Jakarta, Kowantaranews.com – Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk triwulan III-2025: 5,04% (year-on-year). Angka ini memang positif, bahkan sedikit di atas ekspektasi pasar yang memprediksi sekitar 4,95–5,00%. Dari sisi makro, perekonomian nasional tampak tangguh. Namun, di balik kilau angka tersebut, denyut nadi ekonomi rumah tangga justru semakin melemah. Konsumsi rumah tangga—yang selama ini menjadi penopang utama PDB (sekitar 55–57%)—malah melambat dari 4,97% pada triwulan II menjadi hanya 4,89%. Ini adalah sinyal kuat bahwa pemulihan ekonomi belum inklusif dan belum dirasakan oleh mayoritas rakyat.
Apa yang Mendorong Pertumbuhan Makro?
Pertumbuhan 5,04% ini didorong oleh hampir semua sektor, dengan industri pengolahan (manufaktur) tetap menjadi kontributor terbesar, menyumbang 19,15% terhadap struktur PDB. Dari sisi pengeluaran, ekspor menjadi bintang lapangan dengan pertumbuhan 9,91%—tercepat di antara komponen lainnya. Ekspor barang seperti minyak nabati dan hewani, besi baja, serta nikel olahan, terus menjadi andalan. Sementara itu, ekspor jasa juga melonjak berkat lonjakan kunjungan wisatawan mancanegara, terutama dari Tiongkok, Singapura, dan Australia pasca-pelonggaran kebijakan visa dan promosi destinasi super prioritas.
Investasi (PMTB) juga tumbuh solid di kisaran 5,2%, didukung oleh proyek infrastruktur pemerintah dan masuknya investasi asing di sektor energi terbarukan serta data center. Belanja pemerintah pun mulai menggeliat menjelang akhir tahun, meski belum maksimal. Secara keseluruhan, struktur pertumbuhan ini menunjukkan ketahanan ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global—seperti perlambatan ekonomi Tiongkok, suku bunga tinggi di AS, dan konflik geopolitik di Timur Tengah.
Tapi, Mengapa Rumah Tangga Masih Tertatih?
Di balik angka-angka makro yang menggembirakan, ada cerita lain yang jauh dari kata “pemulihan”. Konsumsi rumah tangga melambat bukan karena masyarakat tiba-tiba menjadi hemat, melainkan karena daya beli yang terus tergerus. Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) mencatat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) terus merosot sepanjang triwulan III, dengan IKE bahkan berada di bawah ambang 100—artinya mayoritas rumah tangga merasa kondisi ekonomi saat ini buruk.
Penyebab utamanya? Penghasilan tidak sesuai harapan dan pesimisme terhadap lapangan kerja. Data BPS Agustus 2025 menunjukkan pengangguran terbuka naik menjadi 7,46 juta orang (4,85%), bertambah 180.000 orang hanya dalam enam bulan sejak Februari. Yang lebih mengkhawatirkan, gelombang PHK massal terus terjadi di sektor padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki.
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT), misalnya, mengalami kontraksi pertumbuhan hingga minus 1,2% pada triwulan III. Banyak pabrik di Jawa Barat dan Jawa Tengah terpaksa memangkas produksi karena permintaan ekspor menurun akibat resesi di Eropa dan persaingan ketat dengan Vietnam serta Bangladesh. Akibatnya, ribuan buruh kehilangan pekerjaan. Di Karawang, Bekasi, dan Tangerang, antrean panjang di bursa kerja menjadi pemandangan sehari-hari.
Bom Waktu di Triwulan IV
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3% untuk tahun 2025 secara keseluruhan. Artinya, triwulan IV harus tumbuh minimal 5,8–6,0%—angka yang sangat ambisius mengingat kondisi saat ini. Belanja pemerintah memang biasanya melonjak di akhir tahun (efek year-end spending), tapi jika hanya untuk proyek infrastruktur besar atau belanja barang, dampaknya ke ekonomi riil akan minim. Yang dibutuhkan adalah belanja yang langsung menyentuh kantong masyarakat: bansos tepat sasaran, subsidi upah, atau program padat karya di daerah-daerah terdampak PHK.
Tanpa itu, risiko perlambatan lebih dalam pada 2026 sangat nyata. Apalagi, target jangka panjang pemerintahan baru—pertumbuhan 8% pada 2029—akan semakin sulit dicapai jika fondasi ekonomi rumah tangga terus rapuh.
Apa yang Harus Dilakukan?
Beberapa langkah konkret yang bisa diambil pemerintah dalam waktu dekat:
Stimulus langsung ke rumah tangga: Perluas bansos tunai, berikan subsidi listrik/gas untuk kelas menengah bawah, atau luncurkan program “kartu prakerja plus” dengan pelatihan berbasis digital dan logistik.
Presiden Prabowo Komitmen Turunkan Ketimpangan: Gini Target 0,35 dan GK Naik Tiap Tahun
Selamatkan sektor padat karya: Berikan insentif pajak bagi industri tekstil dan alas kaki, fasilitasi relokasi pabrik ke kawasan industri baru, dan dorong diversifikasi pasar ekspor ke Afrika dan Timur Tengah.
Ciptakan lapangan kerja baru: Percepat proyek IKN sebagai pusat pertumbuhan baru, dorong investasi di sektor pariwisata berkelanjutan, dan kembangkan ekonomi digital di daerah.
Belanja akhir tahun yang inklusif: Alihkan anggaran ke proyek padat karya di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten—daerah dengan PHK tertinggi.
Ekonomi Indonesia memang tumbuh. Tapi pertumbuhan itu belum merata. Angka 5,04% bisa menjadi ilusi jika mayoritas rakyat masih kesulitan membeli beras, bayar listrik, atau sekadar bertahan di tengah ancaman PHK. Pemulihan yang sejati bukan hanya soal GDP, tapi soal berapa banyak dompet rakyat yang kembali terisi.
Jika pemerintah gagal menjembatani kesenjangan ini, maka ancaman stagnasi—atau bahkan resesi ringan—bukan lagi isapan jempol. Triwulan IV adalah ujian nyata. Akankah belanja akhir tahun menjadi penyelamat, atau hanya sekadar angka di laporan keuangan? By Mukroni
Presiden Prabowo Komitmen Turunkan Ketimpangan: Gini Target 0,35 dan GK Naik Tiap Tahun
Tahun Pertama Prabowo: Etatisme Kuat, Ekonomi Riil Mandek
Ekonomi Indonesia 2025: Pemerintah Optimis 5,3%, Ekonom Khawatir Lapangan Kerja Informal Melonjak
Menkeu Tegaskan: Rp 200 T Dana SAL ke Bank BUMN Bukan untuk Konglomerat, Fokus Sektor Produktif
Kebuntuan Utang Whoosh: Pemerintah dan Danantara Saling Lempar Tanggung Jawab
Kebuntuan Utang Whoosh: Pemerintah dan Danantara Saling Lempar Tanggung Jawab
Emas Melonjak di Tengah Ketidakpastian: Safe-Haven atau Sekadar Lindung Nilai?
Tanah untuk Elit, Petani Ditelantarkan: Mengapa Reforma Agraria Gagal Total?
Petani Kecil: Produsen Beras, Tapi Korban Harga Tinggi
Pemerintah Tambah Dana Transfer Daerah Rp43 Triliun di RAPBN 2026, Defisit Melebar ke 2,68% PDB
Injeksi Likuiditas Rp 200 Triliun: Peluang dan Tantangan UMKM Mengakses Pembiayaan
Analisis Penyuntikan Dana Rp 200 Triliun: Program Strategis dan Implikasi Ekonomi
Harga Pangan Meroket di Malang: Ada Tangan Tak Terlihat di Balik Krisis?
Hapus Premium, Naikkan HET: Kebijakan Gila yang Bikin Petani Miskin, Rakyat Lapar!
Beras Bukan Segalanya: Mengguncang Ketergantungan Pangan Indonesia Menuju Sagu dan Sorgum!
Aliansi Ekonom Indonesia Serukan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
RUU Komoditas Strategis: Solusi Jitu atau Sekadar Janji untuk Petani?
Swasembada Beras 2025: Kemenangan di Gudang, Penderitaan di Meja Makan?
Beras Melambung, Ekonomi Merosot: Mengungkap Paradoks Inflasi di Tengah Deflasi Nasional
Distribusi Beras Murah di Jawa Barat: Janji Manis Pemerintah vs Kekecewaan Warga
Paradoks SPHP: Beras Berlimpah, Harga Melambung, Distribusi Ambruk ?
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?

