Jakarta, Kowantaranews.com – Indonesia kembali dihadapkan pada dua tantangan struktural dalam pembangunan nasional: disparitas wilayah yang masih menganga dan gelombang urbanisasi yang tak terbendung. Data Sensus Penduduk 2020 menunjukkan, lebih dari 155,5 juta jiwa atau 56,4% penduduk Indonesia telah tinggal di perkotaan, dengan laju pertumbuhan tahunan mencapai 2,77% selama dekade 2010–2020. Namun, di balik angka tersebut, terdapat cerita ketimpangan yang semakin kompleks—baik antarwilayah maupun antara kota besar dan daerah pinggiran.
Mega Urban Region: Sabuk Perkotaan Jawa yang Tak TerhindarkanPulau Jawa, yang hanya menyumbang 6,7% luas wilayah Indonesia, kini menampung hampir dua per tiga penduduk perkotaan nasional. Fenomena ini tidak lagi hanya tentang metropolitan seperti Jabodetabek, Surabaya Raya, Bandung Raya, atau Semarang Raya, tetapi telah berevolusi menjadi Mega Urban Region—sabuk perkotaan raksasa yang membentang tanpa jeda.
Di koridor utara, kota-kota dari Jakarta hingga Surabaya kini terhubung melalui jaringan jalan tol Trans-Jawa, menciptakan satu kesatuan ekonomi yang panjangnya lebih dari 1.000 kilometer. Di koridor tengah, Jakarta-Bandung dan Semarang-Solo-Yogyakarta menyatu dalam satu sistem transportasi dan rantai pasok. Sementara di timur Jawa, Surabaya-Malang semakin terintegrasi sebagai pusat industri dan jasa.
Namun, pertumbuhan ini datang dengan harga mahal. Konversi lahan sawah subur menjadi kawasan industri dan perumahan terus berlangsung tanpa kendali. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama 2015–2020, Jawa kehilangan lebih dari 120.000 hektare lahan pertanian produktif akibat urban sprawl. Banjir rob di Pantura, kemacetan kronis di Jabodetabek, hingga krisis air bersih di Bandung Raya menjadi bukti nyata bahwa pertumbuhan kota tanpa tata kelola yang kuat hanya melahirkan bencana berkepanjangan.
“Pendekatan tata ruang konvensional sudah tidak cukup,” ujar Dr. Rini Astuti, pakar perencanaan wilayah dari Universitas Indonesia. “Kita butuh governansi lintas batas administratif, inovasi kelembagaan seperti badan otorita metropolitan, dan skema pembiayaan kreatif berbasis obligasi hijau atau kerja sama publik-swasta.”Luar Jawa: Kota Menengah Jadi Harapan BaruBerbeda dengan Jawa, pola urbanisasi di luar Jawa menunjukkan dinamika yang lebih sehat dan terdistribusi. Kota-kota menengah dengan populasi 100.000–500.000 jiwa—seperti Balikpapan, Palembang, Pekanbaru, hingga Jayapura—tumbuh lebih cepat dibandingkan kota seukuran di Jawa. BPS mencatat, laju urbanisasi di kota-kota ini mencapai 3,5–4% per tahun, hampir dua kali lipat rata-rata nasional.Fenomena ini membuka peluang besar untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru guna mengurangi disparitas. Medan Raya, Makassar Raya, dan Manado Raya mulai menjelma sebagai secondary metropolitan yang mampu menyerap investasi, tenaga kerja terampil, dan inovasi teknologi. “Kota menengah ini bisa menjadi penyeimbang Jawa jika didukung infrastruktur digital, pendidikan vokasi, dan insentif investasi yang tepat,” kata Prof. Bambang Susantono, mantan Kepala Otorita IKN.
Namun, tantangan tetap ada. Banyak kota di luar Jawa masih bergantung pada sumber daya alam (SDA) seperti tambang, sawit, atau perikanan. Ketergantungan ini rentan terhadap fluktuasi harga komoditas dan kerusakan lingkungan. “Kita perlu transisi dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi berbasis pengetahuan,” tambahnya. “Contohnya, Bitung bisa jadi hub logistik dan pengolahan ikan berbasis teknologi, bukan hanya pelabuhan ekspor bahan mentah.”IKN: Dari Superhub Menuju Koridor RealistisGagasan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur awalnya tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga sebagai superhub ekonomi yang akan mengakselerasi pertumbuhan di Indonesia Timur. Namun, realitas di lapangan menunjukkan visi ini terlalu ambisius. Hingga November 2025, progres tahap 1 IKN mencapai 85% untuk infrastruktur dasar, namun investasi swasta masih terbatas, dan konektivitas dengan kota-kota sekitar belum optimal.
Tahun Pertama Prabowo: Etatisme Kuat, Ekonomi Riil Mandek
Para ahli kini mendorong pendekatan yang lebih realistis: mengintegrasikan IKN dalam koridor segitiga Balikpapan-IKN-Samarinda. Bahkan, ada usulan untuk memperluas visi ini hingga Makassar dan Bitung-Manado sebagai satu kesatuan sistem perkotaan Kalimantan-Sulawesi. “IKN bukan titik, tapi jaringan,” tegas Menteri PPN/Bappenas (dalam rapat terbatas, 30 Oktober 2025). “Kita sedang menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 2025–2045 yang mengakomodasi koridor ini.”Fragmentasi dan Desentralisasi: Warisan yang Belum TuntasDi sisi lain, pemekaran daerah sejak era desentralisasi 2001 telah menciptakan fragmentasi wilayah yang menghambat kerja sama. Ribuan Daerah Otonomi Baru (DOB) lahir, namun banyak yang tidak memiliki kapasitas fiskal, sumber daya manusia, atau visi pembangunan jangka panjang. Indeks Theil—ukuran disparitas antardaerah—hanya turun tipis dari 0,358 (2000) menjadi 0,332 (2015), menunjukkan bahwa desentralisasi belum mampu menutup jurang ketimpangan.
“Pemekaran sering jadi alat politik, bukan alat pembangunan,” kritik Prof. Pratikno, pakar otonomi daerah. “Akibatnya, rencana pengembangan wilayah seperti kawasan ekonomi khusus atau koridor logistik terhambat oleh ego administratif.”Menuju Solusi SistemikUntuk mengatasi tantangan ini, pemerintah dan pemangku kepentingan perlu bergerak dalam dua front:
- Jawa: Membangun otorita metropolitan lintas provinsi untuk mengelola Mega Urban Region. Contoh: Badan Pengelola Jabodetabekjur (seperti BMRC di Malaysia) yang berwenang atas tata ruang, transportasi, dan lingkungan.
- Luar Jawa: Memperkuat kota menengah sebagai pusat pertumbuhan dengan insentif pajak, pengembangan klaster industri 4.0, dan konektivitas digital. Program seperti Indonesia Emas 2045 harus memprioritaskan 50 kota menengah sebagai “lokomotif regional”.
Pada akhirnya, urbanisasi bukan musuh, melainkan medium pertumbuhan. Yang diperlukan adalah keberanian merumuskan ulang tata kelola wilayah, dari yang administratif-sentris menjadi fungsional dan kolaboratif. Jika berhasil, Indonesia tidak hanya akan memiliki kota-kota yang layak huni, tetapi juga wilayah yang adil, berkelanjutan, dan berdaya saing global. By Mukroni
Tahun Pertama Prabowo: Etatisme Kuat, Ekonomi Riil Mandek
Ekonomi Indonesia 2025: Pemerintah Optimis 5,3%, Ekonom Khawatir Lapangan Kerja Informal Melonjak
Menkeu Tegaskan: Rp 200 T Dana SAL ke Bank BUMN Bukan untuk Konglomerat, Fokus Sektor Produktif
Kebuntuan Utang Whoosh: Pemerintah dan Danantara Saling Lempar Tanggung Jawab
Kebuntuan Utang Whoosh: Pemerintah dan Danantara Saling Lempar Tanggung Jawab
Emas Melonjak di Tengah Ketidakpastian: Safe-Haven atau Sekadar Lindung Nilai?
Tanah untuk Elit, Petani Ditelantarkan: Mengapa Reforma Agraria Gagal Total?
Petani Kecil: Produsen Beras, Tapi Korban Harga Tinggi
Pemerintah Tambah Dana Transfer Daerah Rp43 Triliun di RAPBN 2026, Defisit Melebar ke 2,68% PDB
Injeksi Likuiditas Rp 200 Triliun: Peluang dan Tantangan UMKM Mengakses Pembiayaan
Analisis Penyuntikan Dana Rp 200 Triliun: Program Strategis dan Implikasi Ekonomi
Harga Pangan Meroket di Malang: Ada Tangan Tak Terlihat di Balik Krisis?
Hapus Premium, Naikkan HET: Kebijakan Gila yang Bikin Petani Miskin, Rakyat Lapar!
Beras Bukan Segalanya: Mengguncang Ketergantungan Pangan Indonesia Menuju Sagu dan Sorgum!
Aliansi Ekonom Indonesia Serukan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi
RUU Komoditas Strategis: Solusi Jitu atau Sekadar Janji untuk Petani?
Swasembada Beras 2025: Kemenangan di Gudang, Penderitaan di Meja Makan?
Beras Melambung, Ekonomi Merosot: Mengungkap Paradoks Inflasi di Tengah Deflasi Nasional
Distribusi Beras Murah di Jawa Barat: Janji Manis Pemerintah vs Kekecewaan Warga
Paradoks SPHP: Beras Berlimpah, Harga Melambung, Distribusi Ambruk ?
Gaji DPR Ratusan Juta, Rakyat Memulung: Kesenjangan Ekonomi yang Menyengat di Indonesia
Kelas Menengah Atas Kuasai Konsumsi, Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%: Siapa Peduli pada Kelas Bawah?
IKN: Kota Impian Jokowi Jadi Kota Hantu Prabowo?
Revolusi UMKM Kuliner: Rahasia Menang di Pasar Sengit!
Rebut Kedaulatan Pangan: Bangkitkan Pangan Nusantara, Hentikan Impor!
Subsektor Tanaman Pangan Ambruk di Triwulan II-2025: Krisis Musiman atau Bom Waktu Ketahanan Pangan?
Beras Langka, Harga Meroket: Indonesia di Ujung Krisis Pangan 2025?
Beras Oplosan dan Musim Kemarau Ancam Krisis Pangan: Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Harga?
Mafia Pangan Menggila: Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Industri Kemasan Makanan dan Minuman Indonesia: Kebal Resesi, Prospek Cerah
Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Oplosan Kuasai Pasar!
Hapus Kelas Mutu Beras: Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai!
Harga Beras Meroket, SPHP Gagal Total: Stok Melimpah, Distribusi Amburadul!
Krisis Lapangan Kerja Indonesia: PHK Merajalela, Produktivitas Terpuruk, Solusi di Ujung Tanduk!
Beras Rp1,2 Juta per Karung: Warga Mahakam Ulu Menjerit di Tengah Krisis Kemarau
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?
Beras Melambung Lampaui HET: Apa Benar Petani Sejahtera, Rakyat Merana?
Tarif 19% ke AS: Kemenangan Diplomasi atau Jebakan Ekonomi bagi Indonesia?
Pelaku Beras Oplosan Subversi Ekonomi: Pengkhianatan Mutu yang Guncang Ketahanan Pangan!
Tarif Trump 32%: Indonesia di Ujung Tanduk atau Peluang Emas?
8,7 Juta Pekerja Masih Menanti BSU: Verifikasi Molor, Janji Pemerintah Terhambat!
Warteg Online: Nasi Orek Tempe UMKM vs. Menu Impor Shopee, Lazada, dan TikTok Shop
Rupiah Goyang, Defisit Melebar: APBN 2025 Tetap Santai kayak di Warteg!
IHSG Ngebut ke 7.300: Cuan di Pasar, Makan di Warteg Tetap Enak!
Gas 3 Kg Satu Harga: Warteg Tetap Ngegas, Harga Tabung Nggak Bikin Mewek!
Impor Longgar, Waralaba Ngacir: Ekonomi RI Siap Gebrak dari Warteg!
Gig Economy: Bekerja Bebas, Tapi Jangan Sampai ‘Bebas’ dari Perlindungan Seperti Warteg Tanpa Lauk!
Rupiah Goyang, Minyak Melayang: Warteg Tetap Jualan, Tapi Porsi Menciut!
Gula Manis di 2025: Warteg Senyum, Harga Tetap, Tapi Gula Ilegal Bikin Was-was!
TikTok Beli Tokopedia: KPPU Kasih PR Biar Gak Jadi ‘Raja Monopoli’ di Warteg Digital!
Dari Karyawan Kena PHK ke Ojol TikTok: Ngegas di Jalan, Ngevlog di Layar, Makan di Warteg!
Sawit Dunia Lagi Susah, Warteg Tetap Jualan Tempe dengan Percaya Diri!
Sawit Dijegal, Kedelai Meroket: Warteg Cuma Bisa Jual Telur Ceplok?
Sawit Susah Masuk Eropa, Warteg Tetap Jual Gorengan Tempe!
Warteg vs Nimbus: Orek Tempe Tetap Juara, Masker Jadi Pelengkap!
Beras Naik, Dompet Menjerit: Tarif AS, Krisis Jepang, dan Warteg Nusantara Ketar-Ketir!
Ekonomi RI 2025: Ngegas 5,2%, Rem Kepencet Jadi 4,7%, Warteg Tetap Jadi Penolong Daya Beli!
Data Pribadi Warga Indonesia: Apa Benar Dijual ke AS, Dilindungi atau Dikhianati?

