Jakarta, Kowantaranews.com – Pemerintah Indonesia, melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, menyambut tahun 2025 dengan optimisme tinggi. Target pertumbuhan ekonomi 5,3% dinilai realistis berkat serangkaian indikator makro yang menunjukkan tren positif. “Kondisi ekonomi kita solid. Ini momentum untuk melaju lebih kencang,” ujar Airlangga dalam rapat terbatas pekan lalu.
Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) bertengger di angka 115, menandakan daya beli masyarakat tetap kuat. Pertumbuhan penjualan ritel mencapai 5,8%, didorong kelas menengah yang semakin percaya diri. Sektor manufaktur juga ekspansif dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) di 50,4—di atas ambang batas 50 yang menunjukkan pertumbuhan. Realisasi investasi sepanjang 2024 tembus Rp 1.434,3 triliun, rekor tertinggi sejak pandemi. Utilisasi kapasitas industri terus meningkat, menandakan roda produksi berputar lebih cepat.Pemerintah tak tinggal diam.
Program insentif pajak (Fortax) diluncurkan untuk UMKM, pariwisata, dan perumahan. Sektor kelautan diperkuat melalui revitalisasi tambak dan pengembangan budidaya udang vaname. Yang paling masif adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Hingga Februari 2025, program ini telah menjangkau 39,5 juta penerima manfaat dengan penyerapan anggaran Rp 35,6 triliun. Target akhir tahun: 82,9 juta anak sekolah dan ibu hamil mendapatkan gizi terjamin. “MBG bukan hanya soal perut, tapi investasi SDM jangka panjang,” tegas Airlangga.
Namun, di balik angka-angka cemerlang itu, suara kritis muncul dari kalangan ekonom. Kiki Verico, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, mempertanyakan fondasi pertumbuhan. “Indikator makro bagus, tapi yang terpenting adalah penyerapan tenaga kerja formal,” katanya. Menurut Kiki, pertumbuhan yang tidak inklusif hanya dinikmati segelintir orang jika tidak diikuti penciptaan lapangan kerja berkualitas.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mendukung kekhawatiran itu. Pada Februari 2025, jumlah pekerja informal mencapai 86,58 juta orang—atau 59,4% dari total angkatan kerja. Angka ini naik dibandingkan Agustus 2024, di mana pekerja formal masih 42,05% (60,81 juta orang). Artinya, hanya 4 dari 10 pekerja yang memiliki jaminan sosial, upah tetap, dan kontribusi pajak. “Pekerja formal adalah penyangga ekonomi. Mereka bayar pajak, ambil kredit, hidupkan perbankan. Kalau informal terus mendominasi, fiskal dan stabilitas terancam,” tambah Kiki.
Menkeu Tegaskan: Rp 200 T Dana SAL ke Bank BUMN Bukan untuk Konglomerat, Fokus Sektor Produktif
Kenaikan pengangguran formal menjadi alarm merah. Banyak lulusan sarjana dan pekerja terampil terpaksa beralih ke sektor informal—ojek online, pedagang kaki lima, atau pekerja lepas tanpa kontrak. “Ini bukan pilihan, tapi keterpaksaan. Ekonomi kita sakit di akarnya,” ujarnya.
Debat ini mencerminkan dua wajah ekonomi Indonesia: kilau jangka pendek versus bayang-bayang struktural. Pemerintah melihat konsumsi dan investasi sebagai mesin pertumbuhan. Ekonom menuntut transformasi menuju ekonomi berbasis pekerjaan formal. Tanpa rekonsiliasi, target 5,3% bisa tercapai—tapi dengan harga ketimpangan yang semakin lebar.
Pemerintah kini di persimpangan. Program-program unggulan harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja formal: insentif pajak dengan syarat penyerapan tenaga kerja, MBG yang terintegrasi dengan koperasi formal, dan hilirisasi yang tidak hanya tambang, tapi juga pangan dan digital. Data BPS kuartal berikutnya akan menjadi penentu: apakah Indonesia melaju inklusif, atau hanya berlari di tempat dengan kostum pertumbuhan tinggi. By Mukroni
Menkeu Tegaskan: Rp 200 T Dana SAL ke Bank BUMN Bukan untuk Konglomerat, Fokus Sektor Produktif
Kebuntuan Utang Whoosh: Pemerintah dan Danantara Saling Lempar Tanggung Jawab
Kebuntuan Utang Whoosh: Pemerintah dan Danantara Saling Lempar Tanggung Jawab
Emas Melonjak di Tengah Ketidakpastian: Safe-Haven atau Sekadar Lindung Nilai?
Tanah untuk Elit, Petani Ditelantarkan: Mengapa Reforma Agraria Gagal Total?
Petani Kecil: Produsen Beras, Tapi Korban Harga Tinggi
Pemerintah Tambah Dana Transfer Daerah Rp43 Triliun di RAPBN 2026, Defisit Melebar ke 2,68% PDB
Injeksi Likuiditas Rp 200 Triliun: Peluang dan Tantangan UMKM Mengakses Pembiayaan
Analisis Penyuntikan Dana Rp 200 Triliun: Program Strategis dan Implikasi Ekonomi
Harga Pangan Meroket di Malang: Ada Tangan Tak Terlihat di Balik Krisis?
Hapus Premium, Naikkan HET: Kebijakan Gila yang Bikin Petani Miskin, Rakyat Lapar!
Beras Bukan Segalanya: Mengguncang Ketergantungan Pangan Indonesia Menuju Sagu dan Sorgum!
Aliansi Ekonom Indonesia Serukan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
RUU Komoditas Strategis: Solusi Jitu atau Sekadar Janji untuk Petani?
Swasembada Beras 2025: Kemenangan di Gudang, Penderitaan di Meja Makan?
Beras Melambung, Ekonomi Merosot: Mengungkap Paradoks Inflasi di Tengah Deflasi Nasional
Distribusi Beras Murah di Jawa Barat: Janji Manis Pemerintah vs Kekecewaan Warga
Paradoks SPHP: Beras Berlimpah, Harga Melambung, Distribusi Ambruk ?
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?

