapai $7.2 miliar (Rp 116,5 triliun), pembiayaan terdiri dari 75% pinjaman CDB dan 25% modal konsorsium, dengan komposisi saham Indonesia 60% dan China 40% melalui PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Namun, pembengkakan biaya akibat penundaan jadwal, pembebasan lahan yang mahal, kondisi tanah labil, dan biaya lisensi teknologi GSM-R telah memperumit situasi keuangan proyek ini.
Pemerintah, diwakili Menteri Keuangan, dengan tegas menolak penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk melunasi utang tersebut. Alasannya, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara telah menerima dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp 90 triliun, yang dianggap cukup untuk menanggung kewajiban ini. Namun, Danantara, yang diwakili Rosan Roeslani, menolak menggunakan dana tersebut dan mengusulkan opsi lain yang justru melibatkan APBN.
Ketidaksepakatan ini menciptakan kebuntuan, memperpanjang ketidakpastian penyelesaian utang.
Untuk mengatasi masalah tanpa membebani APBN, beberapa solusi korporasi telah diusulkan. Pertama, konversi utang menjadi modal (debt-to-equity swap) sebesar $2 miliar, yang dapat mengurangi beban utang dan meningkatkan modal dasar KCIC. Kedua, rencana Initial Public Offering (IPO) dengan melepas 30% saham KCIC setelah kinerja operasional stabil. Dana IPO, yang diperkirakan mencapai $2.5-2.75 miliar, dapat digunakan untuk melunasi sebagian besar utang. Ketiga, Danantara berencana merestrukturisasi sektor bisnis BUMN, termasuk proyek Whoosh, melalui anak usahanya untuk memperbaiki tata kelola dan efisiensi.
Namun, tantangan tak hanya terletak pada keuangan. Direktur Utama PT KAI periode sebelumnya, Didiek Hartantyo, menyayangkan absennya regulasi khusus untuk kereta cepat meski telah beroperasi lebih dari setahun. Hal ini mencampurkan kepentingan politik dan regulator, mempersulit pengambilan keputusan. Pengamat hukum, Herry Gunawan, menambahkan bahwa mekanisme penjaminan pemerintah harus melalui prosedur yang diatur, tidak bisa langsung dari Danantara. Status KCIC yang bukan BUMN murni semakin menambah kompleksitas, karena penjaminan utang memerlukan landasan hukum yang jelas.
Para ahli menilai restrukturisasi utang sebagai solusi paling realistis. Pemerintah perlu memediasi negosiasi dengan pihak China untuk mencari penyelesaian yang saling menguntungkan, sembari menjaga disiplin fiskal dengan tidak menggunakan APBN. Langkah seperti debt-to-equity swap dan IPO dapat menjadi solusi jangka panjang, asalkan didukung oleh kinerja operasional yang stabil dan tata kelola yang lebih baik. Namun, tanpa koordinasi yang kuat antara pemerintah, Danantara, dan KCIC, masalah ini berisiko berlarut-larut, mengancam keberlanjutan proyek strategis nasional ini. Dengan negosiasi yang tepat dan solusi korporasi yang terukur, Whoosh masih memiliki peluang untuk menjadi kebanggaan transportasi Indonesia tanpa membebani keuangan negara. By Mukroni
Emas Melonjak di Tengah Ketidakpastian: Safe-Haven atau Sekadar Lindung Nilai?
Tanah untuk Elit, Petani Ditelantarkan: Mengapa Reforma Agraria Gagal Total?
Petani Kecil: Produsen Beras, Tapi Korban Harga Tinggi
Pemerintah Tambah Dana Transfer Daerah Rp43 Triliun di RAPBN 2026, Defisit Melebar ke 2,68% PDB
Injeksi Likuiditas Rp 200 Triliun: Peluang dan Tantangan UMKM Mengakses Pembiayaan
Analisis Penyuntikan Dana Rp 200 Triliun: Program Strategis dan Implikasi Ekonomi
Harga Pangan Meroket di Malang: Ada Tangan Tak Terlihat di Balik Krisis?
Hapus Premium, Naikkan HET: Kebijakan Gila yang Bikin Petani Miskin, Rakyat Lapar!
Beras Bukan Segalanya: Mengguncang Ketergantungan Pangan Indonesia Menuju Sagu dan Sorgum!
Aliansi Ekonom Indonesia Serukan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
RUU Komoditas Strategis: Solusi Jitu atau Sekadar Janji untuk Petani?
Swasembada Beras 2025: Kemenangan di Gudang, Penderitaan di Meja Makan?
Beras Melambung, Ekonomi Merosot: Mengungkap Paradoks Inflasi di Tengah Deflasi Nasional
Distribusi Beras Murah di Jawa Barat: Janji Manis Pemerintah vs Kekecewaan Warga
Paradoks SPHP: Beras Berlimpah, Harga Melambung, Distribusi Ambruk ?
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?